Bab 13 - Benarkah Ada Korban Tumbal?

...Bab 13 - Benarkah Ada Korban Tumbal?...

...***************...

“Ta-tante, maaf tadi aku pikir….”

Mendadak Ratu merasa sekelilingnya berputar. Kepalanya sangat pusing. Gadis itu kemudian jatuh tak sadarkan diri di hadapan Mira.

Setelah meminta tukang kebun mengangkat tubuh Ratu ke kamarnya, Mira meminta Siti untuk membuatkan teh manis.

“Ingat ya, Ti, saya nggak mau tau pokoknya jangan sampai anak ini pergi ke ruangan tadi! Awas, ya! Sekarang dia ada di bawah pengawasan kamu! Kalau sampai kejadian ini terulang, kamu harus siap menanggung akibatnya!” suara bentakan Mira terhadap Siti menggema di depan kamar Ratu.

Siti tampak menahan tangis dan mengangguk. Di sampingnya ada Mbok Mar yang berusaha menangkan dengan mengusap lengan kanan atas milik putrinya itu berkali-kali.

“Maafkan anak saya, Nyonya, maafkan saya juga,” lirih Mbok Mar.

“Sudahlah, Bu. Dia juga pasti belum siap menerima konsekuensinya nanti,” ucap Sari yang meraih pergelangan tangan ibunya dan hendak membawanya pergi.

Mira masih menatap tajam pada Siti meskipun tubuhnya sudah tertarik pergi oleh Sari menuruni anak tangga. 

“Sudah, Nduk. Sekarang kamu jaga Non Ratu. Udah lihat kan gimana marahnya Nyonya Besar?” Mbok Mar mengusap air mata yang terlanjur menetes itu.

“Iya, Mbok. Mulai sekarang aku nggak boleh ninggalin Non Ratu sendirian, kalau perlu aku tidur di depan kamarnya,” ucap Siti.

“Ya, nggak gitu juga. Selama dia ada di dalam rumah, kita semua bisa jaga. Kalau dia keluar rumah, baru kamu yang mendampinginya,” tutur wanita renta berkonde itu.

“Iya, Mbok.” 

Mbok Mar lantas meninggalkan putrinya di depan kamar Ratu. Perlahan kemudian, Siti mendorong daun pintu jati itu untuk terbuka. Rupanya, Ratu sudah dalam posisi duduk di atas ranjang seraya menyeruput teh manis hangat.

“Tante Mira marah-marah sama kamu, ya?” tanya Ratu.

Ia sudah terjaga dan mendengar semua ocehan Mira sebelumnya. Siti menjawab dengan anggukan.

“Sekarang saya mohon ya, Non, tolong bantu saya! Kalau mau ke mana-mana, bilang dulu sama saya. Nanti saya temenin. Terus jangan sampai ke ruang bawah tanah itu lagi. Kalau nggak kuat ya Non bisa pingsan kayak tadi,” pinta Siti seraya duduk berlutut di hadapan Ratu.

“Kamu ngapain kayak gitu, sih? Sini duduk samping aku,” pinta Ratu.

“Nggak, Non, begini aja.”

“Ya udah kalau gitu aku ikut duduk begitu.” Ratu turun dari ranjangnya dan duduk di lantai bersama Siti setelah meletakkan secangkir teh manis di atas meja kecil tak jauh dari ranjangnya.

“Coba kamu cerita, memangnya ruang bawah tanah itu tempat apa?” tanya Ratu.

“Saya juga nggak tau, Non. Yang biasa pakai ruangan itu ya Tuan Hadi sama Nyonya Mira. Non Sari aja nggak bisa ke tempat itu karena nggak kuat kayak Non Ratu tadi,” jawab Siti.

“Ya, kalau gitu bapakku ngapain ke tempat itu sama Tante Mira? Apa tempat itu tempat pemujaan buat pesugihan gitu misal?” celetuk Ratu.

“Hush, Non! Ndak boleh ngomong sembarangan! Ya, anggap saja tempat itu memang tempat sakral buat ibadah orang tua Non dan keluarganya,” kata Siti.

“Ummm, aku nggak yakin juga sih. Aku malah jadi penasaran dan bisa aja emang ada yang disembunyikan sama Tante Mira perihal bapak. Mana tadi aku ketemu bapakku di sana,” ungkap Ratu.

“Hah? Jangan ngomong sembarangan, Non! Mungkin saja Non sedang berhalusinasi.” Siti mendekat tak percaya.

“Nggak, Ti. Aku beneran ketemu bapakku. Dia bilang mau titip sesuatu, tapi belum selesai ngomong langsung banyak asap terus aku ketemu Tante Mira. Tapi habis itu aku pusing banget terus pingsan kayaknya,” ucap Ratu.

“Nyonya bilang kalau Non mungkin saja berhalusinasi karena nggak kuat berlama-lama di tempat itu,” kata Siti.

“Hmmmm, aku tetap nggak percaya.” Ratu melirik Siti yang tengah fokus pada layar ponsel android jadul miliknya itu.

“Kenapa, Ti?” tanya Ratu.

“Temanku ngajak lihat pasar malam di desa sebelah. Tapi, aku nggak bisa. Aku harus jagain Non Ratu,” jawabnya.

“Emangnya aku anak kecil dijagain! Gimana kalau aku ikut? Aku mau beli hadiah buat anak-anak panti di sana,” pinta Ratu.

“Duh, aku coba tanya ke mbok biar ditanyakan ke Nyonya Mira, ya?” 

“Ide bagus. Buruan, gih! Lagian aku juga suntuk di rumah terus kayak gini. Macam burung dalam sangkar aja aku tuh lama-lama,” ucap Ratu.

...***...

Akhirnya, Mira mengizinkan Ratu pergi bersama Siti ke pasar malam di desa tetangga. Asal Karyo yang mengantar mereka dan menemani mereka. Ratu bahkan menawarkan Sari untuk ikut serta. Tadinya gadis itu gengsi, tetapi karena harta warisan kini berada di tangan Ratu, ia harus berpura-pura dekat dan menyukai Ratu. Toh, malam ini ia akan meminta dibelikan apa pun pada Ratu.

“Sudah siap semuanya?” tanya Karyo.

“Sudah, Mas,” sahut Siti yang duduk di kursi depan mendampingi Karyo.

Sementara Ratu dan Sari duduk di kursi kedua. 

“Tu, nanti kamu bayarin belanjaan aku juga, ya?” pinta Sari.

“Iya.” Ratu mengangguk.

Siti sempat melirik sini dari kaca spion. Dia yakin kalau Sari tak pernah tulus menganggap Ratu sebagai saudaranya.

Mobil yang dikemudikan Karyo melaju membawa tiga gadis itu menuju ke pasar malam. Di tengah perjalanan, mereka melihat sebuah rumah diberi bendera kuning. Ada beberapa warga yang berkerumun mengunjungi rumah warga tersebut.

“Sebentar saya turun dulu. Saya mau tanya siapa yang meninggal,” pinta Karyo.

“Jangan lama-lama, Mas! Serem tau!” seru Sari.

Siti membuka jendela mobil. Ia memanggil salah satu warga yang terdekat dengannya.

“Mas Ilham, siapa yang meninggal di rumah Yuk Tini?” tanya Siti.

“Anaknya yang bungsu, Ti, Si Yanto. Pada tadi baru aja dikunjungi sama petugas puskesmas, eh malah meninggal,” sahut pria bernama Ilham itu.

Ia melirik ke arah Ratu, tubuhnya bergidik dan mendadak bergegas pergi dari hadapan Siti yang sebenarnya masih ingin bertanya.

“Lah, aku belum selesai ngomong udah pergi,” gumam Siti.

“Dia takut lah sama anak ini!” Sari melirik ke arah Ratu.

“Kenapa takut sama aku?” Ratu yang merasa langsung angkat bicara.

“Bukan begitu maksudnya. Mungkin aja dia takut sama kamu karena kamu anaknya bapak.” Sari mencoba menenangkan Ratu.

“Tapi, Non, wabah penyakit ini sudah ada sebelum Non Ratu datang. Kenapa jadi dia yang dibawa-bawa?” Siti mulai kesal pada Sari.

“Apa kamu nggak sadar, Ti, wabah penyakit ini kan datang pas bapak sakit. Waktu bapak sehat, nggak ada kan korban? Soalnya bapak bawa tumbal lain dari luar desa,” ungkap Sari.

Ratu terperanjat tak percaya mendengar pernyataan yang baru saja Sari lontarkan.

...***********...

...To be continued ...

Terpopuler

Comments

ren rene

ren rene

mbok mar usia 40 ya. rasa e kl di blng renta blm lah...usia 70 br renta. sy yg umur 40 saja msh kuat angkat beras 100kg

2024-06-14

0

evi

evi

tu si sari keceplosan kan 🤣🤣

2024-05-26

0

Tini Timmy

Tini Timmy

wihh keceplosan juga sisari 🤭

2024-05-26

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!