"Kau benar-benar pandai berbohong! Aku tak menyangka kau begitu tega padanya. Memangnya dia punya salah apa sama kamu sampai dia kau Hajar habis-habisan seperti itu. Kalau sampai dia mati bagaimana bang?"
Setelah kepergian dokter Farhat, Sania kembali mengomeli kakaknya. Ia begitu geram dan ingin sekali memberikan tamparan pada kakaknya agar sadar apa yang dilakukannya itu benar-benar sudah salah, dan bahkan bisa membuat orang lain mati karenanya.
Entah bagaimana lagi iya mengingatkannya agar Dirgantara berubah sikap menjadi lebih baik pada Viona. Ia yakin Viona tidak akan dendam dengan apa yang dilakukan suaminya, tapi tentunya gadis itu sangat terpukul karena merasa tidak dianggap kehadirannya.
"Kalau mati ya dikubur, susah amat sih!"
"Astaghfirullah haladzim, Abang! Kau itu benar-benar iblis! Bisa-bisanya kau bicara seperti itu. Kau bahkan tidak sedih sama sekali melihat kondisinya. Aku yakin dia akan mati kalau kau berniat untuk melenyapkannya, dia tak akan membalas, tapi sebagai seorang laki-laki, di mana nalurimu! Seandainya nanti kau punya anak perempuan, dan anakmu diperlakukan seperti itu, apakah kau akan diam saja! Apa kau juga akan membiarkan anakmu mati ditangan suaminya? Jangan karena kau kecewa pada keluarga kita, kau lampiaskan kemurkaanmu pada Kak Viona! Dia tidak tau apa-apa mengenai keluarga kita! Dia hanya korban, Abang! Dia tak akan mau menikah denganmu kalau bukan karena paksaan orang tuanya. Hidupnya begitu menyedihkan! Diusianya yang masih sangat muda sudah dihadapkan dengan pernikahan yang mengerikan seperti ini."
Suara Sania terdengar begitu lantang hingga terdengar di telinga Viona yang mulai membuka mata.
Dengan perlahan Viona terbangun dan memegangi kepalanya yang berdenyut nyeri. Dia berusaha untuk bangkit dari tempat tidurnya dan ingin mencari tahu apa yang sudah terjadi di antara kakak beradik itu.
"Apalagi yang mereka perdebatkan? Kenapa mereka selalu berdebat? Apa ini ada hubungannya denganku? Kalau memang aku tidak diinginkan di sini, Aku akan pergi. Lebih baik aku pisah sama dia daripada aku harus hidup menderita seperti ini. Untuk apa bertahan di rumah megah bak istana, tapi hidupku seperti di neraka."
Dengan berjalan gontai, Viona melangkahkan kakinya keluar kamar. Ia ingin tahu masalah apa yang membuat Sania bicara lantang pada Dirgantara.
Viona melihat di lantai dasar, kedua saudara itu berdebat dan mengait-ngaitkan dirinya, tentunya dia yang sebagai orang baru merasa tak pantas untuk tetap bertahan di rumah itu.
"Benar kan? Mereka berdebat gara-gara aku. Keberadaanku di sini menciptakan malapetaka buat kakak beradik itu. Mereka sudah kehilangan orang tuanya kalau mereka saling menjauh apa jadinya? Lebih baik aku yang mengalah dan pergi dari sini. Lagian aku di sini juga sudah tidak betah, Aku tidak mau hidupku sia-sia demi menuruti keinginan orang tuaku."
***
"Aku minta padaMu Bang! Tolong rawat dia dengan baik. Jangan egois seperti ini. Kamu yang sudah memilihnya untuk kau jadikan istri dan kamu juga yang memintanya untuk tinggal di sini. Kalau kamu sudah mengambil keputusan setidaknya kamu bisa mempertanggungjawabkannya. Jangan seperti pengecut! Dulu aku mengenalmu begitu baik, tapi kenapa sekarang kamu tanya berubah? Kita di sini sudah tidak punya orang tua. Seharusnya di antara kita harus saling support. Aku sayang banget sama Abang, tapi melihat sikap Abang yang semena-mena terhadap Kak Viona, jujur aku sangat jengkel. Aku mohon jangan sakiti dia Bang!"
Sania merengek berharap belas kasihan Dirgantara agar peduli pada Viona.
Sania hanya tidak ingin Dirgantara disalahkan oleh keluarga Viona, karena tidak bisa menjaganya dengan baik. Mereka pastinya menyesal sudah memiliki banyak hutang yang tidak bisa dibayarnya dan mengharuskan Viona dijadikan jaminan. Sania yakin orang tua Viona pasti merasa bersalah dan sedih melihat anaknya yang menderita karena pernikahan paksanya.
Tak menjawab adiknya, Dirgantara melangkahkan kakinya kembali menuju ruang kerjanya. Di depan pintu kamar tamu, ia bertemu dengan Viona. Masih dengan kejutekannya, ia pura-pura tak melihat, walaupun dalam hatinya ingin bertanya mengenai kondisinya saat ini.
"Tuan ..., saya ingin bicara dengan anda. Apakah anda punya waktu sebentar saja?"
Dirgantara dengan angkuhnya menghentikan langkahnya. Dengan tatapan datar ia menatap gadis itu.
"Cepat katakan! Aku tidak punya banyak waktu untuk meladenimu!"
Viona mengangguk. Takut-takut ia mulai bertekad untuk menjelaskan niatan untuk pergi, dan dia berharap Dirgantara tak keberatan dengan kepergiannya. Mungkin dengan kepergiannya, hubungan Dirgantara dengan Sania kembali membaik.
"Sa-saya ingin pergi. Bisakah anda menceraikan saya? Saya ingin pergi dari sini. Saya tidak ingin mengganggu anda lagi. Soal hutang orang tua saya, anda bisa klarifikasi kembali dengan Papa saya."
Refleks Dirgantara mendelik. Ia mengepalkan tangannya geram dengan rahangnya mengeras.
Viona begitu lancang meminta cerai darinya. Hutang orang tuanya saja masih menumpuk tidak terbayar, belum tersentuh saja dia sudah ingin mengakhiri hubungan dengannya.
"Apa kau bilang tadi? Kau ingin pergi dari sini? Enak saja kau bicara seperti itu! KALAU KAU INGIN PERGI DARI SINI, KAU HARUS MELUNASI HUTANG ORANG TUAMU! KAU PIKIR AKU AKAN MELEPASKANMU BEGITU SAJA! JANGAN MIMPI! BAHKAN SEUMUR HIDUPMU KAU TIDAK AKAN BISA MEMBAYARNYA! APA KAU TAU! ORANG TUAMU SEKARANG SUDAH MENJADI KERE! TANPA BANTUANKU, ORANG TUAMU SUDAH MENJADI GELANDANGAN!"
Bagai tertampar hati Viona ingin menjerit. Seumur hidupnya ia tak bisa lepas dari jeratan Pria kejam itu. Mungkin setiap hari ia akan menerima siksaan lahir dan batin. Entah apa yang bakalan terjadi jika kelak ia tidak bisa bertahan hidup, mungkin Ayahnya juga akan menjadi sasaran kebengisan Dirgantara.
"Perlu kau ketahui saja, nona! Kau sudah terkontrak seumur hidup bersamaku. Kau tidak punya hak untuk menolak apalagi berkeinginan untuk pergi dariku. Jika kau melanggarnya ... Maka kau akan tau akibatnya. Ini bukan sekedar ancaman. Aku hanya ingin memberikan pengertian padamu. Lebih baik kau ikuti saja yang aku inginkan. Cepat bersiaplah! Hari ini kau harus pergi ke laboratorium untuk periksa. Aku tidak ingin di rumah ini tercemar oleh penyakit yang kau derita."
Viona terkejut, dia memegangi pipinya, saat Dirgantara mengatakan soal penyakit yang dideritanya. Ia tak pernah mengetahui penyakit apa yang dideritanya, bahkan selama ini dia baik-baik saja.
Hanya karena kelelahan dan membuatnya pingsan, Dirgantara sudah mengatakan bahwa dirinya seseorang yang penyakitan.
"Tu ... Tuan! Penyakit apa maksud anda? Saya selama ini baik-baik saja. Saya tidak pernah sakit, Tuan."
Dirgantara memicingkan tatapannya. Kalau bukan karena penyakit, lalu kenapa tiba-tiba saja Viona mengeluarkan darah segar dari hidungnya. Ia hanya khawatir, Viona memiliki riwayat penyakit yang diabaikannya.
"Jangan banyak membantah! Turuti saja keinginanku. Aku hanya ingin memastikan rumahku tidak terserang kuman oleh penyakit yang kau bawa! Cepat bersiaplah!"
Jadi penasaran dengan Viona 🤔 kira-kira dia punya penyakit apa sih? Yuk, ikuti terus kisahnya, jangan lupa tinggalkan jejak vote like dan komen ya??? Thanks you 😍 😍
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
ardiana dili
lanjut
2024-08-06
1