Viona merasa tak nyaman hanya berduaan saja pergi ke laboratorium. Ia pikir, Sania bakalan ikut bersamanya, tapi Dirgantara malah melarangnya. Entah kenapa pria itu macam penguasa hingga semua berasa di genggamannya.
"Ada yang bisa saya bantu Pak?" Setibanya di dalam, Dirgantara dan Viona disambut oleh petugas laboratorium.
Dirgantara melirik pada Viona, sedangkan Viona hanya diam tak mengucapkan sepatah katapun, karena pergi ke laboratorium bukanlah keinginannya, tapi keinginan Dirgantara.
"Emm, anu mas. Saya ingin memeriksakan 'dia' tadi pagi dia pingsan dan keluar darah segar mengalir dari hidungnya. Dokter Farhat bilang harus diperiksakan ke laboratorium, dan saya langsung membawanya ke sini."
'Astaga ..., bahkan untuk menyebutku sebagai istrinya saja dia enggan. Sebegitu bencikah dia padaku? Apa aku ini terlalu menjijikkan baginya? Sampai-sampai tak mau mengakuiku sebagai istrinya? Benar-benar menyebalkan!'
Entah kenapa hati Viona mencelos sakit saat suaminya tak mau menganggapnya sebagai istri. Padahal jelas-jelas secara hukum, dialah istri sahnya.
Meskipun pernikahannya tidak dilandasi oleh cinta, tapi tetap saja pernikahan tak bisa dianggap remeh. Mau tak mau harus diakuinya.
"Jadi keluhannya gimana Nyonya? Apakah pusing?"
Tatapan petugas beralih pada Viona yang tengah larut dalam lamunannya.
Saat sadar Viona terkejut mendapati tatapan datar suaminya.
"Iya, ada apa Pak?" tanya Viona gagap.
"Petugas bertanya padamu, apakah kau pusing! Kalau ada orang ngoceh itu didengerin, jangan melamun mulu kerjaannya!"
Dengan suara datarnya Dirgantara memberikan teguran pada Viona yang tak fokus saat diajak ngobrol oleh petugas laboratorium.
Viona merutuki kecerobohannya, harusnya ia lebih fokus pada petugas yang akan membantu untuk memeriksanya, tapi ia malah memikirkan orang yang tak pernah mempedulikan keberadaannya.
"Selama ini apa yang anda keluhkan nyonya?" Kembali petugas bertanya padanya.
"Sebelumnya saya tidak pernah mengeluh, kecuali pusing. Saya pikir wajar kalau cuma mengeluh pusing, selebihnya tidak pernah merasakan apa-apa," jawab Viona jujur.
Dalam hati ia membatin. Keluhan yang sebenarnya ia rasakan bukan karena pusing, tapi sakit karena diperlakukan begitu buruk oleh orang yang seharusnya memuliakannya. Tapi mengingat orang tersebut tak pernah merasa bersalah, apa yang bisa dilakukan untuk menyadarkannya, ia hanya segelintir debu yang tak memiliki kekuatan untuk melawannya.
"Baiklah kalau begitu, saya akan melakukan tes urine terhadap nyonya. Silahkan anda masuk ke kamar mandi dan mengambil sedikit urine anda untuk dilakukan pemeriksaan. Ini wadahnya, setelah selesai mengambil urine, nanti serahkan lagi pada saya."
Petugas menyerahkan sebuah botol kecil pada Viona dan meminta Viona untuk pergi ke toilet.
Sedangkan Dirgantara dengan sombongnya dia beranjak keluar dan memutuskan untuk menunggunya di luar.
Tak lama mengambil urine ke toilet, Viona kembali dan menyerahkan botol kecil berisi urine itu pada petugas. Selama petugas melakukan pemeriksaan, Viona menunggunya di ruang tunggu.
'Ya Tuhan ..., semoga tidak terjadi sesuatu yang menakutkan pada diriku. Aku tak ingin merepotkan orang lain untuk mengurusku. Aku sudah diabaikan orang tuaku, jika aku sakit di rumah pria itu, tentunya aku bakalan merepotkannya, pasti Sania akan sibuk merawatku. Sedangkan untuk perawatan aku harus mengeluarkan banyak uang. Dari mana aku dapatkan uang untuk perawatan? Kenapa sesial ini hidupku?'
Viona berkecemuk dengan keresahannya, tanpa disadari suami reseknya kembali dan menghenyakkan panggul di sebelahnya.
"Apa kata petugas leb?" tanya pria itu dengan tatapan datar tanpa ekspresi.
Viona menggeleng dengan matanya berkaca-kaca. Bagaimana ia bisa tenang, jika ia diketahui memiliki riwayat penyakit, apa lagi yang akan dilontarkan oleh pria itu. Sudah pasti pria itu bakalan merendahkannya, atau bisa jadi mengasingkannya.
"Kenapa diam! Aku sedang bertanya padamu! Bagaimana kata petugas? Ditanya malah nangis lagi!"
"Saya takut. Sebelumnya saya tidak pernah memiliki keluhan apapun. Kalau tiba-tiba saya memiliki penyakit gimana? Di sini orang tua saya udah nggak peduli sama saya, lantas bisakah saya menjalani kehidupan yang keras ini?"
Viona menghela nafas berat dengan mengusap air mata yang berhenti meleleh di wajah cantiknya.
Ia hanya merasa keberadaannya di dunia hanya sia-sia. Bahkan kedua orang tuanya sudah tidak lagi mempedulikannya. Ingin mengeluh, ia tak punya tempat untuk mengeluh, punya suami tapi berasa tak memilikinya.
Bingung, itu yang bersarang di otak kecilnya. Bagaimana tidak bingung jika dihadapkan pada situasi yang sulit seorang diri.
Sedih, itu pasti. Entah berapa lama penderitaan yang dialaminya akan berakhir. Jika saja ia boleh minta sama Tuhan, tentunya ia akan meminta stop, jangan kasih penderitaan yang berkelanjutan.
"Harusnya kau bersyukur karena aku masih punya hati nurani untuk menolongmu, jika tidak ..., kau akan menjadi gelandangan dan orang tuamu akan mendekam di dalam penjara. Bahkan sampai sekarang Ayahmu masih tinggal di rumahnya, dia tidak pergi ke mana-mana. Aku juga menyelamatkannya dari orang-orang yang meminta pertanggungjawaban karena rukonya ikut terbakar. Kurang apa coba? Kau tinggal enak tanpa harus bekerja keras di rumahku, tapi kau masih juga mengeluh. Kau itu terlalu baper! Memiliki masalah bukannya diselesaikan, kau ingin mengakhirinya dengan perceraian. Di sini aku tidak ingin dirugikan. Dengan kita bercerai, apa kau tega melihat orang tuamu masuk penjara? Bahkan sampai detik ini aku belum juga menjamahmu. Padahal ..., aku sudah membelimu dengan sangat mahal."
Glekk
Viona meneguk ludahnya kasar. Ia tak pernah berpikir jika Ayahnya bukan hanya berhutang pada Dirgantara, tapi juga harus mengganti rugi ruko orang lain yang ikut terbakar. Bahkan Ayahnya tidak pernah memberitahunya, dan di situ Dirgantara juga menanggung biaya yang harusnya dilimpahkan pada Ayahnya.
Sungguh sangat memprihatikan. Bukannya ia tak bersyukur sudah dibantu oleh Dirgantara. Ia hanya tidak kuat diperlakukan dengan kasar oleh orang lain. Bahkan dari kecil ia tak pernah merasakan pukulan dari orang tuanya.
"Jadi Ayah saya tidak hanya berhutang pada anda saja Tuan? Jadi beliau juga harus menanggung hutang pada orang lain? Kenapa Ayah tidak pernah memberikan penjelasan pada saya?"
Viona menatap sekilas wajah dingin namun sangat tampan yang duduk disebelahnya.
Ia tak menyangka, dibalik sikap sombong pria itu masih punya belas kasihan membantu orang tuanya dalam kesusahan.
"Memangnya kalau orang tuamu memberikan penjelasan padamu kau akan membayar kerugiannya? Kau yakin bisa membayar tagihan milyaran dalam kurun waktu dua puluh empat jam? Kau tidak tahu bagaimana bingungnya orang tuamu kala itu. Yang kau pikirkan hanyalah nasibnya yang seakan-akan dijadikan korban keegoisan orang tuamu. Padahal orang tuamu tengah memikirkan nasibmu! Jika orang tuamu tidak menyerahkanmu padaku, maka hidupmu bakalan lebih menderita lagi. Kau akan tinggal di jalanan dan berpisah dengan orang tuanya yang akan cukup lama mendekam di penjara."
Lemas sudah Viona mendengar penjelasan dari Dirgantara mengenai alasan Ayahnya yang menikahkannya dengan pria itu. Ia pikir Ayahnya hanya memiliki tanggungan pada keluarga Dirgantara saja, tapi ternyata masih banyak orang lain yang harus ditanggungnya.
Yang selalu membuat pikiran tidak tenang, kenapa Ayahnya sampai saat ini tak ada niatan untuk menghubungi atau datang menjenguknya?
Hayo .... Pikir sendiri kenapa Ayahnya tak juga memberikan pengakuan?
Mungkinkah Arnav sengaja menjauhinya? Atau ada hal lain yang dirahasiakannya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
ardiana dili
semangat kak
2024-08-06
1