Wijaya Kusuma kembali ke Desa Karajaan Sagara dengan langkah cepat. Dia baru saja melarikan diri dari situasi yang diluar dugaan: istri Mang Ujang ternyata menyukai dirinya.
Wijaya sampai di depan rumah Ningsih, dia lalu mengeluarkan kartu nama wartawan stasiun televisi yang pernah dia simpan. Wijaya ingin menghubungi wartawan itu untuk meminta bantuan: menyelesaikan kasus pembunuhan pemuda tanpa identitas.
Wijaya melanjutkan langkahnya sampai depan pintu rumah Ningsih, mengetuk pintu beberapa kali lalu pintu pun terbuka, seorang wanita paruh baya menatap Wijaya dengan penuh rasa ingin tahu.
"Ini teh Akang Wijaya kan?" tanya wanita itu.
"Betul, Ningsih ada bu?" tanya Wijaya.
"Oh, Ningsih! Ada! Masuk atuh yuk!" wanita paruh baya itu adalah ibu Ningsih, tanpa malu dia menarik Wijaya Kusuma masuk ke dalam rumah.
Ternyata benar pepatah buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Ibu Ningsih memiliki sifat dan perilaku yang sama dengan anaknya, spontan dan periang. Dia terlihat senang melihat kehadiran Wijaya Kusuma.
"Ningsih, cepat kemari!" teriaknya, tak lama Ningsih pun datang. Wajahnya menunjukan ekspresi wajah terkejut. Dia terbelalak kaget melihat sosok yang dia puja duduk di sofa ruang tamu.
"Aa Wijaya! Apa aku mimpi!" teriak Ningsih kegirangan.
"Kalau kamu mimpi, berarti Mamah juga mimpi atuh ya!" tambah ibunya.
"Ningsih, kedatangan Aa kesini untuk..." Wijaya belum selesai bicara namun Ningsih memotong ucapannya, "mau ngajak Neng jalan-jalan di pasar malam kan? Asyik!"
"Bukan, Maaf," balas Wijaya.
"Ngajak ke Desa Talaga?" tanya ibu Ningsih.
"Maaf, kedatangan Aa kesini untuk meminta bantuan. Bisakah kamu membantu Aa menelpon nomor ini?" Wijaya menyerahkan kartu nama ke arah Ningsih.
"Ini siapa? Namanya Clara Saputri, pacar Aa ya?" tanya Ningsih panik.
"Bukan, dia wartawan stasiun televisi. Aku harus menghubunginya. Ada sesuatu yang mau dibahas," ucap Wijaya.
"Kasus pembunuhan pemuda itu ya? Memangnya ada perkembangan?" tanya Ningsih penasaran.
"Iya, kurang lebih seperti itu. Ningsih bisa membantu Aa?"
"Iya, tunggu sebentar," Ningsih lalu masuk ke da. Kamar mengambil ponselnya.
Setelah tersambung dengan wartawan, Wijaya pun menjelaskan kejadian yang terjadi di desanya. Wartawan bernama Clara itu akan segera datang dengan polisi.
"Makasi ya Ningsih," Wijaya lalu berdiri hendak pamit pergi.
"Ih, jangan dulu pergi!" rengek Ningsih.
"Iya atuh, kok buru-buru, mending menginap saja disini," pinta ibu Ningsih.
"Saya harus segera kembali ke Desa Talaga, keadaan di sana sedang genting, terima kasih bantuannya Ningsih," kata Wijaya.
Wijaya bergegas pergi dari rumah Ningsih, namun dari kejauhan dia melihat beberapa warga Desa Talaga Seungit yang berjalan menuju lapangan desa Karajaan Sagara, ke lokasi pasar malam itu berada.
Wijaya lalu berlari mendekati mereka, di ikuti oleh Ningsih.
"Kalian sedang apa di sini?" sindir Wijaya.
"Eh ada Pak Kepala Desa, kami teh mau barter ini sama warga sini," mereka menunjukan buah dan sayuran.
"Bohong! Kalian pasti mau ke pasar malam kan!" timpal Ningsih.
Ucapan Ningsih pun membuat mereka serba salah dan malu hingga tak berani menatap mata Wijaya Kusuma. "Kalian mau ke pasar malam ya?" tanya Wijaya.
"Maaf ya Kang, sebenarnya iya," kata mereka mengaku.
"Ya, silahkan kalau mau ke sana," desak Wijaya Kusuma.
Beberapa warga desa lalu pergi meninggalkan Wijaya Kusuma yang tatapannya kosong, seolah tidak ada emosi yang terpancar darinya. Wijaya terlihat bimbang dan memikirkan sesuatu.
"Ih, kenapa malah di lepas?" keluh Ningsih.
"Terkadang aku bingung, bagaimana caraku memimpin desa itu. Kalau aku melarang mereka kesana, aku seperti orang munafik. Aku saja menggunakan ponsel untuk menghubungi kepolisian," ungkap Wijaya.
"Memangnya di Desa Talaga tidak ada hukum adat?" tanya Ningsih penasaran.
"Ada tapi ada sesuatu yang terjadi dan akhirnya setiap pelaku kejahatan harus di laporkan pada kepolisian," kata Wijaya menatap lurus ke depan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Endro Budi Raharjo
bingung...3x aq memikirnya
2024-09-30
1
Was pray
mending gak usah dinamakan desa adat saja, kalau pada kenyataannya tetap menggunakan hasil teknologi untuk menyelesaikan permasalahan yg terjadi di desa tersebut, kalau mau tetap dinamakan desa adat maka segala sesuatu yg berkaitan dengan modernisasi tidak digunakan di desa itu, hukum adat yg berlaku bagi siapapun baik pendatang atau penduduk asli apabila ada permasalahan diselesaikan dengan hukum adat
2024-08-08
2