...Bab 19 - Sosok Kerdil di Rumah Rahmat...
...**********...
“Mau ngapain elu?”
Adam yang sudah terjaga langsung menatap tajam ke arah Adit. Pemuda gemuk itu pun terkejut dan terpeleset karena sudah terlanjur mengangkat satu kaki yang dia arahkan ke wajah Adam. Suara berdebam sontak mengejutkan semuanya.
“Gue bilang apa, Ndut, kalau niat mau ngerjain Adam ada aja yang bakal bikin kita kualat,” gumam Sule seraya membantu Adit untuk bangkit.
“Hehehe, gue kan cuma punya ide. Lagian Adam kalau udah gak pingsan kenapa ngagetin gitu, sih?!” sungut Adit seraya meringis kesakitan memegangi bokongnya.
“Mas Adam, ini teh angetnya diminum dulu,” ucap gadis manis itu menyodorkan segelas teh hangat pada Adam.
“Makasih, ya.” Adam menerimanya lalu meneguknya.
“Jadi, kamu kenapa bisa sampai pingsan dekat hutan?” tanya Kakek Slamet.
“Saya juga nggak tau, Kek. Pokoknya saya ngerasa ada yang pukul punggung saya,” jawab Adam.
“Wah, siapa orangnya yang berani pukul temen gue? Harus gue pukul balik, tuh!” sahut Sule.
“Kalau gue tahu juga gue kejar balik,” kata Adam.
“Iya juga, ya.” Sule duduk seraya menyiapkan suntikan antibiotik untuk adiknya Karsih.
“Kalian udah cek keadaan pasien?” tanya Adam.
“Belum. Soalnya ngurusin elu dulu yang pingsan,” jawab Adit.
Sule pun mengangguk seraya menyiapkan rivanol dan kasa kalau diperlukan untuk membersihkan luka di tubuh pasien.
“Ya udah, ayo kita cek dulu!” kata Adam seraya bangkit.
Tiba-tiba, suara Rahmat berteriak terdengar. Semua yang ada di teras rumah langsung bergegas ke kamar tempat Rahmat dibaringkan.
“Dek, kamu kenapa?” Karsih mulai panik menemui adiknya.
“Itu, itu di sana Mbak Yu!” Anak berusia delapan tahun itu menunjuk ke arah jendela.
Daun jendela itu membuka dan menutup berulang kali. Padahal tidak ada angin kencang. Namun, Adam dapat melihat sosok kerdil bermata merah yang tubuhnya persis seperti jenglot hanya saja tinggi dan besar tubuhnya seperti anak kecil.
“Gak ada apa-apa di jendela,” ucap Sule.
“Iya nggak ada apa-apa. Tapi kok jendelanya kebuka ketutup terus gitu, ya, padahal nggak ada angin?” sahut Adit.
“Mungkin engselnya kendor,” kata Adam mendekat ke arah jendela lalu menutup jendela tersebut sampai jari-jari si kerdil terjepit.
“Udah gue kunci, nih. Nggak akan kebuka lagi,” sahut Adam melayangkan tawa kecil.
Sosok kerdil itu menarik tangannya. Ia menatap Adam tajam dengan geram. Di kejauhan dekat kebun singkong, Adam melihat ada sosok hitam yang bermata merah sedang mengawasi. Si kerdil yang ada di depan jendela, langsung pergi menuju sosok yang dilihat Adam tadi.
Adam mendekat pada Rahmat. Menggunakan sarung tangan, lalu mengecek keadaan anak itu.
“Pasang infus nggak, Dam?” tanya Adit.
“Iya, kasih dia infus. Suntik antibiotik juga. Terus kasih salep buat lukanya ini,” sahut Adam.
“Kayaknya salep kita udah mulai habis. Tapi gue udah pesen, sih. Cuma kalau pun gak sampe rumah Mas Karyo, paling dikirim ke puskesmas,” kata Sule.
“Ya udah nggak apa-apa. Elu pesen sama obat-obatan lainnya juga?” Setelah menyuntikkan obat pada Rahmat, Adam lantas membuang sarung tangan medis itu, lalu mencuci tangannya.
“Udah, Dam,” Sule mengangguk.
Setelah memberikan Karsih petunjuk memberikan obat pada adiknya itu, ketiga pemuda itu pamit. Kakek Slamet terlebih dahulu menaburkan garam kasar di sekitar rumah Karsih sebelum pergi.
“Buat apa itu, Kek?” tanya Adit.
“Saya yakin kalau ada yang mau ambil Rahmat, makanya dia nunjuk ke jendela tadi. Jadi buat jaga-jaga, katanya Pak Kades suruh taburi garam kasar di sekitar rumah,” jelasnya.
“Kalau nggak mempan gimana, Kek?” tanya Adam.
“Yang penting sudah berusaha, Mas. Ayo, ke rumah pasien selanjutnya. Hari masih panjang, loh!” ajak Kakek Slamet.
Ketiga pemuda itu pun mengikutinya.
...***...
Sepulangnya dari Desa Onde, Adam meminta Sule untuk menghentikan mobilnya. Dia melihat Siti tengah membeli buah pisang di depan gerbang rumah keluarga Hadinata.
“Mau ngapain, Dam?” tanya Sule.
“Gue mau ngomong bentar sama Siti. Kalian tunggu di sini bentar,” sahut Adam.
Pemuda itu turun dari mobil dan menghampiri Siti.
“Eh, Mas Adam dari mana?” tanya Siti.
“Dari periksa pasien di desa sebelah. Ti, gue boleh nanya nggak?”
“Nanya apa?” Siti menghampiri lebih dekat seraya menyodorkan pisang ambon pada Adam.
“Gue mau tanya tadi seharian si Ratu pergi nggak dari rumah?” bisik Adam.
“Non Ratu?”
“Hus, jangan kenceng-kenceng ngomongnya!” pinta Adam yang meminta Siti menjauh dari penjual pisang sejenak.
“Non Ratu seharian di rumah, kok. Malahan dia diajarin masak sama si mbok,” kata Siti tak mengerti.
“Beneran dia nggak ke mana-mana?” tanya Adam lagi menegaskan.
“Lah, beneran Mas Adam. Mau saya panggilkan Non Ratunya? Kayaknya ini akal-akalan Mas Adam aja, deh, biar ketemu sama Non Ratu, iya kan?” ledek Siti.
“Nggak, Ti, bukan gitu. Tadi gue liat Ratu di Desa Onde, cuma ya kayaknya mungkin aja mirip doang,” sahut Adam.
“Masa, sih?”
“Udah jangan dibahas lagi sama Ratu. Mungkin gue salah lihat. Pak beli pisang raja itu satu sisir,” pinta Adam pada si penjual pisang tersebut.
“Oh, nggih Mas. Sepuluh ribu,” tukasnya.
Adam menyerahkan selembar uang kertas puluhan ribu pada si penjual pisang tadi. Lalu, ia pamit pada Siti menuju mobilnya. Adit dan Sule juga melambaikan tangannya untuk pamit pada Siti. Sementara itu, di balik jendela lantai dua, Ratu tengah memperhatikan kepergian Adam kala itu.
“Ngapain kamu ngintip-ngintip gitu?!” Sari menyentak Ratu yang langsung terkesiap.
“Nggak ngapa-ngapain, kok. Aku cuma lihat Siti lagi beli pisang apa,” sahut Ratu.
Gadis itu bergegas menuju ke kamarnya kemudian. Meninggalkan Sari yang masih menatap ke arah saudara tirinya itu penuh curiga.
“Hmmmm, mencurigakan sekali si Ratu,” gumam Sari.
Di dalam kamar Ratu, gadis itu tengah memandangi sebuah kaos hijau yang terdapat banyak bercak darah. Kaos yang ia simpan dalam sebuah kotak kardus yang ia letakkan di kolong ranjangnya.
“Aku nggak tau kenapa kaosku ini bisa ada darahnya. Padahal bukan darah aku juga. Tapi, aku takut kalau cerita ini ke Siti,” gumam Ratu.
Gadis itu memilih untuk menyembunyikan kaos itu rapat-rapat. Saat semua tak memperhatikan dirinya, ia akan membakar kotak kardus tersebut bersama tumpukan sampah lainnya esok pagi.
“Non Ratu!” Siti mengetuk pintu kamar gadis itu tiba-tiba.
Membuat Ratu terkejut dan langsung mendorong kotak kardus itu ke kolong ranjang.
“Iya, Ti, masuk aja!” titah Ratu.
“Ini saya bawa pisang ambon buat Non Ratu. Eh iya, tadi saya ketemu Mas Adam, dia nanyain Non Ratu, loh,” kata Siti.
Padahal Adam sudah memintanya untuk tidak membicarakan yang ia katakan perihal tentang Ratu tadi.
“Tanya apa?” Ratu berusaha menjauhkan Siti dari ranjangnya.
“Pokoknya aneh, deh. Masa kata Mas Adam dia lihat Non Ratu di desa sebelah. Kocak, ya? Padahal kan Non Ratu di rumah belajar masam sama si mbok, ya?”
“Hehe, iya kocak.”
“Non, tapi kenapa kaki Non berdarah?” tanya Siti.
Ia melihat ujung tumit kanan milik Ratu yang mengeluarkan darah seolah baru saja menginjak benda tajam.
...*******...
...To be continued ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Zuhril Witanto
mungkin ratu gak sadar kalau dia udah di rasuki makhluk halus... makanya gak ingat
2024-06-13
1
Zuhril Witanto
raja kakakmu ..mau kau makan...😂
2024-06-13
1
Zuhril Witanto
si kakek sih kayaknya tau
2024-06-13
1