BAB. 8

Waktu bergulir begitu cepat. Dan jam saat ini sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Dimana para karyawan perusahaan menikmati istirahat siang.

Namun tidak dengan Alice. Wanita itu masih diam di kursinya sambil terus memegang perutnya yang terasa di remas-remas.

"Kenapa harus datang sekarang di hari pertamaku bekerja. Dan sialnya aku tidak membawa pem-balut satupun!" kesal Alice sembari menundukkan kepalanya di atas meja.

Bibir Alice terlihat pucat dan tubuhnya gemetar. Ditambah lagi, tadi pagi Alice tidak sempat sarapan pagi karena terburu-buru.

Lengkap sudah penderitaan wanita itu.

Sementara di dalam, Arthur sedang bersama dengan Erick. Pria itu mengajaknya bicara, namun Arthur tak menanggapinya.

"Mau makan di kantin atau di luar? Ada kafe baru tak jauh dari sini. Kamu harus mentraktirku, Ar." Erick menghampiri Arthur dengan wajah sumringah.

Erick yakin Arthur pasti akan setuju dengan ajakannya.

Bukannya menjawab, Arthur malah diam saja dan bergumam sendiri, "Apa yang sedang wanita itu lakukan? Kenapa dia tidak istirahat dan malah tidur di ruangannya?"

Mengerti kemana arah tatapan Arthur tertuju, Erick berdecak kesal. Ia merasa diacuhkan semenjak kehadiran Alice. "Cih, aku pikir kamu tidak doyan wanita. Tapi sepertinya aku salah besar," cibirnya.

Arthur melirik tajam Erick.

"Apa maksud ucapanmu? Sudah aku katakan berulang kali kalau aku memang normal!"

Arthur mendesah kasar. Tidak tahu lagi bagaimana caranya meyakinkan sahabatnya yang selalu berpikiran buruk tentangnya.

Selalu sendiri dan terlihat tidak pernah mengencani wanita, membuat Arthur di cap sebagai pria yang memiliki kelainan.

"Apa kamu tertarik pada wanita itu? Jika ya, cepat ungkapkan perasaanmu padanya. Sebelum Zack mengambilnya. Karena yang aku tahu mereka pernah menjalin sebuah hubungan," sahut Erick membuat Arthur menatap lurus ke depan.

Meski Erick tahu, tidak seharusnya ia membongkar aib Alice dan membeberkannya pada Arthur. Karena itu melanggar perjanjian privasi mereka.

"Aku tidak menyukainya dan tidak mau peduli apapun tentang kehidupan pribadinya. Kurang kerjaan sekali," balas Arthur mencoba mengelak.

"Terserah kamu saja!" tak ingin berdebat lagi, Erick memutuskan untuk pergi sebelum Arthur bertambah murka padanya.

Dua puluh menit berlalu, mereka berdua masih berada di posisi yang sama. Alice tetap diam di tempat sedangkan Arthur terus mengawasinya tanpa berpaling sedikitpun.

Arthur tersenyum sinis.

Padahal, ia sempat menanyakan hubungan Alice dengan Zack. Tapi wanita itu tidak menjawabnya dan terkesan menutupi darinya. Kini rasa penasaran Arthur bertambah saat Erick membahas tentang Zack.

"Mau sampai kapan dia ada di sana? Apa dia tidak lapar?"

Arthur menghela nafas.

Kemudian, ia bangkit dari tempat duduknya dan memutuskan untuk menghampiri Alice. Bagaimanapun juga, Alice adalah sepupu jauhnya. Meski tidak pernah bertemu lagi sejak mereka berusia lima tahun, Arthur merasa memiliki rasa tanggung jawab padanya.

Ya, sepertinya Arthur lupa dengan ucapannya tadi. Kalau pria itu tidak akan pernah mempedulikan Alice.

Sesampainya di samping meja kerja Alice, Arthur berdehem pelan, "Aku membutuhkan sesuatu. Bisakah kamu membantuku untuk—"

"Ya, saya tahu, Tuan. Berkas yang anda minta akan selesai setengah jam lagi. Jadi, tolong biarkan saya sendirian dulu sekarang," potong Alice.

"Bukan berkas itu yang aku minta tapi—"

"Tapi apa, Tuan? Kenapa anda berisik sekali! Tidak bisakah anda memberikan saya waktu untuk beristirahat dengan tenang? Apa anda tidak tahu kalau saya sedang sibuk?!" pekik Alice kembali memotong ucapan Arthur.

Arthur menaikan satu alisnya.

Sibuk dia bilang? Dia bahkan sedang bersantai-santai di sini.

"Kamu mau kemana? Aku belum selesai bicara." melihat Alice yang pergi begitu saja tanpa menghiraukannya membuat Arthur kesal.

Baru kali ini Arthur diabaikan.

"Ke toilet. Mules!" ketus Alice sembari berlari keluar dari sana.

"Ada apa dengannya? Kenapa dia terlihat sedang menghindari ku?" gumamnya. Arthur akhirnya memutuskan untuk mengikuti Alice.

•••••••

"Astaga, kenapa sebanyak ini?" Alice buru-buru mencuci noda yang ada di celananya dan dengan terpaksa memakainya kembali.

Selesai keluar dari toilet, Alice mondar mandi di depan cermin sambil menggigit ujung kukunya sendiri.

"Haruskah aku meminta izin pada Arthur untuk pergi keluar sebentar? Tapi, apa pria menyebalkan itu mengizinkannya?" gumam Alice.

Lama berpikir, Alice memutuskan untuk kembali ke ruangannya.

Langkah Alice berhenti, ia dikagetkan dengan penampakan Arthur yang tiba-tiba saja sudah berdiri di depannya.

"Arthur?!" pekik Alice.

Alice menelan ludahnya susah payah seraya melangkah mundur. Hingga punggungnya terpojok ke dinding yang ada di belakangnya.

Melihat tatapan Arthur padanya, membuat Alice tak bisa berkutik. Alice merasa Arthur seperti sedang mengintimidasi dirinya.

"Apa di dalam begitu nyaman sampai membuatmu lupa waktu?" Arthur menunjuk arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Kamu bahkan belum makan apapun. Kalau kamu pingsan aku tidak mau bertanggung jawab dan akan membiarkanmu!" ketusnya.

Terlihat sekali kalau ia memang mengkhawatirkan Alice, hanya saja gengsinya terlalu tinggi.

"Kamu mengikuti ku, Ar? Dasar mesum!" Alice menatap nyalang pria yang ada di hadapannya ini sembari menyilangkan tangan di dada. "Apa kamu tidak bisa membaca? Kalau ini adalah toilet perempuan?!"

Bagaimana kalau ada orang lain yang melihat mereka berdua di sana. Mereka pasti berpikir yang tidak-tidak.

"Jangan besar kepala! Aku juga baru saja keluar dari sana," balas Arthur menunjuk toilet yang ada di sebelahnya.

Alice mengikuti arah tangan Arthur. Ia merasa malu karena sudah salah paham dan menuduh Arthur. "Oh, aku pikir kamu tadi mengikuti ku," lirihnya.

"Sudahlah, sekarang ikut aku! Aku akan mengantarmu pulang. Kalau Uncle tahu kamu sakit dan aku membiarkanmu seperti ini, dia pasti akan menghajar ku habis-habisan." Arthur menarik tangan Alice, bermaksud membawanya ke mobil.

"Daddy sudah tidak ada," lirih Alice. Ia tersenyum tipis. Mengingat dirinya yang hidup seorang diri.

Sejak kedua orangtuanya meninggal, Alice tinggal di sebuah panti asuhan. Bahkan, Alice sempat kehilangan saudara kembarnya. Yang entah sekarang berada dimana.

"Apa kamu bilang?"

"Mereka sudah tenang di surga, Ar."

Jantung Arthur berdenyut nyeri mendengar ucapan Alice. Mereka berdua ternyata memiliki nasib sama. Ditinggalkan oleh orang-orang yang mereka cintai.

Terpopuler

Comments

Eva Karmita

Eva Karmita

Arthur mesumnya cuma sama kamu Alice 🤗😘 kalau cewek yg lain Arthur ngk ada rasa 🤮🤭

2024-06-23

3

jaran goyang

jaran goyang

ηєχт

2024-06-23

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!