NovelToon NovelToon

A World Without You

Mari Kita Bercerai

Seperti biasa, sarapan pagi di meja makan keluarga Edbert dihiasi oleh suasana yang hening. Hanya terdengar suara sendok dan garpu yang bergesekan dengan piring. Semua anggota keluarga tampak menikmati makanan mereka dalam diam.

"Arslan, kemarin Mama bertemu dengan teman lama. Sepupunya ternyata seorang dokter ahli kandungan yang sangat bagus." Elisa, sang nyonya besar membuka percakapan di tengah keheningan. Dia sebenarnya ibu tiri Arslan, tetapi kata-katanya selalu didengarkan oleh Arslan layaknya ibu kandung sendiri.

"Sepertinya kamu perlu membawa istrimu untuk memeriksakan diri," lanjut Elisa lagi sambil melirik ke arah Arthazia, menantunya.

Arthazia langsung menghentikan kunyahannya dan menelan makanan di dalam mulutnya dengan setengah paksa. Selalu topik tentang kesehatan rahim yang dibicarakan oleh Elisa akhir-akhir ini, membuat Arthazia sedikit jengah.

"Aku dan Zia tak memiliki masalah apapun." Arslan menyahut ucapan ibu tirinya dengan santai, seolah tak merasa terganggu sama sekali.

"Tidak ada salahnya memeriksakan diri." Elisa bersikeras.

"Kami sudah memeriksakan diri sebelum menikah. Tidak ada yang bermasalah." Arslan menyahut lagi, masih dengan ekspresi tak acuh.

"Tapi ini sudah tiga tahun, Arslan. Kalian sudah menikah selama itu dan sampai saat ini belum juga ada tanda-tanda Zia hamil. Jika kamu memang tak bermasalah, pasti istrimu itu yang memiliki masalah pada rahimnya, makanya harus kembali diperiksakan ke dokter." Elisa menyahut dengan nada ketus sembari kembali melirik tajam ke arah Arthazia.

Arthazia hanya diam meski saat ini darahnya terasa mendidih. Selalu saja dirinya yang dipojokkan karena belum kunjung hamil, padahal justru Arslan sendiri yang belum ingin memiliki anak. Arthazia ingin mendengar apakah kali ini Arslan juga tak akan memberikan penjelasan dan membiarkan dirinya yang dipojokkan seperti sebelum-sebelumnya.

"Baiklah, nanti aku akan meluangkan waktu untuk pergi ke rumah sakit bersama Zia." Jawaban yang Arslan berikan justru sangat bertolak belakang dengan yang Arthazia harapkan, seolah membenarkan jika rahim Arthazia mungkin bermasalah.

"Sebaiknya lakukan segera, jangan menunda-nunda terlalu lama." Elisa menekankan. "Setidaknya, masih ada banyak waktu untuk melakukan pengobatan jika masalahnya bisa dideteksi sejak awal."

"Ya." Untuk ke sekian kalinya Arslan menyahut dengan nada datar, tak ada maksud sedikitpun untuk menjelaskan jika Arthazia tak kunjung hamil karena dirinya selalu melakukan pencegahan.

"Saran yang lebih tepat untuk Mama ucapkan pada Arslan mestinya bukan meminta dia untuk membawaku ke ahli kandungan, Ma, tapi mintalah dia untuk berhenti menjadi seorang pengecut." Arthazia akhirnya membuka suaranya setelah sejak tadi hanya diam mendengarkan.

Tentu saja mata Elisa langsung membeliak mendengar apa yang Arthazia katakan. Arslan pun tampak tak kalah terkejut.

"Apa maksudmu?" tanya Elisa dengan raut wajah tak suka.

"Tak ada gunanya aku pergi ke dokter kandungan paling hebat di muka bumi ini jika dia terus menggunakan pengaman saat menyetuhku," lanjut Arthazia lagi dengan agak frontal. Sekarang dia tak lagi peduli meski harus dipandang tak sopan.

Arslan bahkan hampir tersedak mendengar apa yang istrinya ucapkan barusan.

"Zia, apa perlu kamu mengatakan itu?" Lelaki itu tampak marah karena Arthazia telah mengatakan tentang urusan ranjang mereka dengan begitu gamblang di hadapan Elisa.

"Harusnya aku tidak perlu sampai mengatakannya jika kamu bisa memberikan penjelasan yang memadai pada orang-orang yang selalu menyudutkanku," sahut Arthazia sambil balas melirik ke arah Elisa, tampak sangat muak pada ibu mertuanya yang bermuka dua itu.

Arslan tampak sedikit mengerutkan keningnya. Agaknya lelaki itu merasa heran dengan sikap tak biasa yang ditunjukkan oleh sang istri kali ini. Tak hanya Arslan, Elisa juga tak kalah heran. Tapi yang lebih mengherankan bagi Elisa adalah pengakuan Arthazia barusan.

"Selama ini, setiap kali ada pembahasan tentang keluarga Edbert yang belum juga mendapatkan penerus, semua kesalahan selalu dilimpahkan kepadaku. Aku selalu diam saja karena kupikir kamu akan mengatasi semua ini dan membelaku di hadapan orang-orang. Tapi bahkan di hadapan ibumu, kamu bersikap seolah aku adalah perempuan mandul, padahal kamulah yang tak mengizinkan aku untuk mengandung anakmu. Apakah aku harus terus diam saja?" Arthazia bertanya dengan tajam sembari menatap ke arah Arslan dengan tak kalah garang.

Arslan meletakkan sendok dan garpu yang digunakannya untuk makan, lalu balik menatap Arthazia sambil sedikit menghela napasnya. Dia tak pernah menggubris setiap komentar orang-orang, itu karena Arslan berpikir hal itu tidaklah penting. Dia pikir, Arthazia juga tak terganggu dengan hal itu.

"Aku tahu, kamu memang tak pernah peduli padaku dan apa yang aku rasakan. Kamu tak peduli bahkan jika aku menjadi gila karena harus menahan semua penghinaan ini sendirian." Kali ini, nada bicara Arhazia terdengar lebih rendah, tetapi masih tak kalah tajam.

"Kamu salah paham, Zia. Sepertinya, kita harus membicarakan ini nanti," sahut Arslan setelah terdiam sejak tadi.

"Terserah, aku tidak peduli. Aku juga tidak berharap lagi kamu akan membelaku di hadapan orang-orang yang memojokkanku." Arthazia bangkit dan meninggalkan meja makan begitu saja. Sebuah tindakan yang tentu saja tak pernah dia lakukan selama ini karena tak sopan di mata Elisa.

Sekali lagi, Arslan membuang napas kasar. Dia ingin menyusul Arthazia yang tampaknya pergi ke kamar mereka, tetapi ada pertemuan penting pagi ini yang tak bisa dia lewatkan. Akhirnya, Arslan memutuskan untuk segera berangkat ke kantor dan menyelesaikan kesalahpahaman Arthazia jika urusan pekerjaannya hari ini telah selesai. Lagipula, tampaknya Arthazia hanya sedang merasa kesal sesaat saja.

Sementara itu, Elisa yang masih duduk di meja makan seorang diri tampak masih tertegun. Perempuan paruh baya itu masih tak percaya dengan apa yang disaksikannya pagi ini. Arslan dan Arthazia bertengkar? Sungguh itu mengejutkan dan sebuah momen langka. Seulas senyuman tipis terbit di bibir Elisa karena perasaan senang yang datang tiba-tiba. Sejak dulu dia sering memprovokasi Arthazia agar menantunya itu marah dan menunjukkan sikap yang kasar, tetapi Arthazia tak pernah sedikitpun terpancing. Bahkan justru Elisa yang seringkali dibuat kesal sendiri. Siapa sangka umpan tak seberapanya pagi ini mematik sebuah ledakan yang cukup besar.

Seharian Arthazia tak keluar dari kamarnya. Bahkan saat pelayan datang mengantarkan makanan pun dia menolaknya. Sepertinya kali ini dia benar-benar merasa marah, sampai-sampai tak memiliki selera makan sedikitpun.

Arslan sendiri baru kembali saat larut malam. Melihat Arthazia yang berdiri di balkon kamar mereka di jam selarut itu, Arslan menyadari jika kemarahan sang istri kali ini tak main-main. Segera Arslan membersihkan diri, lalu menyusul Arthazia ke balkon.

"Bisa kita bicara, Zia?" tanya Arslan membuka percakapan setelah berada di samping Arthazia.

"Ya, tentu saja. Tapi aku ingin berbicara lebih dulu." Arthazia menjawab sembari membalik badannya ke hadapan Arslan.

"Katakan."

Arthazia menatap suaminya itu dengan tatapan yang tak pernah dia berikan sebelumnya, seolah semua emosi yang selama ini ia pendam tercurahkan lewat tatapan itu.

"Mari kita bercerai, Arslan," pinta Arthazia tanpa berkedip.

Bersambung ....

Batas Kesabaran

Tiga tahun lalu, Arthazia seperti sedang bermimpi saat lelaki sesempurna Arslan Edbert datang untuk melamarnya. Dia yang hanya seorang pemilik toko bunga kecil warisan sang nenek, seketika berubah menjadi Cinderella di dunia nyata. Kisah cinta berbeda kasta itu sungguh tak disangka akan berakhir di pelaminan.

Arslan sangatlah bersinar. Dia adalah sosok sempurna yang memiliki segalanya. Paras, kedudukan, dan harta, semua itu dimiliki oleh Arslan. Tak heran jika para kolega berlomba mendekati Arslan untuk menjadikannya menantu. Akan tetapi, dari semua gadis kelas atas yang disodorkan padanya, Arslan justru memilih Arthazia yang tak memiliki apa-apa.

"Apa wajah cantik saja cukup, Arslan? Harusnya kamu itu menikahi gadis yang tak hanya cantik, tetapi memiliki latar belakang yang kuat, yang bisa mendukungmu di perusahaan. Apa yang bisa kamu harapkan dari gadis yang hanya berjualan bunga di pinggir jalan?" Itu adalah kata-kata Elisa saat Arslan memperkenalkan Arthazia di keluarga besar Edbert. Ibu tiri Arslan itu memang tak menyukai Arthazia sejak awal.

"Apa Mama pikir aku membutuhkan dukungan dari orang lain untuk mengurus perusahaan? Jika Mama memang ingin aku menikah, maka jangan permasalahkan siapa gadis yang aku nikahi. Jika tidak, maka aku tidak perlu menikah sama sekali." Arslan menjawab cemo'ohan Elisa dengan sebuah ancaman, sehingga tak ada pilihan bagi keluarga Edbert selain menerima Arthazia.

Arthazia yang sedang jatuh cinta tentu merasa sangat bahagia. Arslan tampak benar-benar mencintainya dengan tulus. Setelah pernikahan, Arslan bahkan membawa Arthazia berkeliling dunia selama sebulan penuh untuk berbulan madu, juga terus menghujani Arthazia dengan banyak hadiah mewah. Tentu saja Arthazia bukan gadis materialistis yang silau akan kemewahan. Segala perlakuan istimewa dari Arslanlah yang membuat hatinya selalu berbunga.

Akan tetapi, rupanya manisnya pernikahan tak berlangsung lama, pasalnya setelah bulan madu tak terlupakan itu, kepahitan demi kepahitan mulai Arthazia rasakan. Arthazia tak pernah benar-benar diterima di keluarga Edbert, juga di pergaulan kelas atas. Setiap kali datang mendampingi Arslan di acara-acara resmi, selalu ada saja perlakuan tak menyenangkan yang Arthazia terima.

Pernah Arthazia mengeluhkan hal itu pada Arslan, tetapi Arslan hanya meminta Arthazia untuk tak mempedulikannya. Sejak saat itu, Arthazia hanya menyimpan semua duka dan kesedihannya seorang diri karena tak mau Arslan menganggapnya terlalu cengeng.

Semakin hari, sikap Arslan berubah tak lagi seperti saat awal pernikahan dulu. Setiap hal yang mengganggu Arthazia, Arslan hanya mengatakan jika Arthazia tak perlu terlalu mempedulikannya, termasuk saat Elisa bersikap kurang menyenangkan pada Arthazia.

"Aku tahu jika Mama memang seringkali mengatakan sesuatu yang tak semestinya, tetapi hanya sebatas itu saja. Dia tidak akan sampai melakukan sesuatu yang membahayakanmu." Arslan berujar pada Arthazia yang saat itu sedang menangis diam-diam usai mendengar Elisa melontarkan kata-kata kasar padanya. Entah di belakang itu Arslan akan menegur ibu tirinya atau tidak, tetapi dihadapkan Arthazia, dia seolah tak peduli. Seakan perasaan Arthazia bukanlah hal yang perlu dia jaga.

"Sudahlah, tak perlu terlalu bersedih. Anggap saja kamu tidak mendengar apa-apa," ujar Arslan lagi sambil mengusap bahu sang istri sekilas.

Hanya seperti itu saja penghiburan yang selalu Arslan berikan, dan hal itu tentu tak mengubah sedikitpun sikap Elisa pada Arthazia. Namun, dari semua itu, yang paling membuat Arthazia terluka adalah saat Arslan selalu menggunakan pengaman setiap kali mereka melakukan hubungan suami istri dengan alasan belum ingin memiliki anak, tetapi di hadapan semua orang, Arslan tak pernah berusaha meluruskan saat ada yang berasumsi rahim Arthazia bermasalah.

Sudah tak terhitung lagi penghinaan, ejekan dan intimidasi yang Arthazia terima, terutama sejak dirinya dicurigai mandul. Setiap kali Arslan disinggung soal anak, dia akan bersikap santai, seolah tak memikirkan posisi Arthazia. Setiap kali mendengar ucapan miring pun tanggapannya tetap sama, yaitu meminta Arthazia untuk tak perlu mempedulikan itu semua.

Semakin hari, sikap Arslan semakin terlihat seolah dia tak peduli pada Arthazia. Bahkan, meski melihat Arthazia murung sepanjang hari, lelaki itu tak akan bertanya apa yang terjadi. Arthazia mulai merasa jika Arslan tak bisa dijadikan tempat bersandar. Meski memiliki suami yang sempurna di mata orang lain, tetapi Arthazia terbiasa menelan rasa sakitnya seorang diri. Rasa cintanya pada Arslan yang dulu begitu menggebu, perlahan luntur dan berubah menjadi benci. Arthazia mulai merasa jika Arslan menikahinya hanya untuk membuat dirinya tersiksa.

Kini, setelah tiga tahun berlalu, Arthazia bahkan tak bisa menemukan jejak cinta yang tersisa untuk Arslan di hatinya. Dia sudah tak memiliki alasan untuk bertahan karena dia merasa jika arti dirinya bagi suaminya itu tak lebih dari sebuah boneka cantik untuk dimainkan saat lelaki sedang ingin saja.

Kejadian di meja makan pagi itu hanyalah puncak dari semua akumulasi rasa marah dan kekecewaan Arthazia, ibarat bom waktu yang akhirnya meledak setelah masanya tiba. Arthazia sudah tak peduli dengan janji pernikahan yang dulu pernah dia ucapkan bersama Arslan. Semua itu kini sudah tak ada nilainya lagi. Toh, Arslan juga pasti tak menganggap pernikahan mereka berarti, begitu pikir Arthazia.

"Bercerai?" Arslan sendiri yang mendengar permintaan cerai dari Arthazia tampak memperlihatkan raut wajah bingung. Dia pikir, sang istri hanya sedang merasa kesal saja. Sungguh tak disangka Arthazia sampai menyinggung tentang perceraian.

"Ya, mari kita bercerai. Aku sudah tidak tahan lagi dengan permainan rumah-rumahan yang kamu mainkan. Kamu bisa cari perempuan lain untuk menggantikan aku," sahut Arthazia.

Arslan menatap Arthazia tak percaya. "Apa yang kamu katakan, Zia? Jangan bercanda!"

"Apa aku terlihat sedang bercanda, Arslan? Apa kamu selalu berpikir apapun yang aku katakan padamu adalah candaan, makanya selama ini kamu tak pernah mendengarkan keluhanku? Apa kamu menganggap keterpurukanku di rumah ini hanyalah akting?" Arthazia kembali meradang.

"Zia, sudah aku bilang jika kamu tidak perlu mempedulikan kata-kata orang lain yang membuatmu sakit hati. Tidak usah didengarkan ...."

"Tapi aku punya telinga dan punya perasaan! Meski aku tak ingin mendengarkan seperti katamu, tapi aku sudah terlanjur mendengar semuanya karena mereka terang-terangan menghinaku, dan aku tidak bisa berpura-pura tidak mendengar. Aku juga tidak bisa berpura-pura tidak merasakan apa-apa di saat hatiku sangat terluka. Bagimu mungkin itu bukan apa-apa karena memang bukan kamu yang dihina, tetapi aku terluka, Arslan. Hatiku sakit dan ketidakpedulianmu membuatku semakin hancur." Arthazia menyela sebelum Arslan selesai bicara.

"Sekarang mari kita buat semuanya menjadi mudah. Ceraikan aku." Arthazia menambahkan.

Ekspresi Arslan berubah menjadi keras. Tampaknya dia tak terima mendengar Arthazia meminta cerai padanya.

"Tidak, sampai kapanpun kita tidak akan pernah bercerai. Saat ini, kamu hanya sedang marah padaku. Tenangkan dulu dirimu, baru setelah itu kita bicara lagi," ujar Arslan akhirnya, berusaha untuk tak terpancing oleh kata-kata Arthazia. Lelaki itu berbalik hendak masuk ke dalam kamar.

"Aku tidak sedang dikuasai emosi. Aku sudah lama mempertimbangkannya dan sekarang aku sangat yakin. Aku ingin bercerai darimu, Arslan." Arthazia bersikukuh ingin bercerai.

Arslan menghentikan langkahnya, lalu kembali berbalik ke arah Arthazia. Lelaki itu tampak menatap sang istri dengan tatapan nanar.

"Aku tidak akan pernah melepaskanmu, Zia." Arslan bergumam dengan suara berat dan penuh penekanan.

Akan tetapi, Arthazia tak terlihat gentar sedikitpun.

"Kalau begitu, aku akan membuat kamu tak punya pilihan selain melepaskanku," sahut Arthazia juga dengan penuh penekanan.

Bersambung ....

Memberontak

Arthazia rupanya tak main-main dengan perkataannya ingin bercerai dari Arslan. Dia benar-benar melayangkan gugatan perceraian ke pengadilan. Hal itu tentu membuat Arslan terkejut bukan main. Arslan berusaha untuk mengajak Arthazia berbicara beberapa kali tetapi hasilnya nihil. Setiap membuka mulutnya, yang diucapkan oleh Arthazia hanyalah tentang perceraian. Perempuan itu seolah sudah tak sudi menghabiskan hidupnya lebih lama lagi bersama Arslan.

Akan tetapi, tentu saja Arslan punya banyak cara untuk menggagalkan perceraian itu. Pada akhirnya, hakim menolak gugatan yang dilayangkan oleh Arthazia karena menilai tak ada unsur yang memberatkan Arslan. Dengan kata lain, lelaki itu dinilai telah memenuhi tanggung jawabnya sebagai suami dengan baik, sehingga tak ada alasan bagi Arthazia untuk bercerai.

Hari itu, Arthazia hanya bisa menghela napas panjang saat mendengar keputusan hakim. Tatapannya menjadi kosong. Beberapa saat kemudian, ia bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan gedung pengadilan tanpa mengatakan apapun. Arslan bahkan tak datang, hanya diwakilkan pada kuasa hukumnya saja. Tampaknya lelaki itu sudah tahu hasil persidangan sejak awal. Arthazia harusnya sudah mengira jika langkahnya untuk terlepas dari Arslan pasti tak akan mudah.

"Sudah pulang?" Arslan bertanya tatkala Arthazia sampai di rumah. Dia ada di rumah dan tampak sengaja duduk di sofa ruang keluarga khusus untuk menyambut kedatangan Arthazia.

Arthazia hanya melirik suaminya itu sekilas, kemudian melewatinya begitu saja tanpa mengatakan apapun. Dia merasa jika saat ini Arslan sedang berusaha untuk mengejeknya. Akan tetapi, saat ini Arthazia terlalu lelah untuk berseteru dengan Arslan.

Entah kenapa, sekarang kebencian Arthazia pada Arslan terasa semakin nyata. Tindakan Arslan yang membuat hakim menolak gugatan cerai Arthazia pun semakin membuat lelaki itu terlihat egois di mata Arthazia.

"Zia." Arslan memanggil sang istri, tetapi tak digubris oleh Arthazia.

Melihat Arthazia yang bahkan tak mau menoleh, Arslan pun bangkit dan menyusul istrinya itu.

"Zia." Sekali lagi Arslan memanggil. Lagi-lagi tak mendapatkan respon apapun, sampai keduanya berada di dalam kamar mereka.

"Kenapa? Kamu ingin mengejekku karena kali ini aku tidak berhasil melepaskan diri darimu?" Arthazia berbalik dan menatap tajam ke arah Arslan.

Arslan terdiam sejenak. Ia terkesiap selama beberapa saat melihat betapa tatapan mata sang istri begitu menghujam. Tatapan mata yang dulu penuh cinta, kini berganti dengan sorot kebencian.

"Zia, berhentilah marah dan berpikirlah dengan jernih. Hakim menolak gugatanmu karena menilai pernikahan kita masih bisa diperbaiki. Aku tahu jika kamu banyak keluhan terhadapku, tapi mari kita mulai lagi semuanya dari awal," ujar Arslan berusaha meredam amarah Arthazia.

"Memulai dari awal lagi?" ulang Arthazia sambil tersenyum asimetris. "Aku sedang berusaha mengakhiri rasa sakit yang kamu berikan bertahun-tahun ini, lalu kamu ingin aku memulai luka itu lagi dari awal lagi? Jika kamu ingin membunuhku, tidak bisakah kamu langsung memberiku racun saja? Kenapa kamu harus menyiksa mentalku dan membuatku mati pelan-pelan?"

Arslan membuang napas sembari mengusap wajahnya kasar. Sepertinya ada begitu banyak kesalahpahaman yang terjadi di sini dan akan sangat sulit untuk meluruskannya karena Arthazia sudah terlanjur menutup hatinya. Tetapi semua itu bukan salah Arthazia. Salah Arslan sendiri yang tak terbuka pada sang istri sehingga Arthazia terus berasumsi sendiri.

"Semua itu tidak seperti yang kamu pikirkan, Zia. Aku sungguh minta maaf jika apa yang aku lakukan selama ini menyakitimu, tapi percayalah aku memiliki alasan untuk semuanya. Aku akan menjelaskan semuanya satu persatu padamu, tapi kumohon percayalah padaku. Berikan kesempatan untuk pernikahan kita sekali lagi," ujar Arslan kemudian dengan penuh permohonan.

Arthazia bergeming dengan tatapan yang masih sama menusuk. Apapun yang Arslan katakan saat ini rasanya tak berpengaruh apapun terhadap dirinya. Tak ada keinginan sedikitpun untuk berusaha memahami posisi lelaki itu. Rasa sakit yang bertubi-tubi sudah menghantam hati Arthazia selama tiga tahun ini, dan penghiburan yang Arslan berikan hanyalah berupa materi, tanpa mau menjelaskan situasi macam apa yang sedang Arthazia hadapi. Lalu salahkah juga saat ini Arthazia tak mengharapkan semua itu lagi? Salahkah jika dirinya tak bisa lagi menaruh kepercayaan kepada sang suami, mengingat yang tersisa di hati Arthazia terhadap Arslan saat ini hanyalah kebencian dan juga kekecewaan.

"Aku tidak butuh penjelasan apapun lagi darimu, Arslan. Simpan saja semua untuk dirimu sendiri. Sejak awal kamu tidak pernah benar-benar menganggapku sebagai istri, melainkan hanya teman tidurmu saja." Arthazia menyahut sembari membuang pandangannya ke arah lain.

"Bagaimana kamu bisa berpikir seperti itu, hah? Kapan aku pernah merendahkanmu?" Arslan menarik lengan Arthazia dan memaksa istrinya itu untuk kembali menatap ke arahnya. Jelas sekali ekspresi yang Arslan tunjukkan saat ini menyiratkan keputus-asaan. Dia tak tahu harus bagaimana lagi mencairkan hati Arthazia yang terlanjur membeku karena dirinya.

"Itulah masalah terbesarnya. Kamu bahkan tidak menyadari jika yang kamu lakukan selama ini telah lebih merendahkanku dibandingkan apa yang dilakukan oleh orang lain." Arthazia berujar dengan suara yang terdengar agak parau. "Kamu tahu apa yang lebih menyakitkan ketimbang mendengar orang-orang menghina dan menyudutkanku selama tiga tahun ini? Itu adalah saat aku melihat kamu diam saja dan tak berusaha untuk membelaku, padahal kamu yang paling tahu seperti apa posisiku. Kamu menganggap aku sebagai patung pajangan yang hanya perlu terlihat cantik, tanpa peduli bagaimana perasaanku. Kamu lupa satu hal, aku juga manusia. Aku bukan boneka, Arslan."

Arslan melepaskan cengkraman tangannya di lengan Arthazia, tetapi matanya masih lekat menatap istrinya itu.

"Zia, maafkan aku ... Kumohon, aku akan memperbaiki semuanya ...."

"Tidak, Arslan. Cukup." Arthazia menyela. "Terima kasih untuk semua kemewahan yang kamu berikan padamu selama ini, tetapi maaf, aku tak membutuhkannya. Aku juga tidak terlalu menyukai semua itu, harusnya kamu tahu jika memang kamu benar-benar menganggap dirimu sebagai suamiku." Arthazia menambahkan sembari berlalu dari hadapan Arslan.

Arslan hanya mematung dengan raut wajah yang tak bisa dijabarkan. Dia tak tahu kenapa semuanya bisa menjadi tak terkendali seperti ini. Dia pikir, semua barang-barang mewah yang dia berikan selama ini akan cukup untuk meredam sakit hati yang Arthazia rasakan atas banyak hal. Bukankah semua perempuan suka dengan kemewahan, sampai ada yang rela menggadaikan harga diri demi untuk mendapatkannya? Lalu kenapa Arthazia tak menyukainya?

Entahlah, Arslan sendiri bingung kenapa situasinya menjadi begitu rumit. Semua yang terjadi terlalu jauh dari prediksinya.

Setelah hari itu, hubungan Arslan dan Arthazia semakin buruk. Sikap Arthazia juga menjadi semakin dingin, seolah ingin menunjukkan jika Arslan telah mengambil keputusan yang salah karena menghalangi perceraian mereka. Meski belum memutuskan angkat kaki dari kediaman Edbert, tetapi Arthazia memilih untuk pindah kamar tidur dan sering bepergian tanpa memberi tahu Arslan terlebih dahulu. Bahkan, Arthazia juga kini sering membalas kata-kata kasar Elisa dengan ucapan yang tak kalah kasar. Para pelayanan bahkan mulai bergunjing tentang sikap Arthazia yang seolah kehilangan sopan-santunnya.

Namun, meski Arthazia telah menunjukkan semua sikap memberontaknya, Arslan sama sekali tak menunjukkan reaksi apapun. Lelaki itu seolah tak merasa terganggu sedikitpun, sehingga yang semakin merasa kesal justru Arthazia sendiri. Sampai kemudian, Arthazia nekat mendatangi seseorang yang merupakan musuh terbesar Arslan untuk memberikan sebuah penawaran.

"Bantu saya bercerai dari Arslan. Sebagai gantinya, saya akan memberikan informasi mengenai nominal harga yang akan perusahaan Arslan ajukan untuk tender kali ini," tawar Arthazia kepada orang tersebut.

Bersambung ....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!