Bab 4 - Rumah Besar Keluarga Praditha

...Bab 4 - Rumah Besar Keluarga Praditha ...

Karyo menoleh ke arah yang ditunjuk Ratu.

“Sudah nggak ada apa-apa, Non. Sudah jangan hiraukan lagi! Mulai sekarang kalau ada gangguan dari makhluk halus, Non harus kuat, ya, dan jangan pedulikan mereka!” pinta Karyo.

“Ja-jangan pedulikan mereka? Mereka? Itu artinya, aku akan mulai diganggu setan?” sentak Ratu.

Karyo mengangguk.

“Kematian Bapaknya Non sebenarnya nggak wajar. Pasti ada aja orang sirik yang masih berusaha jahat sama keluarganya Bapak Hadi, apalagi mereka pasti tau kalau bapak masih punya anak kandung, keturunan murni keluarga Hadinata Praditha,” tuturnya yang segera menyalakan mesin mobil dan melakukan kembali.

Ratu masih terdiam tak mengerti. Tiba-tiba, batang kayu yang sempat dipindahkan Karyo tadi berdiri tegak. Ratu terkesiap ketika mendapat batang kayu itu berubah menjadi sosok pocong berwajah hitam tengah menatap melotot ke arahnya.

“Astaghfirullah!” Ratu mencengkeram bahu Karyo dan menyembunyikan wajahnya di sana.

Karyo hanya terdiam, tetapi ia mengerti kalau Ratu pasti baru saja melihat sosok makhluk halus.

Suara azan subuh terdengar berkumandang dari surau yang mereka lintasi. Kini, Ratu dan Karyo sudah memasuki bagian dalam desa.

“Apa masih jauh, Mas?” tanya Ratu.

“Sekitar satu jam perjalanan kalau dari gerbang desa. Sebentar lagi kita sampai,” jawabnya seraya menoleh dan melukis senyum tipis di wajah.

Ratu sempat melihat beberapa pasang mata yang ia temui, tampak sinis ke arahnya. Matahari sudah mulai menyapa dengan hangat di tengah perjalanan yang hampir berakhir itu.

Karyo sempat menghentikan mobilnya dan menyapa seorang wanita tua sekejap.

“Mbok, nanti kirim dua ayam hitam ke rumah, ya!” pinta Karyo.

Wanita tua yang mulutnya penuh sirih itu mendekat. Menatap tajam pada Ratu lalu bertanya, “siapa gadis itu?”

“Anaknya Bapak Hadi,” sahutnya.

Wanita tua itu lantas meludah. Menumpahkan semua sirih dalam mulutnya ke tanah.

“Nambah cari perkara aja kamu, Yo!” cibirnya dengan tatapan memandang rendah pada Ratu.

“Ndak lah, Mbok. Jangan percaya sama semua gosip itu! Wis, pokoke kirim pesanan saya segera, ya!”

Jendela mobil itu menutup kembali, Karyo melajukan mobilnya. Beberapa warga sudah mulai terlihat di pinggir jalan. Ada yang membawa kayu bakar, tas rotan di punggung, dan ada pula yang sudah membawa ternak kambing dan sapi untuk digembalakan. Namun, semuanya menatap sinis pada Ratu ketika berpapasan.

‘Bukankah bapakku orang paling kaya di desa ini? Harusnya aku disambut dengan hormat, kan? Tapi, kenapa pandangan mereka seolah nggak suka ya sama aku,’

Batin Ratu bergejolak. Raut wajahnya tersirat banyak pertanyaan.

“Non, udah sampai.”

Lagi-lagi Karyo membuyarkan lamunan Ratu. Gerbang besar setinggi dua meter berlapis emas itu, membuka lebar seperti bagian mulut yang terbuka dan siap melahap mobil tersebut. Di kiri dan kanan jalan menuju rumah, Ratu melihat kebun jati dan beberapa pohon lainnya. Ada kebun bunga juga yang sempat Ratu lihat.

“Sepertinya aku pernah ada di sini, apa ini de javu, ya?” gumam Ratu pelan berbicara pada diri sendiri.

Lumayan cukup jauh juga rumah besar milik Keluarga Praditha sekitar lima ratus meter dari gerbang utama tadi. Ratu benar-benar terpana ketika melihat rumah besar tiga lantai bak istana dongeng yang pernah ia lihat di buku cerita kerajaan. Rumah mewah tetapi aneh karena cat dindingnya berwarna hitam sehingga menimbulkan kesan misterius.

“Itu Nyonya Mira dan Non Sari. Kalau mereka bersikap dingin sama Non Ratu, ya harap maklum saja, ya.”

Karyo memberitahu Ratu saat membukakan pintu mobil gadis itu. Ratu mengangguk. Ia sudah merasakan tatapan dingin dari kedua wanita anggun yang berdiri di anak tangga. Dua orang wanita dan juga satu pria yang mengenakan baju lurik dan kain batik seragam. Mereka tersenyum menyambut Ratu. Salah satunya meraih tas ransel yang Ratu kenakan.

“Selamat datang di rumah, Non. Sini saya bantu bawakan,” ucap wanita berusia 40 tahun yang rambutnya mengenakan konde kecil dan mulai terlihat uban itu.

“Nggak usah, Bu, saya aja yang bawa,” ucap Ratu.

“Nggak boleh, Non. Ini sudah kewajiban saya. Perkenalkan nama saya Mbok Mar, kepala asisten rumah tangga di sini. Yang ini anak saya, mamanya Siti. Dia yang akan menjadi asisten pribadi buat, Non.”

Mbok Mar meletakkan ransel milik Ratu di tangan putrinya. Ratu mengulas senyum pada Siti. Usia gadis itu pasti sama dengannya. Ratu juga berpikir kalau Siti sepertinya orang baik dan akan bisa menjadi temannya nanti.

“Halo, Non, selamat datang! Nama saya Siti. Kalau Non butuh bantuan, bisa panggil saya,” tuturnya lembut.

Ratu mengangguk seraya mengulas senyum yang sama dengan Siti.

“Saya Mas Dul, saya juga bisa jadi asisten Non Ratu.” Pria yang satunya tadi mendekat memberi hormat pada Ratu.

“Halo, Mas Dul, salam kenal.” Ratu tersenyum.

“Jangan mau, Non, dekat sama dia. Dia itu ganjen! Ingat Mas Dul, dia majikan kita,” ucap Siti.

“Iyo, aku juga tahu. Aku cuma mau menyapa, tok.” Dul mengedipkan satu matanya pada Siti dengan genitnya.

“Cih, gak sudi aku! Amit-amit jabang bayi!” Siti mencibir.

“Sudah-sudah, kalian jangan pada ribut terus! Bawa Non Ratu ke kamarnya, dia pasti capek,” pinta Mbok Mar setelah melerai perdebatan Duloh dan Siti.

Ratu hendak menyapa Mira dan Sari yang masih menatapnya sinis. Ratu juga mengulurkan tangannya untuk berkenalan. Namun, keduanya enggan menerima jabatan tangan gadis itu.

“Jam delapan, siapkan dia untuk memandikan bapak!” ucap Mira tegas.

“Baik, Nyonya!” Karyo mengiyakan sambil membungkuk sedikit.

Mira dan Sari lantas melenggang masuk ke dalam rumah meninggalkan Ratu yang mematung dengan tangannya masih terulur. Siti lantas menjawab jabatan tangan itu.

“Cuekin aja, Non. Biasa lah orang-orang sirik bin iri binti nggak mau kalah lagi kebakaran jenggot,” bisik Siti.

Lagi-lagi garis-garis samar tipis terlukis di dahi Ratu.

“Kenapa ngomongnya begitu, Ti?” selidik Ratu.

“Iya, Non, soalnya mereka itu—”

“Siti! Lakukan saja pekerjaan kamu dengan benar!”

Mbok Mar menghentikan ocehan putrinya. Tatapan tajam menusuk ke arah Siti.

“Iyo, iyo, Mbok. Mari Non Ratu, ikut saya!”

Siti membawa Ratu memasuki rumah megah nan mewah itu. Keduanya melangkah menuju sebuah kamar yang sudah disiapkan untuk Ratu. Mereka menaiki anak tangga yang melengkung menuju ke lantai dua. Kamar besar yang terletak paling sudut itu harus dilalui melewati sebuah koridor. Di dinding terpampang wajah-wajah Bapak Hadi dan keluarganya dengan latar yang berbeda.

“Kalau saya pikir-pikir, Non Ratu mirip banget sama Nyonya Mariana,” ucap Siti.

“Nyonya Mariana? Dia siapa, Ti?” selidik Ratu.

“Ibunya Non, istri pertamanya Tuan Hadi,” jawabnya seraya membukakan daun pintu jati berukir bunga tulip di permukaannya itu.

“Ibu saya?”

Ratu menghentikan langkahnya sebelum melangkah lebih jauh ke dalam kamar untuknya.

...*******...

...To be continued ...

Terpopuler

Comments

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

lanjut

2024-05-23

0

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

takut hartanya berpindah

2024-05-23

1

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

kayaknya si mbok ini tau sesuatu

2024-05-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!