Wijaya sampai di sebuah rumah, kedatangannya disambut oleh seorang pria bernama Ujang, yang sedang memeriksa kondisi jaring alat menangkap ikan, kedatangan Wijaya yang bertelanjang dada membuat dia heran.
"Kang Wijaya tumben datang jam segini, ada apa ya? Hasil tangkapan saya mah sudah habis terjual," ucap Ujang.
"Kedatangan saya kesini bukan untuk menukar barang, tapi saya ingin meminta tolong."
"Minta tolong apa ya, Kang?" tanya Ujang kaget sekaligus heran.
"Di desa saya ada jasad tidak dikenal, jasad itu mengapung di salah satu kolam ikan lele milik warga."
"Astaga, orang mana ya? Disini juga tidak ada ribut-ribut orang hilang, apa warga Desa Karajaan Sagara ya?"
"Saya udah coba kesana tapi kedatangan saya gak diterima baik, mereka sepertinya tidak peduli dan malah menyuruh saya menguburkan saja jasadnya."
"Jangan atuh kasihan, tunggu ya," Ujang berdiri lalu masuk ke dalam rumah untuk mengambil ponselnya.
"Kita telepon polisi saja ya!" tegas Ujang memperlihatkan ponsel.
"Memangnya Mamang tahu nomornya?"
"Tahu atuh, kan kita bisa cari dulu di Doodle, nih kita ketik dulu, cari nomor telepon kantor polisi terdekat." Ujang mengetik dengan cekatan.
Wijaya Kusuma tertegun melihat kecanggihan ponsel yang dimiliki oleh temannya.
Setelah menemukan nomor kantor polisi di internet, Ujang pun segera menelpon dan meminta polisi untuk segera datang ke lokasi, setelah menutup telepon, Ujang lalu memanggil istrinya, "Neng, buatin kopi buat Kang Wijaya."
"Ah, tidak usah Mang. Saya kan tidak ngopi," Jawab Wijaya.
Mang Ujang tersenyum dia hanya sedikit usil, dia sudah tahu seperti apa kehidupan di Desa Talaga Seungit, terkadang dirinya selalu ingin membuat Wijaya melanggar peraturan desa itu. Bagi Ujang, beberapa peraturan di Desa Talaga Seungit tidak masuk akal dan konyol, apalagi peraturan itu sangat berbentrokan dengan keadaan di jaman sekarang yang sudah serba canggih dan modern.
Namun Ujang berbeda dengan warga Karajaan Sagara yang selalu mengejek warga yang menolak listrik dan segala perkembangan jaman. Ujang tidak mau usil, karena itu hak dan pilihan mereka untuk hidup dengan cara para leluhur.
Keberadaan teknologi menjadi dilema tersendiri bagi Wijaya Kusuma, di satu sisi barang elektronik yang mereka sebut ponsel itu sangat mempermudah kehidupan disaat keadaan sulit dan mendesak, namun di sisi lain, menggunakan ponsel sangat bertentangan dengan tradisi leluhur yang lebih menggunakan cara-cara tradisional dalam kehidupan keseharian mereka.
Sembari menunggu kedatangan polisi, kedua pemuda itu mengobrol banyak hal, Ujang menceritakan pengalamannya ketika di laut dan sebaliknya Wijaya menceritakan pengalaman dirinya menjadi Kepala Desa. Saling bertukar cerita dan pengalaman hidup membuat mereka lupa waktu hingga akhirnya datang dua mobil polisi diikuti dengan sebuah ambulans dan mobil dengan logo stasiun televisi, Wijaya sangat kaget karena tiba-tiba saja muncul wartawan.
Mobil-mobil itu lalu diparkir di Desa Karajaan Sagara karena akses menuju Desa Talaga Seungit hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Saat orang-orang keluar dari mobil, beberapa penduduk Desa Karajaan Sagara berkerumun melihat mereka.
Sang Kepala Desa muncul sambil berkata, "di desamu sangat rawan kejahatan karena gelap, disuruh pasang listrik nggak mau, menyusahkan orang lain saja!"
"Tolong jaga ucapan anda Pak Toha, di desa saya belum pernah terjadi tindak kejahatan apapun, jangankan pembunuhan, pencurian saja jarang terjadi. Kami hidup dengan makmur dan damai," balas Wijaya menatap Pak Toha dengan tatapan tajam. Pak Toha adalah Kepala Desa Karajaan Sagara yang memiliki postur tubuh gempal dengan perut buncitnya menonjol ke depan, dia hanya terdiam dan tersenyum melihat Wijaya yang terlihat emosi.
Tiba-tiba seorang wanita menyelinap dibalik kerumunan warga, dia adalah Ningsih wanita muda yang selalu menunggu kedatangan Wijaya Kusuma. Ningsih sangat tergila-gila dengan Wijaya apalagi sekarang, dia bisa melihat tubuh kekar Wijaya yang mempesona.
"Aa, ayo atuh mampir dulu? Kita makan malam, pasti belum makan ya?" bisik Ningsih yang berdiri di samping Wijaya.
"Aa lagi sibuk, kapan-kapan saja ya Ningsih," balas Wijaya Kusuma.
"Tiap diajak makan pasti jawabanya kapan-kapan mulu, terus kapan makannya sih?" gerutu Ningsih.
"Aa pamit dulu ya," ucap Wijaya Kusuma berpamitan pada Ningsih yang terlihat kesal, karena sikap Wijaya Kusuma yang selalu dingin padanya.
"Ayo, sekarang kita ke atas!" ajak seorang polisi, mereka pun bergegas menuju atas meninggalkan Desa Karajaan Sagara dan Kepala Desanya yang menyebalkan.
Setelah sampai di lokasi, polisi melakukan olah tempat kejadian perkara, lalu memeriksa jasad yang ditemukan mengambang di kolam ikan lele. Malam itu seluruh penduduk desa berkerumun untuk melihat prosesnya.
Dari balik kerumuman warga, Wijaya melirik ke arah wartawan yang tadi ikut dengan rombongan polisi, mereka terlihat sedang mengobrol dengan keluarga pemilik kolam ikan. Namun sepertinya keluarga itu menolak untuk diwawancarai, Wijaya lalu berlari mendekati mereka.
"Kang, gimana ini saya dan istri tidak mau masuk berita, tapi mereka meuni maksa terus!" keluh pemilik kolam ikan resah.
"Sebentar saja ya Pak, kita cuma mau tanya-tanya kronologi saat Bapak dan Ibu menemukan mayat itu, bisa ya Pak?" wartawan itu terus mendesak.
"Bagaimana kalau saya gantikan? Saya juga ada di lokasi saat jasad ini baru ditemukan oleh mereka," ungkap Wijaya Kusuma.
"Oh, boleh-boleh Pak, nama anda siapa?"
"Saya Wijaya Kusuma, Kepala Desa ini."
"Oh, Kepala Desanya masih muda ya," ucap wartawan itu yang terkesima melihat sosok Wijaya Kusuma.
Wijaya Kusuma terpaksa melakukannya, karena dia kasihan pada pasangan suami istri itu yang terlihat ketakutan dan panik, mereka belum pernah diwawancarai wartawan dan beranggapan jika mereka masuk berita akan membuat mereka dicap sebagai tersangka.
Wartawan dan Wijaya Kusuma pun mengobrol dengan kondisi dalam keadaan disorot lensa kamera.
"Baik pemirsa di samping saya sudah hadir Kepala Desa Talaga Seungit dengan Pak Wijaya, benar ya? Pak Wijaya Kusuma bisa ceritakan sedikit kronologi saat jasad tersebut ditemukan? Dan apakah benar jasad itu bukan warga desa ini?"
"Iya, jasad itu ditemukan pada sore hari. Saat saya baru saja kembali ke desa ini, saat itu ibu pemilik kolam tiba-tiba berteriak ketakutan, lalu saya pun berlari kearah kolam di depan rumahnya, di sana jasad itu terlihat."
"Kenapa jasad itu baru terlihat di sore hari Pak? Apakah sebelumnya tidak ada yang menyadari?" tanya wartawan penasaran.
"Kalau soal itu saya juga tidak tahu ya, lebih baik kita menunggu hasil pemeriksaan polisi untuk mengetahui sudah berapa lama jasad itu berada di kolam ikan, yang jelas dia bukan warga desa ini." jawab Wijaya tegas di depan mikrofon yang disodorkan dekat mulutnya.
"Kenapa di desa ini tidak ada aliran listrik Pak? Apa benar warga menolak memakai listrik?"
Tiba-tiba saja wartawan itu melontarkan pertanyaan yang tidak ada hubunganya dengan kejadian penemuan mayat. Tapi Wijaya berusaha tetap tenang dan dia sudah bisa menebak, orang-orang kota yang datang kesini pasti akan mengeluh persoalan seperti itu.
"Desa Talaga Seungit adalah desa adat, kami hidup di bawah aturan yang sudah ditetapkan oleh leluhur kami, dan kami memegang teguh nilai-nilai tersebut, kebudayaan disini masih sangat kental dan belum bercampur dengan kebudayaan luar."
"Oh, seperti itu rupanya ya, baik-baik. Terima kasih atas informasinya" jawab wartawan lalu menutup wawancara singkatnya. Selanjutnya dia dan kameramen akan mewawancarai kepolisian yang tengah memeriksa lokasi tempat kejadian perkara.
"Terima kasih atas waktunya ya Pak Wijaya, oh iya ini kontak kami, siapa tahu nanti ada yang perlu kami liput lagi, kami siap datang ke desa ini," wartawan tadi memberikan kartu nama dan Wijaya Kusuma pun mengangguk lalu memasukan kartu nama itu ke dalam saku celana yang masih basah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
anggita
visual gambar dan tokohnya oke👌lah.
2024-08-25
0