Tidak disangka, setelah pemakaman Pak Arifin, banyak warga yang benci kepada Wijaya Kusuma karena Kepala Desa tidak melaporkan kasus pembunuhan ini ke polisi dan membiarkan Ajat bebas begitu saja.
Semua orang menuduh, karena Ajat adalah sahabat kecil Kepala Desa. Tuduhan itu akhirnya sampai ke telinga Ibu Wijaya Kusuma.
"Mamah, disindir ibu-ibu, katanya kamu pilih kasih," keluh ibu Wijaya, setelah menceritakan tuduhan warga padanya.
Wijaya termenung, bersandar di kursi jati yang memiliki ukiran burung elang. Tatapannya kosong ke depan memikirkan nasib Ajat.
"Ajat tidak salah Mah, dia melakukan itu untuk membela diri."
"Apapun alasannya, apa tindakan menghabisi nyawa orang lain di perbolehkan? Di mata hukum itu tindakan yang salah," ucap ibunya yang tengah memilah sayuran.
Tiba-tiba seorang pemuda muncul dari pintu rumah mereka yang terbuka, dengan nafas terengah-engah dia menatap Wijaya dengan tatapan panik, "Akang! Rumah Ajat mau dibakar warga!"
Wijaya yang sedari tadi terlihat lemas sontak berubah menjadi panik matanya melotot dan jantung yang terasa seperti di pukul, Wijaya lalu mengambil sehelai baju dan memakainya dengan cepat.
Wijaya mengikuti langkah kaki pemuda itu menuju rumah Ajat yang terletak dekat sungai. Semua warga sudah ada di sana membawa obor berteriak sambil mengacungkannya ke atas.
"Ayo, kita bakar rumah pembunuh keji ini!" teriak seorang pemuda, teriakannya memancing warga lain berdatangan ke lokasi, meskipun tidak semua orang setuju dengan aksi itu.
"Hentikan!" Wijaya berlari melewati beberapa warga dan masuk ke dalam kerumuman, Wijaya berdiri menatap mereka yang memasang wajah kesal.
"Pak Kepala Desa, tolong minggir!" tegas seorang pria paruh baya.
"Iya, minggir Pak!" sambung yang lainnya.
"Hentikan! Jangan bakar rumah ini!" tegas Wijaya.
"Pak Kepala Desa memang pilih kasih! Meskipun teman dekat jangan begitu atuh! Pembunuh kok di lindungi!" teriak istri Pak Arifin, berdiri dengan putrinya yang terlihat panik.
"Hentikan! Ini adalah rumah yang penuh kenangan, kalian salah paham!" tungkas Wijaya.
"Bakar!" teriak Arini, tak ingin Wijaya memberitahu fakta sebenarnya.
"Bakar!" seorang warga melempar obor ke arah langit-langit rumah, lalu warga lainnya juga melakukan hal yang sama, tak butuh waktu lama seketika rumah Ajat dilalap si jago merah.
Panas dari kobaran api terasa di badan Wijaya Kusuma, rasanya menyakitkan melihat rumah yang penuh kenangan itu kini terbakar. Dulu saat masih kecil, Wijaya sering bermain dengan Ajat di halaman depan rumah itu. Lalu ibu Ajat sering membuat makanan untuk mereka berdua.
Meskipun api sudah terlanjur berkobar melalap rumah itu, masih ada api lain yang harus Wijaya padamkan, yaitu kesalah pahaman warga terhadap Ajat, yang sebenarnya membunuh pembunuh pemuda tanpa identitas.
"Ajat! Dia melakukan tindakan itu karena dia mengetahui sesuatu!" Teriak Wijaya Kusuma diiringi suara kayu yang lapuk dan terbakar.
Semua warga menjadi melihat ke arahnya, "Pak Arifin adalah pembunuh pemuda di kolam ikan lele!" Ungkap Wijaya Kusuma penuh emosi, tak peduli lagi dengan Arini yang meminta dia merahasiakan itu.
"Pak Arifin pembunuh pemuda itu?" bisik warga.
"Hah? Apa bener ini teh?" warga sekarang saling berbisik.
"Dari mana Pak Kepala Desa tahu?" tanya seorang warga.
"Saya punya barang buktinya! Arini, sebaiknya kamu mengaku!" kata Wijaya Kusuma menatap kejam gadis itu, yang kini terlihat terpojok.
"Arini, apa benar yang dikatakan Kang Wijaya?" tanya ibunya.
"Arini! Ngaku!" tegas warga yang berdiri di sebelah Arini.
Arini, dia masih terdiam menatap kesal Wijaya yang berdiri di depan api yang berkobar. Arini menjadi kesal pada Kepala Desa muda itu. Arini mendadak teringat harta karun di dalam candi yang menghilang ketika dia kembali bersama warga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments