Tumbal Pengantin Perawan Kebaya Merah
“Jadi, kalian ingin usaha kuliner kalian sukses dan memiliki banyak pembeli?” ucap ki Yusna, sang dukun yang tengah dimintai pertolongan.
Di sebuah rumah gubuk, ibu Ajeng dan pak Imron sang suami makin harap-harap cemas. Namun, keduanya berangsur mengangguk, membenarkan pernyataan yang baru saja sang dukun pastikan.
Demi kelancaran usaha kuliner mereka yang makin hari makin lesu, pak Imron dan ibu Ajeng memang nekat mendatangi seorang dukun. Keduanya tidak mau usaha yang sudah mereka rintis sejak lama, berakhir gulung tikar. Hingga yang ada, kini keduanya mengharapkan bantuan ki Yusna, selaku dukun rekomendasi dari kenalan mereka.
“Kami berani ke sini karena usaha kenalan kami benar-benar sukses berkat bantuan ki Yusna! Jadi, tolong kami juga agar kami bisa mendapatkan kesuksesan, Ki! Apa pun sekaligus bagaimanapun syaratnya, kami siap!” ucap ibu Ajeng benar-benar hormat kepada sang dukun.
“Iya, Ki! Apa pun syaratnya! Tolong kami, Ki! Karena apa pun syaratnya asal usaha kami maju, laris, ... kami akan melakukannya! Asal niat kami bisa sukses ... segera terlaksana, Ki!” sergah pak Imron meyakinkan. Ia yang duduk sila di sebelah sang istri berhadapan dengan ki Yusna, benar-benar ingin seperti kenalan yang ia maksud. Kenalan yang usahanya sangat sukses dan juga membuat dirinya maupun sang istri nekat mendatangi ki Yusna layaknya kini.
Ki Yusna yang hanya diam, menyimak sambil tersenyum damai. Kemudian, ia mengangguk- angguk. “Baiklah. Tampaknya kalian memang sudah sangat siap. Jadi, saya langsung ke poinnya saja. Bahwa satu-satunya solusi untuk usaha Bapak dan ibu agar bisa sukses dalam waktu dekat hanyalah TUMBAL!”
Menyimak itu, untuk sesaat baik ibu Ajeng maupun pak Imron langsung tidak bisa berpikir. Mengenai tumbal memang tidak begitu asing bagi keduanya. Beberapa kali mereka pernah mendengar. Yang mereka tahu, meski persyaratannya kerap berat, hasil dari pesugihan tumbal kabarnya sangat cepat bahkan nyata. Masalahnya, andai mereka harus menumbalkan anggota keluarga, mereka terbilang cukup sulit untuk melakukannya. Namun jika menumbalkan anggota keluarga menjadi satu-satunya cara, tentu mau tidak mau keduanya akan mengupayakannya.
“Tumbal ...?” lirih pak Imron maupun ibu Ajeng sembari menatap satu sama lain. Tatapan berat khas orang yang merasa sangat terbebani.
“Bagaimana? Kenapa kalian jadi terlihat ragu seperti itu? Kalian masih ingin melanjutkan agar kalian bisa sukses dalam waktu dekat, tidak?” ucap ki Yusna sengaja menagih sekaligus menantang.
“Semua yang menghasilkan apalagi yang secara instan, selalu berharga mahal termasuk itu untuk sebuah pesugihan mengandalkan tumbal. Karena untuk memulai usaha saja, kita selalu mengeluarkan modal. Jadi, jika kalian tidak siap sukses secara instan mengandalkan tumbal, lebih baik jangan coba-coba. Pada akhirnya, kalian pasti menyesal karena kebodohan kalian yang sekadar modal tumbal saja, ragu!” ucap ki Yusna sengaja mencemooh calon pelanggannya.
Pada akhirnya, meski sempat merasa berat jika harus menumbalkan anggota keluarga mereka, pak Imron dan ibu Ajeng tetap setuju. Keduanya menyanggupi syarat dari sang dukun yang mengharuskan mereka menumbalkan wanita perawan. Kebetulan, rumah mereka, masih ada satu anak perempuan mereka yang baru berusia tujuh belas tahun. Pak Imron dan ibu Ajeng berniat menumbalkan putri mereka yang bernama Rena tersebut. Demi kesuksesan usaha mereka dan sudah sangat diidam-idamkan, apa pun sungguh akan keduanya lakukan bahkan itu menumbalkan putri kandung sendiri!
“Tidak perlu keluarga apalagi anak. Karena karyawan bahkan pembantu pun ... jadi,” ucap ki Yusna dan langsung membuat pasangan paruh baya di hadapannya tersenyum lega.
Dari tanggapan pak Imron dan ibu Ajeng sekarang, keduanya terlihat jelas sudah sangat siap sukses secara instan. Bahkan meski keduanya harus menumbalkan manusia sebagai syaratnya. Benar-benar manusia bertekad baja!
“Wanita yang masih perawan, ... karyawan atau pembantu di rumah kita. Siapa, yah, Pa?” bisik ibu Ajeng mengajak sang suami berkonsultasi tak lama setelah ki Yusna masuk ke bagian rumah lebih dalam.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya pak Imron mendapatkan ide selaku solusi dari masalah yang tengah mereka hadapi. “Sepertinya si Ani jadi, Ma! Iya, enggak?” sergah pak Imron sangat bersemangat.
“Ah iya, Pa! Benar, kita tumbalkan si Ani saja. Dari lulus SD kan, Ani sudah ikut kita. Dijamin dia masih perawan juga. Apalagi selama ini, dia enggak pernah pulang kampung. Dia di rumah kita terus!” bisik ibu Ajeng tak kalah bersemangat.
Ibu Ajeng telanjur yakin, tumbal pesugihan yang menjadikan Ani ART mereka sebagai tumbalnya, akan sangat sukses seperti harapan. Ani sendiri merupakan ART mereka yang sudah belasan tahun mengabdi kepada mereka. Selain tidak pernah pulang kampung, Ani yang memiliki paras cantik juga merupakan yatim piatu. Sangat mudah bagi mereka menghilangkan jejak Ani tanpa membuat siapa pun kehilangan.
Tirai merah yang menjadi pembatas ruangan keberadaan mereka dengan ruang di belakang yang sedang ki Yusna masuki, bergera-gerak. Ki Yusna yang jalan saja terpincang-pincang, keluar dari sana sambil membawa kebaya pengantin warna merah. Selain tampak lusuh, kebaya pengantin tersebut juga berbau sangat anyir.
Di rumah gubuk keberadaan mereka yang tidak memiliki banyak ruangan, hadirnya kebaya pengantin warna merah tersebut membuat pak Imron maupun ibu Ajeng mual. Pasutri tersebut sampai muntah. Tikar anyaman daun pandan lusuh tempat pak Imron dan ibu Ajeng duduk, jadi menampung muntahan keduanya.
“Kalian ini!” cibir ki Yusna yang kemudian memberi titah kepada pak Imron maupun ibu Ajeng. Bahwa siapa pun wanita perawan yang akan mereka jadikan tumbal, wanita itu wajib memakai kebaya pengantin warna merah tersebut.
“Setelah pengantin tumbalnya memakai kebaya pengantin merah itu, bawa dia ke mari!” ucap Ki Yusna yang juga langsung menyuruh pasiennya itu untuk segera pergi.
“Kalau bisa, malam Selasa kliwon besok, kalian sudah membawa pengantin tumbal untuk pesugihan kalian ke sini!” ucap ki Yusna sambil berdiri dari duduknya.
Ibu Ajeng dan sang suami yang masih mual-mual, langsung mengangguk-angguk patuh. Buru-buru tangan kanan ibu Ajeng memasukan kebaya pengantin warna merah ke dalam tas di pundak kanannya.
Mobil sedan hitam yang tampak sangat tua akhirnya meninggalkan pelataran gubuk ki Yusna. Suasana sore menjelang petang yang makin sepi, membuat bulu kuduk mereka berdiri. Bukan perkara karena di kanan kiri sana merupakan hutan dan memang jauh dari pemukiman. Sebab meski jelas jauh dari pemukiman, suara permainan angklung maupun gamelan mendadak mengiringi perjalanan mereka. Padahal, di sana benar-benar tidak ada orang lain selain mereka. Namun, permainan angklung maupun gamelan, seolah ada di kanan kiri mobil mereka.
Detik itu juga pak Imron maupun ibu Ajeng jadi sibuk mengawasi sekitar. Sungguh, di luar sana tidak ada siapa-siapa. Namun ketika keduanya tak sengaja melihat kaca spion, baik ibu Ajeng maupun pak Imron sama-sama tercengang. Sebab di semua kaca spion di mobil mereka, beberapa rombongan mirip rombongan iring-iring pengantin, sibuk memainkan angklung maupun gamelan masing-masing.
“Pa, ino ada iring-iring pengantin apa bagaimana? Papa lihat juga, kan?” takut ibu Ajeng sambil mendekap kuat tas di pundak kanannya.
“Enggak tahu, Ma. Ini saja Papa bingung. Ngebut saja ah, Papa takut!” balas pak Imron yang sungguh langsung ngebut.
Lantas, berhasilkan misi mereka yang akan menjadikan Ani sang ART sebagai tumbal pesugihan?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Azmori
halo kk aku mampir ya ❤️🔥
2024-11-08
1
endah p159
kak bukanya pak yusna bapaknya Ibrahim sudah meninggal yah d penjara
2024-09-28
1
Dita zahra
akudagussekali😭
2024-09-21
0