Desa Talaga Seungit terletak di dataran tinggi, sehingga makanan laut menjadi barang yang sangat langka dan berharga. Para penduduk desa sangat menyukainya, namun meskipun menjadi favorit tak banyak warga yang mau naik turun gunung demi mendapatkan ikan-ikan laut, cumi, atau juga kepiting, karena mereka memiliki kesibukan masing-masing seperti bertani dan beternak.
Untuk itu, masakanan yang dibuat dari bahan ini hanya dihidangkan saat kesempatan-kesempatan tertentu saja. Seperti acara yang akan diadakan nanti malam.
Setiap kali ada warga yang datang dengan tandu berisi makanan laut, para warga akan berebut untuk ditukar dengan bahan lain yang mereka punya, ada yang menukarnya dengan telur, daging ayam, sayuran dan buah.
Wijaya Kusuma dan rombongannya sudah sampai, ada aturan leluhur yang harus mereka lakukan saat tiba di desa: mereka harus mencuci wajah, tangan dan kaki di air yang mengalir.
Hal itu menjadi simbol untuk mensucikan desa dari warganya yang baru saja keluar dari desa adat dan berbaur dengan budaya luar. Saat Wijaya mencuci kaki, tiba-tiba terdengar teriakan dari arah kolam ikan.
"Tolong! Ada mayat!" seorang wanita berteriak histeris, membuat ketenangan Desa Talaga Seungit berubah menjadi hiruk pikuk aktivitas penuh suara dan teriakan.
Semua warga tertuju pada kolam ikan milik warga desa, Wijaya Kusuma sudah sampai lebih dulu setelah jeritan wanita tadi, di depan matanya terlihat seseorang mengambang dengan posisi wajah berada di dalam air.
Semua orang menjadi bertanya-tanya: apa yang terjadi, siapa yang melakukannya. Wijaya tanpa berpikir panjang memilih menceburkan diri ke dalam kolam ikan dan menyeret jasad itu ke pinggir kolam, warga desa kemudian membantu menarik jasad itu naik ke atas.
Wijaya memeriksa denyut nadinya, namun tanda-tanda kehidupan tidak terasa lagi dan sudah dapat dipastikan orang ini telah meninggal dunia.
"Siapa dia? Apakah kalian kenal dengan pemuda ini?" tanya Wijaya, menatap para warga yang nampak kebingungan.
Semua warga yang datang dan berkumpul tidak ada satu pun yang mengenal pemuda malang itu.
"Tolong minta kain, kita tutupi dulu jasadnya dengan kain kasihan dia, petugas keamanan tolong segera turun dan hubungi pihak kepolisian ya," ucap Wijaya Kusuma, sambil mengambil kain yang diberikan oleh pemilik rumah.
Wijaya Kusuma sangat kesal jika ada kasus di desanya yang harus melibatkan pihak dari luar bukan karena dia tidak percaya dengan institusi dan lembaga pemerintah namun jika desa ini kedatangan warga dari luar, mereka selalu mengeluh dan menuntut banyak hal, banyak orang kota yang tidak pernah mau mengerti adat istiadat yang ada di desanya.
Tiba-tiba seorang pria paruh baya muncul dari balik kerumuman dia menunjuk-nunjuk jasad itu sambil berteriak, "ini mah pasti maling! Kita sering kehilangan ayam, pasti dia pelakunya! iya pasti ini maling!"
"Hentikan Pak, ayam yang hilang bisa jadi karena dimangsa macan tutul, sekarang kita kesampingkan dulu motif orang ini datang ke desa kita. Yang jadi pertanyaannya, kenapa dia bisa tewas di kolam ikan?" jawab Wijaya.
"Tidak usah panggil polisi lah! Langsung saja kubur mayatnya! Setuju tidak? Ini pasti maling!" pria paruh baya itu tak peduli dengan ucapan Wijaya Kusuma dan terus saja berteriak seakan ingin memancing warga agar tergiring dengan opininya.
"Pak Arifin, tolong stop! Sudah saya katakan, kita perlu cari tahu dulu identitas orang ini dan yang bisa menyelidiki kematiannya hanya polisi, kalau kalian tidak ada yang mau turun ke bawah, biar saya saja yang turun!"
"Jangan Den, itu mah tugas kita para petugas keamanan. Ayo kita ke Desa Karajaan Sagara meminjam telepon untuk menghubungi polisi," ajak seorang bapak tua dengan penuh semangat.
"Ah, kalian lupa ya dengan kasus sebelumnya? Saat kita meminta tolong ke Desa Karajaan Sagara, mereka mengejek kita karena tidak mau menerima peralatan elektronik tapi disaat kita kesusahan, kita menggunakan benda itu," timpal pria lainnya.
"Iya sih! Pasti mereka mengejek kita lagi!" keluh pemuda lainnya.
Wijaya Kusuma berdiri, dia lalu melepas pakaiannya yang basah, menggantung pakaian itu di pagar kayu sembari berkata, "kalian jaga jasad ini dan jangan pernah menyentuh apapun, saya yang akan turun ke Desa Karajaan Sagara untuk meminta bantuan."
Terpaksa, Wijaya turun gunung menuju Desa Karajaan Sagara, dia harus meminta bantuan warga desa itu lagi. Wijaya Kusuma masih ingat kasus sebelumnya saat warga desa keracunan masal dan harus meminta bantuan mereka untuk memanggil petugas medis.
Dengan bertelanjang dada Wijaya Kusuma turun ke desa tetangga untuk meminta bantuan. Sesampainya di desa itu, dia menemui Kepala Desa dan menceritakan kejadian yang terjadi di Desa Talaga Seungit.
Kepala Desa tiba-tiba melemparkan sebungkus rokok ke hadapan Wijaya seraya berucap, "kalau mau bantuan kami, hisap dulu rokok itu."
"Saya tidak bisa menghisap rokok itu, maaf Pak," tolak Wijaya dengan sopan.
"Hahaha!" Kepala Desa Karajaan Sagara malah tertawa keras, dia membuang puntung rokoknya ke tanah lalu berjalan ke arah kursi dan duduk di samping Wijaya.
"Kenapa kamu tidak merokok? Pantangan leluhur atau tidak suka merokok? Kalau mau rokok tradisional kita juga punya, mau?" ungkapnya.
"Saya tidak merokok Pak, jadi apakah saya bisa meminta beberapa orang dari desa ini pergi ke desa saya untuk memeriksa orang itu siapa tahu ada warga di desa ini yang kenal korban? Atau bantu kami panggilkan polisi?"
"Kubur saja! Untuk apa membela orang yang sudah mati! Buang-buang waktu dan tenaga!" tegas Kepala Desa, dia meraih bungkus rokok yang tergeletak di atas meja lalu mengambil sebatang rokok dan menyalakan korek api, menghisap rokok itu dalam dan menyemburkan asapnya ke atas.
"Kalau kamu melaporkan hal ini ke polisi, yang ada desamu akan diberitakan ke seluruh penjuru negeri, ujungnya pemerintah akan memaksa kalian memasang aliran listrik lagi, haha," ucap Kepala Desa lalu menyemburkan lagi asap rokok dari dalam mulut.
"Kalau tidak bisa membantu tidak apa-apa, saya izin pamit," Wijaya pergi meninggalkan Kepala Desa yang sombong itu, dia tidak mau membuang-buang waktu, lebih baik pergi menyebrang jalan menuju Desa Sagara Dua, desanya para nelayan.
Pantas saja para pemuda enggan untuk meminta tolong pada warga Desa Karajaan Sagara karena sikap mereka yang cenderung sombong dan tidak punya empati.
Wijaya Kusuma kini berada di pinggir jalan raya yang sepi, dia segera melintasi jalan itu menuju kampung para nelayan. Wijaya kenal seseorang di tempat itu karena dia sering melakukan barter dengan para nelayan, menukarkan hasil panen dengan hasil tangkapan para nelayan.
Langkah Wijaya Kusuma menjadi pusat perhatian para gadis desa yang terkesima dengan keelokan tubuhnya yang gagah perkasa. Mereka semua belum tahu jika pria yang lewat adalah seorang Kepala Desa yang sangat dihormati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Mas W
ok
2024-09-19
1