Sekembalinya Dariel dari kamar mandi, ia yang melihat istrinya itu sedang berusaha menjangkau gelas di sisinya terhenti karena melihat kehadirannya. Nadhira langsung menunduk sambil memainkan jemarinya.
Ia berjalan ke arah Nadhira, kemudian mendekatkan gelas berisi air tersebut pada istrinya lalu ia berlalu ke arah sofa. Ia duduk di sana sedang memainkan ponselnya tanpa satu katapun keluar dari mulutnya.
Sedangkan Nadhira sedang menatap ke arah kamar mandi juga suaminya bergantian, ia sudah tidak tahan ingin ke kamar mandi tetapi takut bilang ke suaminya. Jika ia berjalan sendiri ia takan mampu menopang beban tubuhnya sendiri.
"Kak," Panggilnya ragu-ragu dengan suara pelan. Akhirnya ia meminta tolong suaminya karena takut jika terlalu lama lagi menunda, ia akan ngompol di sana.
"Kak, Dira boleh minta tolong antarkan ke kamar mandi," Ucapnya lagi karena suaminya sama sekali tidak melihat ke arahnya ataupun merespon perkataannya, ia hanya fokus pada ponselnya saja.
Tidak mendapatkan jawaban, Nadhira hanya menatap suaminya dengan tatapan sendu. Ia akhirnya memutuskan untuk pergi sendiri, perlahan menurunkan kakinya. Namun saat telapak kakinya berpijak pada lantai, ia merasa tubuhnya seperti melayang.
Ternyata itu karena Dariel menggendongnya. Nadhira merasa gugup sekaligus bahagia karena tindakan suaminya itu. Setelah menurunkan istrinya di closed Dariel keluar, Nadhira yang sedang berada di dalam tak hentinya tersenyum bahagia.
Setelah selesai, Nadhira kembali ke brankar dengan masih digendong suaminya. Saat Dariel hendak pergi, Nadhira menarik tangannya menghentikannya.
"Kak, terima kasih," Tidak menjawab, Dariel hanya menepis kasar tangan Nadhira.
Kali ini Dariel bukan duduk di sofa, ia pergi dari ruangan. Dari sejak ia pergi, sampai matahari terbenam ia sama sekali belum terlihat. Nadhira di rumah sakit menunggunya cemas, ia tidak sama sekali menghubungi keluarganya juga untuk merawatnya karena tidak ingin membuat orang tuanya khawatir.
Sungguh Nadhira tidak bisa memahami sikap suaminya itu, Dariel yang ia kenal dahulu benar-benar sudah tidak ada lagi. Sikapnya bukan seperti Dariel yang pernah hadir di hidupnya dahulu, ia tidak tahu apakah ia harus berhenti atau berjuang di pernikahan sendiri ini.
"Hai," Sapa seseorang yang menunjukkan senyum dibibirnya dari balik pintu.
"Hai," Jawab Nadhira kembali.
"Aku dengar dari suster katanya ada yang tidak mau makan," Suaranya yang berjalan menghampiri Nadhira.
"Mereka cuma asal bicara."
"Oh begitu, kalau begitu aku adukan sama pihak rumah sakit aja ya. Soalnya sudah bicara yang tidak-tidak."
"Eh jangan-jangan. Ihhhhhh," Kesal Nadhira.
"Kalau begitu makan ini! Ini Mama yang buat, dia pasti marah kalau kamu tidak makannya," Membuka kotak makanan yang ia bawa.
"Tukang maksa."
"Daripada kamu."
"Apa?" Tidak terima Nadhira.
"Coba galak begitu sama laki-laki breng\*\*k itu."
"Evan, dia suami aku."
"Suami apa yang kamu maksud, setelah aku hajar dia justru bukan tobat malah meninggalkan istrinya di sini sendiri. Sebenarnya dia punya hati atau tidak," Kesalnya.
"Jadi Kumu pukul kak Dariel?" Seru Nadhira sambil mengingat luka di sudut bibir suaminya, dan ternyata itu ulah sahabatnya sendiri si dokter Evan.
"Dia pantas mendapatkannya," Jawabnya tanpa penyesalan.
"Jangan asal bicara. Kamu enggak berhak pukul dia begitu."
"Terus dia berhak kasar dan siksa kamu?."
"E-engak Kak Dariel enggak pernah kasar, apalagi siksa aku," Jawab Nadhira dengan suara terbata.
"Terus ini apa?" Tunjuknya pada luka memar di leher Nadhira.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments