"Lama banget sih tu badak Afrika, masa iya gue harus bilang sendiri ke kakek Prawira."
Bian duduk di sofa ruang kerja Prawira, sementara laki-laki tua di depannya sudah mengernyitkan dahi karena hampir lima belas menit cucu menantunya itu di sana tanpa mengucapkan maksud dan tujuan menemuinya sepagi itu.
"Ada apa? katakan, tidak usah takut!"
Bian menautkan jemarinya, sial! seharusnya sang suami yang harus mengatakan ini ke sang kakek bukan dirinya.
"Kek," lirih Bianca.
"Aku, em... maksudku Skala dan aku kek, ingin membeli sebuah rumah dan berencana pindah dari rumah ini segera." Bian mengucapkan kalimat itu dalam satu tarikan napas, lantas merapatkan kedua bibirnya.
Prawira mencondongkan badannya ke gadis itu, wajahnya terlihat heran.
"Apa kamu berniat pindah karena Felisya?" bisiknya.
"Ya? apa?"
Bian melebarkan manik matanya, wajahnya terlihat kebingungan namun dapat tertutupi dengan senyum menawannya.
"Apa kamu melihat gadis itu memeluk suamimu semalam?"
Prawira menggunakan kedua tangannya untuk memberi contoh, Bianca seolah latah ikut melakukan gerakan yang sama seperti Prawira. Gadis itu bingung, wajahnya sudah terlihat seperti orang bodoh.
Belum sempat Bian menjawab pertanyaan sang kakek pintu ruangan itu terdengar diketuk dari luar, hanya persekian detik Skala sudah masuk menatap secara bergantian sang istri dan kakeknya.
"Baiklah jika kalian ingin punya rumah sendiri kakek akan membelikannya untuk kalian," ucap Prawira setelah mendengarkan permintaan pengantin baru yang duduk di hadapannya.
Terkejut, Bian menggunakan kedua tangannya untuk menolak ucapan Prawira.
"Tidak kek, kami sudah sama-sama bekerja dan memiliki penghasilan, jadi kami akan membeli rumah sendiri."
Prawira menatap ke arah sang cucu, ia tau bahwa cucunya pasti akan menerima tawaran rumah darinya dengan senang hati.
"Kami akan membeli rumah sendiri jadi kakek tidak perlu memikirkan hal itu."
Ucapan Skala membuat Prawira menatap Bian, bagaimana mungkin baru menikah tiga hari cucu kesayangannya sudah mulai berubah, biasanya Ska akan menerima semua yang diberikan secara gratis olehnya, Prawira pikir Bianca membawa dampak positif ke sang cucu.
"Baiklah tapi dua hari dalam seminggu kalian harus tetap manginap disini." Prawira berdiri dari kursinya, berjalan keluar menuju meja makan untuk sarapan.
"Wah... apa yang loe bilang sampai kakek bisa setuju begitu saja," puji Ska.
"Loe semalam peluk-pelukan sama Feli, ya kan?" Bian menatap tajam suaminya.
"Kenapa? loe lihat? loe cemburu?"
"Dasar loe emang, bukan gue yang lihat tapi kakek."
Bian berdiri sambil merapikan bajunya dan menepuk bagian paha celana jeans yang dia kenakan, karena masih dalam masa ijin cuti menikah keduanya berniat pergi menemui sang pengacara setelah sarapan nanti.
"Kakek?" tanya Ska heran.
"Iya, beliau lihat loe dipeluk Feli, asli ya Ska ibarat sinetron di chanel ikan terbang posisi gue sekarang di mata kakek loe tu udah kayak istri yang teraniaya sama suami laknatnya." Bian menggelengkan kepalanya sambil mendecih.
"Loe bilang ga pernah nonton TV tapi ternyata loe tau ada sinetron kayak gitu."
Skala membukakan pintu untuk Bian, mereka berjalan bersisian untuk turun menuju meja makan.
"Istri pertama papa gue tu yang sering nonton, dia kayaknya menghayati banget tu sinetron, makanya dia kejam banget ke gue."
"Cih sekarang loe lagi curhat colongan?" ejek Skala.
"Udahlah panjang urusannya kalau sama loe, pura-pura aja loe ga denger," Bian berjalan cepat menuruni anak tangga.
***
"Ini kontrak pernikahan kalian, silahkan dibaca dulu lalu tanda tangani." Andra menyodorkan kertas kontrak ke atas meja, tepat diantara Bian dan Ska.
Pasangan yang sama-sama mengenakan kacamata hitam itu secara serempak meletakkan telapak tangan mereka di atas kertas.
Ska mengangkat tangannya, membiarkan Bian terlebih dulu untuk menandatangani dua kontrak dengan dua posisi materai yang berbeda itu, dimana jelas satu kontrak akan dipegang Bian dan satu lagi untuk Skala.
Setelah selesai dengan urusan kontrak, mereka bergegas meninggalkan Andra dan Melanie dari restoran tempat pertemuan. Kedua pengacara itu terlihat masih memandangi klien mereka masing-masing dari balik jendela kaca restoran.
"Bukankah jika dilihat sebenarnya mereka bisa menjadi pasangan yang serasi?"
Melanie meletakkan telunjuk di dagunya seolah berpikir mendengar pertanyaan Andra, "Benar, tapi sayang mereka seperti air dan minyak, tidak akan mungkin bisa menyatu."
Bian yang berada di dalam mobil bersama sang suami menatap tajam dua pengacara yang masih duduk dan terlihat berbincang itu, Andra terlihat sampai menutupi mulutnya dengan telapak tangannya untuk berbicara ke Melanie.
"Dari mukanya, pengacara loe tu kayaknya ga bisa dipercaya deh Ska." tuduh Bianca.
"Ngaco, Andra itu salah satu orang yang paling bisa gue andalkan." Skala membela sang pengacara sambil memakai sit belt ke badannya.
"Pokoknya kalau sampai terjadi apa-apa loe yang harus tanggung jawab," tegas Bian.
"Iya bawel, sekarang ayo kita pergi cari rumah!"
Bian menaikkan kacamata ke atas kepalanya, terkejut dengan ucapan suaminya.
"Secepat ini kita mau beli rumah?"
"Yes, gue ga mau lama-lama tidur seranjang sama loe, loe kalau tidur kek gangsing, kaki loe sampai ke muka gue, gue takut bangun-bangun hidung mancung gue bengkok gara-gara loe tendang."
Bian yang kesal langsung mencubit hidung Skala sambil sedikit meremasnya "hidung loe tu pesek tau, mancung dari mana? ngimpi loe!"
Skala menyingkirkan tangan Bian dengan kasar, mengaduh sambil memegangi hidungnya yang terlihat memerah, "KDRT loe ah!"
Bian memalingkan mukanya menghadap pintu mobil, sebenarnya ia malu karena Skala mengetahui gaya tidurnya yang tak biasa itu.
Mereka akhirnya pergi ke kantor sebuah pengembang perumahan, mata Bian sampai melotot melihat harga rumah yang ingin dibeli oleh suaminya.
"Ska, loe yakin mau beli rumah seharga sepuluh miliar? Jadi kita masing-masing lima miliar gitu?"
"Iya lah, gue mau tinggal di perumahan elite yang suasananya mendukung, gue ogah tinggal di perumahan biasa, apalagi banyak emak-emak rumpinya."
"Kalau gitu kita terima aja deh tawaran kakek yang mau beliin kita rumah tadi."
Bianca menutup katalog rumah yang berada diatas meja, seketika itu senyuman staff marketing di hadapannya tiba-tiba menghilang.
"Loe malu-maluin tau, masa direktur Niel Fashion beli rumah lima miliar aja ga kuat," bisik Skala.
"Loe ga tau ya? gue tu kismin."
"Serius?" Ska melebarkan bola matanya, dahinya terlipat heran.
"Hem, gue cuma ada budget satu miliar jadi kalau mau tetep beli rumah ini, loe bayarin dulu ya yang empat miliar, ntar gue cicil ke loe tiap bulan."
"Banyak banget donk utang loe ke gue," bisik Ska lagi.
"Intinya loe pilih, ngutangin gue empat miliar atau kita cari rumah lain yang sesuai budget gue."
Melihat pasangan suami istri yang berbisik-bisik seolah melupakan keberadaan dirinya yang tengah berada disana, sang staff marketing terlihat pura-pura batuk. Sadar akan hal itu, Skala memilih mengajak Bian berbicara di luar.
"Loe malu-maluin gue tau Ca."
"Halah kayak loe tau aja malu letaknya ada dimana," cibir Bian.
"Dimuka lah, dimana lagi coba?"
"Kalau loe tutup muka terus gue buka celana loe didepan umum loe malu ga?"
"Ya malu lah."
"Nah kenapa loe bilang malu adanya di muka?"
Skala menggertakkan giginya, tangannya sudah meremas-remas gemas udara di depan muka istrinya.
"Pokoknya kalau loe masih mau beli rumah itu, gue kutang."
"Ngutang Ca Ngutang, loe siang-siang ngomongin kutang, gila loe ah!"
Bianca terbengong tak menyadari kesalahan pengucapan katanya tadi.
Skala tetap tak mau mengalah, ia memutuskan mengambil rumah itu dan membiarkan Bianca untuk mencicil kekurangannya setiap bulan, di dalam hatinya laki-laki itu sedikit senang karena bisa membuat hutang Bianca sebagai tameng jikalau nanti istrinya mulai besar kepala kepadanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments
Yayat Sadiah
/Facepalm/
2025-01-04
0
Devi Nurdianti
aq bc part ini Sampek ngakak😂😂
2024-06-30
1
Rita
au ah mau ngakak aja dasar pasutri sengklek
2023-02-16
0