Alice menepis tangan Arthur yang sejak tadi menahannya. Padahal Alice sudah berniat pergi dari sana. Ia tidak mau berlama-lama berada di dekat Arthur.
"Kamu tidak akan pernah bisa pergi dariku. Jadi, batalkan saja niatmu!" Arthur menghalangi jalan Alice.
Arthur sudah bertekad untuk tidak melepaskan wanita itu lagi sejak pertemuan mereka yang kedua kalinya.
"Kamu pikir kamu siapa? Dengan seenaknya melarang aku pergi?" Alice mendorong Arthur, kemudian melangkah menuju pintu keluar. "Seharusnya aku menolak tawaran Erick kemarin. Kalau tahu dia Ceo nya tentu aku memilih untuk tidak datang dan—" langkah Alice berhenti tepat di ambang pintu saat melihat sosok pria yang begitu sangat ia kenal.
"Zack..." lirihnya.
Ya, Alice melihat Zack sedang bersama seorang wanita dan mereka berdua sedang berjalan ke arahnya.
Dengan cepat Alice berbalik dan kembali masuk ke dalam ruangan Arthur. Tiba-tiba saja Alice tersandung kakinya sendiri, yang menyebabkan dirinya hilang keseimbangan.
Alice menutup kedua matanya. Hingga tersadar kalau saat ini ia tidak jatuh ke bawah melainkan di tangkap oleh Arthur.
"Kamu baik-baik saja?" tangan besar Arthur berhasil menahan tubuh Alice. Namun sialnya, Arthur salah sasaran.
Tangan besarnya itu malah mendarat di salah satu buah melon milik Alice. Terasa empuk dan pas dengan ukurannya.
"Sial! Benda apa yang sedang kupegang ini?" gumamnya mengumpat dalam hati.
Jujur saja, ini adalah pertama kalinya Arthur menyentuh milik wanita selain milik ibunya. Dan apa yang terjadi pada Arthur saat ini berhasil membuat sisi liarnya bangkit.
"Mau sampai kapan kamu mere mas dadaku, Arthur?!" pekik Alice dengan pipi yang sudah merona.
Ucapan Alice langsung membuat Arthur tersadar dari lamunannya. Cepat-cepat Arthur melepaskan Alice dan bergegas menjauh.
"A—aku tidak sengaja." kilah Arthur.
"Bilang saja kalau kamu sudah puas menyentuhnya!" Alice mendengus kesal.
Betapa malunya Alice saat ini. Niat Arthur memang baik. Tapi, kenapa harus di bagian dadanya?
"Puas katamu? Semua salahmu karena tidak hati-hati saat berjalan!" Arthur menyalahkan Alice karena kecerobohan gadis itu sendiri. "Mangkanya lain kali gunakan kaki dan matamu dengan benar." Arthur memalingkan wajahnya. Berusaha bersikap biasa saja, seakan tidak terjadi sesuatu.
"Aku salah? Kamu yang menyentuh milikku juga aku yang salah? Dasar pria mesum tidak tahu diri! Kamu benar-benar menyebalkan dan mph..." kedua mata Alice melotot ketika Arthur membungkam bibirnya.
Ya, Arthur terpaksa mencium Alice dengan sedikit kasar dan menggigitnya karena kesal. Sejak tadi Alice terus memakinya, mengatakan kalau dia mesum.
"Kalau kamu tidak berhenti berteriak, aku akan terus melakukan ini padamu." Arthur menyeringai tipis sembari mengusap bibir Alice yang bengkak karena ulahnya.
Alice mematung di tempat tanpa bisa berkata-kata lagi. Mungkin sekarang bukan waktunya memikirkan ciuman yang baru saja Arthur berikan.
Anggap saja, ini adalah balasan karena ia pernah mencuri ciuman milik pria itu.
"Argh..." Alice meringis menahan ngilu di pergelangan kakinya. Ia mencoba menggerakkannya, namun malah semakin sakit.
Mendengar wanita itu meringis, Arthur merasa tak tega. Ia mendekati Alice dan membopongnya.
"Arthur!" pekik Alice.
"Diam! Apa kamu mau aku menciummu lagi?" ucap Arthur. Alice langsung menggeleng cepat.
Wanita itu patuh tanpa berani protes. Arthur tersenyum dalam hati melihat Alice berubah seperti kucing jika seperti ini.
Arthur mendudukkan Alice di sofa. Kemudian, ia berlutut dan melepaskan high heels Alice untuk memeriksa keadaan kakinya.
"Mana yang sakit? Yang ini atau ini?" Arthur memijat perlahan kaki Alice dengan penuh kelembutan. Seakan-akan, Alice adalah barang antik yang harus ia jaga.
Alice tertegun melihat sisi lain Arthur. Yang kadang perhatian dan menyebalkan di saat bersamaan.
"Apa hubunganmu dengan Zack? Apa kalian saling mengenal?" pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibir Arthur. Entah kenapa, ia penasaran dengan hubungan mereka berdua.
"Haruskah aku menjawab pertanyaanmu yang tidak penting itu?" ketus Alice. Ia sedang malas membahas apapun yang berkaitan dengan Zack.
Luka di hati Alice belum kering mengingat percintaan panas yang Zack dan Viona lakukan malam itu. Jika terus membahasnya, Alice tidak akan pernah bisa melupakan Zack.
"Aw, pelan Ar!" Alice memekik saat kakinya di pijat begitu kuat oleh Arthur. "Kalau tidak ikhlas lebih baik hentikan saja."
"Dasar cengeng. Begini saja kesakitan." Arthur beranjak dari duduknya, mengambil segelas air untuk Alice. "Minumlah. Setelah itu kamu boleh langsung bekerja. Berikan laporan keuangan dua bulan terakhir padaku," titahnya.
"Memangnya siapa yang setuju bekerja di sini? Aku belum bahkan belum mengiyakan."
Alice belum memutuskan apapun. Kenapa bisa pria menyebalkan ini memintanya segera bekerja?
"Kamu menolak?" Arthur mendekatkan wajahnya. Mengunci Alice dengan kedua tangannya yang diletakkan di sisi kanan kiri tubuh wanita itu.
Kedua manik mata mereka saling menatap satu sama lain dengan jarak begitu dekat. Bahkan hidung mereka hampir bersentuhan.
"Hentikan, Ar..." Alice memutus kontak mata lebih dulu dengan Arthur. Berada di posisi ini membuat debaran jantungnya tidak aman.
___________
"Lain kali jika tidak terbiasa memakai sepatu hak tinggi, pakai sepatu model biasa saja. Jangan terlalu memaksakan." Arthur meletakkan salep yang baru saja ia gunakan untuk mengobati kaki Alice. Lalu meminta wanita itu untuk menggerakkan kakinya dengan perlahan. "Masih sakit?"
"Sedikit," jawab Alice singkat.
Arthur terkekeh sembari mengusap puncak kepala Alice. "Baguslah kalau begitu."
Pria dengan tato di tangan kanannya itu melepaskan kedua kancing kemeja bagian atasnya. Udara di sekitarnya mulai terasa panas.
"Meja kerjamu ada di sana, tidak jauh dariku. Jadi, aku bisa leluasa memanggilmu jika aku membutuhkan bantuan." Arthur menunjuk meja yang berada yak jauh darinya.
Hanya dibatasi dengan dinding kaca.
Alice mengangguk. Akhirnya Alice memutuskan untuk bekerja dengan Arthur. Niatnya berubah sejak melihat Zack juga Viona bekerja di sini.
"Jangan panggil namaku saat kita sedang berada di kantor. Anggap saja kita tidak pernah saling mengenal satu sama lain sebelumnya." tegas Arthur. Kemudian duduk di kursi miliknya.
"Ya, saya mengerti, Tuan." Alice menghela nafas seraya bangkit dari tempatnya menuju ruang kerjanya.
Dengan tertatih, akhirnya Alice bisa menggapainya dan duduk dengan tenang di sana.
Apa yang Alice lakukan sejak tadi, tak luput dari penglihatan Arthur yang sejak tadi mencuri pandang ke arahnya.
"Berdirilah di saat yang tepat, bodoh!" Arthur mengumpat dirinya sendiri, melihat miliknya di balik celana yang meronta meminta untuk di puaskan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
4U2C
🤣🤣🤣🤣🤣🤣 tempat sekali
2024-07-01
0
Yuni Setyawan
kobranya sudah Nemu pawangnya 😂
2024-06-28
1
Tarsiah Asih
adik kecilnya pengne jalan " ya tur
2024-06-23
1