Hari ini, di Desa Karajaan Sagara, akan diadakan pasar malam untuk kedua kalinya. Dahulu pasar malam di desa itu di adakan saat listrik pertama kali dipasang disana, kali ini acara serupa diadakan lagi di lapangan desa dengan skala yang lebih besar dan meriah.
Acara tersebut selalu ditunggu-tunggu oleh seluruh penduduk ketiga desa, termasuk warga adat Talaga Seungit, sebagian daru mereka selalu datang secara sembunyi-sembunyi. Takut ketahuan oleh Kepala Desa yang melarang keras interaksi dengan budaya luar.
Namun daya tarik pasar malam terlalu kuat untuk di abaikan, deretan jajanan yang enak, lampu berwarna-warni, suara tawa anak dan lampu sorot yang ditembak ke angkasa menjadi godaan bagi warga desa adat, yang ingin ikut bersenang-senang disana.
Wijaya Kusuma sudah sampai di Desa Karajaan Sagara, dia hendak pergi menemui Mang Ujang untuk menghubungi polisi lagi. Namun, langkahnya di cegat oleh Ningsih yang kebetulan tengah bersantai di teras rumah.
Saat melihat Wijaya lewat di depan rumahnya, Ningsih segera berdiri dan mendekat. "Akang! Kebetulan sekali, malam ini ada pasar malam lho di lapangan desa kami, mau jalan-jalan bareng Neng?"
"Oh, iya. Saya tahu, ada pasar malam ya. Tapi saya harus ke desa nelayan, ada urusan," jawab Wijaya menatap Ningsih dengan ekpresi ramah.
"Urusan apa sih? Kalau begitu jangan dulu pulang ya, sekalian kita ke lapangan desa dulu."
"Ningsih ajak orang tua saja, Saya pergi dulu ya." Wijaya tidak ingin berlama-lama dengan Ningsih.
"Memang Akang tidak tahu ya? Warga Desa Talaga Seungit juga banyak yang datang ke pasar malam, mereka menukar buah-buahan dengan jajanan di sana," ungkap Ningsih.
"Ah, kata siapa?" tanya Wijaya tak percaya.
"Iya kok, waktu pasar malam yang pertama kali, banyak yang barter di sana. Warga desa mana yang melakukan barter, selain Desa Talaga?"
"Akang harus pamit dulu ya Ningsih," Wijaya seolah tidak peduli dengan ucapan Ningsih, dia ingin segera bertemu Mang Ujang dan memintanya menghubungi polisi.
Namun, sesampainya di rumah Mang Ujang. Wijaya malah bertemu istrinya. "Kang Wijaya, Mang Ujang mah sedang berlayar. Pulangnya pagi-pagi."
"Aduh, tadinya saya mau minta panggilkan lagi polisi," jawab Wijaya kecewa.
"Oh, ponselnya juga dibawa dia, kan buat hiburan puter musik gitu."
"Ya, kalau begitu saya izin pamit, besok pagi saya kembali lagi," Wijaya tersenyum dan hendak pamit namun istri Mang Ujang tiba-tiba menarik baju Wijaya.
Seketika, Wijaya Kusuma kaget. Dia tidak menyangka istri Mang Ujang akan berbuat seperti itu, dengan wajah kaget Wijaya menatapnya, seketika mata Wijaya membesar saat wanita itu berbisik, "Nginep dulu atuh, mumpung suami saya di laut."
"Nginep? Ahaha tidak bisa," Wijaya mendadak gugup dan salah tingkah.
"Ih, Akang. Saya teh udah lama da suka ama Akang," ucap istri Mang Ujang dengan tatapan genit.
"Neng, maaf Neng. Jangan begitu ya, kasian Mang Ujang," tolak Wijaya, mencoba melepaskan tangan wanita itu yang mencengkram bajunya.
"Akang teh gagah beda sama suami saya yang kurus kering, Akang teh idaman Neng."
Wijaya lalu memasang wajah kesal, "Sadar Neng! Ini teh dosa! Saya pamit dulu ya!" Wijaya lalu pergi meninggalkan istri Mang Ujang yang mendadak menggodanya.
Wijaya bingung hendak meminta bantuan siapa lagi, satu-satunya orang yang bisa dimintai bantuan hanya Ningsih, karena Ningsih juga memiliki ponsel.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Was pray
kalau memang benar-benar desa adat dan tidak mau terkena pengaruh modernisasi, sebaiknya setiap permasalah di desa adat sebaiknya diselesaikan dengan hukum adat, kalau masih menggunakan perangkat hasil teknologi dalam menyelesaikan permasalahan yg terjadi di desa maka jadinya desa setengah adat
2024-08-07
1