“Jadi, kalian ingin usaha kuliner kalian sukses dan memiliki banyak pembeli?” ucap ki Yusna, sang dukun yang tengah dimintai pertolongan.
Di sebuah rumah gubuk, ibu Ajeng dan pak Imron sang suami makin harap-harap cemas. Namun, keduanya berangsur mengangguk, membenarkan pernyataan yang baru saja sang dukun pastikan.
Demi kelancaran usaha kuliner mereka yang makin hari makin lesu, pak Imron dan ibu Ajeng memang nekat mendatangi seorang dukun. Keduanya tidak mau usaha yang sudah mereka rintis sejak lama, berakhir gulung tikar. Hingga yang ada, kini keduanya mengharapkan bantuan ki Yusna, selaku dukun rekomendasi dari kenalan mereka.
“Kami berani ke sini karena usaha kenalan kami benar-benar sukses berkat bantuan ki Yusna! Jadi, tolong kami juga agar kami bisa mendapatkan kesuksesan, Ki! Apa pun sekaligus bagaimanapun syaratnya, kami siap!” ucap ibu Ajeng benar-benar hormat kepada sang dukun.
“Iya, Ki! Apa pun syaratnya! Tolong kami, Ki! Karena apa pun syaratnya asal usaha kami maju, laris, ... kami akan melakukannya! Asal niat kami bisa sukses ... segera terlaksana, Ki!” sergah pak Imron meyakinkan. Ia yang duduk sila di sebelah sang istri berhadapan dengan ki Yusna, benar-benar ingin seperti kenalan yang ia maksud. Kenalan yang usahanya sangat sukses dan juga membuat dirinya maupun sang istri nekat mendatangi ki Yusna layaknya kini.
Ki Yusna yang hanya diam, menyimak sambil tersenyum damai. Kemudian, ia mengangguk- angguk. “Baiklah. Tampaknya kalian memang sudah sangat siap. Jadi, saya langsung ke poinnya saja. Bahwa satu-satunya solusi untuk usaha Bapak dan ibu agar bisa sukses dalam waktu dekat hanyalah TUMBAL!”
Menyimak itu, untuk sesaat baik ibu Ajeng maupun pak Imron langsung tidak bisa berpikir. Mengenai tumbal memang tidak begitu asing bagi keduanya. Beberapa kali mereka pernah mendengar. Yang mereka tahu, meski persyaratannya kerap berat, hasil dari pesugihan tumbal kabarnya sangat cepat bahkan nyata. Masalahnya, andai mereka harus menumbalkan anggota keluarga, mereka terbilang cukup sulit untuk melakukannya. Namun jika menumbalkan anggota keluarga menjadi satu-satunya cara, tentu mau tidak mau keduanya akan mengupayakannya.
“Tumbal ...?” lirih pak Imron maupun ibu Ajeng sembari menatap satu sama lain. Tatapan berat khas orang yang merasa sangat terbebani.
“Bagaimana? Kenapa kalian jadi terlihat ragu seperti itu? Kalian masih ingin melanjutkan agar kalian bisa sukses dalam waktu dekat, tidak?” ucap ki Yusna sengaja menagih sekaligus menantang.
“Semua yang menghasilkan apalagi yang secara instan, selalu berharga mahal termasuk itu untuk sebuah pesugihan mengandalkan tumbal. Karena untuk memulai usaha saja, kita selalu mengeluarkan modal. Jadi, jika kalian tidak siap sukses secara instan mengandalkan tumbal, lebih baik jangan coba-coba. Pada akhirnya, kalian pasti menyesal karena kebodohan kalian yang sekadar modal tumbal saja, ragu!” ucap ki Yusna sengaja mencemooh calon pelanggannya.
Pada akhirnya, meski sempat merasa berat jika harus menumbalkan anggota keluarga mereka, pak Imron dan ibu Ajeng tetap setuju. Keduanya menyanggupi syarat dari sang dukun yang mengharuskan mereka menumbalkan wanita perawan. Kebetulan, rumah mereka, masih ada satu anak perempuan mereka yang baru berusia tujuh belas tahun. Pak Imron dan ibu Ajeng berniat menumbalkan putri mereka yang bernama Rena tersebut. Demi kesuksesan usaha mereka dan sudah sangat diidam-idamkan, apa pun sungguh akan keduanya lakukan bahkan itu menumbalkan putri kandung sendiri!
“Tidak perlu keluarga apalagi anak. Karena karyawan bahkan pembantu pun ... jadi,” ucap ki Yusna dan langsung membuat pasangan paruh baya di hadapannya tersenyum lega.
Dari tanggapan pak Imron dan ibu Ajeng sekarang, keduanya terlihat jelas sudah sangat siap sukses secara instan. Bahkan meski keduanya harus menumbalkan manusia sebagai syaratnya. Benar-benar manusia bertekad baja!
“Wanita yang masih perawan, ... karyawan atau pembantu di rumah kita. Siapa, yah, Pa?” bisik ibu Ajeng mengajak sang suami berkonsultasi tak lama setelah ki Yusna masuk ke bagian rumah lebih dalam.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya pak Imron mendapatkan ide selaku solusi dari masalah yang tengah mereka hadapi. “Sepertinya si Ani jadi, Ma! Iya, enggak?” sergah pak Imron sangat bersemangat.
“Ah iya, Pa! Benar, kita tumbalkan si Ani saja. Dari lulus SD kan, Ani sudah ikut kita. Dijamin dia masih perawan juga. Apalagi selama ini, dia enggak pernah pulang kampung. Dia di rumah kita terus!” bisik ibu Ajeng tak kalah bersemangat.
Ibu Ajeng telanjur yakin, tumbal pesugihan yang menjadikan Ani ART mereka sebagai tumbalnya, akan sangat sukses seperti harapan. Ani sendiri merupakan ART mereka yang sudah belasan tahun mengabdi kepada mereka. Selain tidak pernah pulang kampung, Ani yang memiliki paras cantik juga merupakan yatim piatu. Sangat mudah bagi mereka menghilangkan jejak Ani tanpa membuat siapa pun kehilangan.
Tirai merah yang menjadi pembatas ruangan keberadaan mereka dengan ruang di belakang yang sedang ki Yusna masuki, bergera-gerak. Ki Yusna yang jalan saja terpincang-pincang, keluar dari sana sambil membawa kebaya pengantin warna merah. Selain tampak lusuh, kebaya pengantin tersebut juga berbau sangat anyir.
Di rumah gubuk keberadaan mereka yang tidak memiliki banyak ruangan, hadirnya kebaya pengantin warna merah tersebut membuat pak Imron maupun ibu Ajeng mual. Pasutri tersebut sampai muntah. Tikar anyaman daun pandan lusuh tempat pak Imron dan ibu Ajeng duduk, jadi menampung muntahan keduanya.
“Kalian ini!” cibir ki Yusna yang kemudian memberi titah kepada pak Imron maupun ibu Ajeng. Bahwa siapa pun wanita perawan yang akan mereka jadikan tumbal, wanita itu wajib memakai kebaya pengantin warna merah tersebut.
“Setelah pengantin tumbalnya memakai kebaya pengantin merah itu, bawa dia ke mari!” ucap Ki Yusna yang juga langsung menyuruh pasiennya itu untuk segera pergi.
“Kalau bisa, malam Selasa kliwon besok, kalian sudah membawa pengantin tumbal untuk pesugihan kalian ke sini!” ucap ki Yusna sambil berdiri dari duduknya.
Ibu Ajeng dan sang suami yang masih mual-mual, langsung mengangguk-angguk patuh. Buru-buru tangan kanan ibu Ajeng memasukan kebaya pengantin warna merah ke dalam tas di pundak kanannya.
Mobil sedan hitam yang tampak sangat tua akhirnya meninggalkan pelataran gubuk ki Yusna. Suasana sore menjelang petang yang makin sepi, membuat bulu kuduk mereka berdiri. Bukan perkara karena di kanan kiri sana merupakan hutan dan memang jauh dari pemukiman. Sebab meski jelas jauh dari pemukiman, suara permainan angklung maupun gamelan mendadak mengiringi perjalanan mereka. Padahal, di sana benar-benar tidak ada orang lain selain mereka. Namun, permainan angklung maupun gamelan, seolah ada di kanan kiri mobil mereka.
Detik itu juga pak Imron maupun ibu Ajeng jadi sibuk mengawasi sekitar. Sungguh, di luar sana tidak ada siapa-siapa. Namun ketika keduanya tak sengaja melihat kaca spion, baik ibu Ajeng maupun pak Imron sama-sama tercengang. Sebab di semua kaca spion di mobil mereka, beberapa rombongan mirip rombongan iring-iring pengantin, sibuk memainkan angklung maupun gamelan masing-masing.
“Pa, ino ada iring-iring pengantin apa bagaimana? Papa lihat juga, kan?” takut ibu Ajeng sambil mendekap kuat tas di pundak kanannya.
“Enggak tahu, Ma. Ini saja Papa bingung. Ngebut saja ah, Papa takut!” balas pak Imron yang sungguh langsung ngebut.
Lantas, berhasilkan misi mereka yang akan menjadikan Ani sang ART sebagai tumbal pesugihan?
“Bajiiingan! Dasar pembantu tak tahu diri!” kesal pak Imron tak lama setelah ia memasuki kamarnya.
Di luar kamar, ibu Ajeng juga tak kalah jengkel. “Awas kamu ya Ani! Kamu harus mati! Bisa-bisanya selama ini kamu berhubungan dengan Rega! Rega itu putra kebanggaanku, tapi kamu yang cuma pembantu lulusan SD, berani memacari Rega!” batin ibu Ajeng sambil mendekap erat tas di pundak kanannya. Tas yang juga berisi kebaya merah dan rasanya sangat berat.
Sejak ada kebaya pengantin warna merah di dalam tasnya, ibu Ajeng seperti menggendong orang dewasa seberat lima puluh kiloan. Bahkan karena itu juga, langkahnya jadi tertatih, selain ia yang juga jadi tertinggal jauh oleh sang suami.
“Duh, Pa. Berat banget!” keluh ibu Ajeng yang akhirnya sampai.
Pak Imron yang masih berkecak pinggang di depan tempat tidur, langsung menatap heran sang istri. “Berat bagaimana, Ma? Apanya yang berat? Tasmu? Kok kamu jalannya sampai gitu?”
“I—ya, Pa! Tasku! Sejak diisi kebaya merah pemberian ki Yusna, berasa bawa satu manusia!” cerita ibu Ajeng yang sekadar bernapas saja jadi kesulitan.
“Ya ampun ... bener. Kok bisa seberat ini?” heboh pak Imron sampai menggunakan kedua tangannya untuk mengambil alih tas sang istri. Mereka menaruhnya di lantai depan ranjang tidur mereka.
Sampai detik ini, baik ibu Ajeng maupun pak Imron masih sangat emosi. Tak terima rasanya lantaran Rega putra kebanggaan mereka, justru pacaran dan izin menikahi Ani. Ani yang tak hanya pembantu mereka, tapi juga hanya lulusan SD, seorang yatim piatu, dan bagi mereka tidak selevel dengan mereka.
Pasutri itu duduk di lantai sambil bersandar pada tempat tidur.
“Aku beneran terkejut banget Pa. Mereka pacaran, dan Rega sampai berani minta restu buat menikahi Ani! Enggak terima aku Pa!” lirih ibu Ajeng benar-benar geram. Kedua tangannya saling remas di pangkuan, sementara rahangnya mengeras di tengah giginya yang bertautan.
Di waktu yang sama pak Imron menoleh ke sang istri, ibu Ajeng juga melakukan hal serupa.
“Pokoknya, malam Selasa kliwon besok, kita langsung bawa Ani ke sana. Kasih kebaya merahnya sekarang juga!” ucap pak Imron sampai ngos-ngosan saking emosinya.
Ibu Ajeng langsung mengangguk setuju di tengah tatapan seriusnya ke sang suami. “Iya, Pa! Lebih cepat lebih baik! Enggak terima banget rasanya aku!” Saking marah dan kecewanya, selain napas jadi ngos-ngosan, suara yang ia hasilkan pun selalu gemetaran.
Tadi, baik pak Imrom maupun ibu Ajeng memang langsung memberi restu, ketika Rega mengabarkan hubungannya dan Ani. Namun, itu tak semata agar mereka bisa makin mudah menjadikan Ani sebagai tumbal pesugihan.
•••
“Bang, ... ini aku enggak salah dengar, kan? Ini aku enggak sedang bermimpi? Masa ... papa mama Abang, langsung merestui hubungan kita? Beneran mulus tanpa hambatan?” ucap Ani masih menatap Rega tak percaya. Pria gagah berambut ikal itu langsung tersenyum kepadanya.
“Sudah Dek, ... jangan ambil pusing! Ini beneran nyata, dan kita beneran dapat restu dari mama papa!” ucap Rega lirih tapi sangat semringah kepada wanita berusia dua puluh empat tahun di hadapannya.
Dua belas tahun bersama. Ani selalu merawat Rega yang lumpuh selama enam tahun lamanya hingga akhirnya Rega sembuh. Bahkan, Ani juga yang mengisi kekosongan hati Rega karena setelah lumpuh, wanita yang harusnya Rega nikahi malah memilih pergi menikah dengan pria lain. Kebersamaan keduanya yang nyaris terjalin 24 jam setiap harinya, membuat benih-benih cinta tumbuh dengan sangat subur. Ditambah lagi, meski seorang pembantu, orang kampung, dan hanya lulusan SD, Ani yang lemah lembut sekaligus ceria, juga memiliki paras cantik. Mantan Rega yang memilih meninggalkan Rega saja kalah cantik dari Ani.
“Aku pikir, cinta pembantu dan majikan sampai bisa menikah, hanya di novel online. Namun, nyatanya aku juga akan mengalaminya. Pak Imron dan ibu Ajeng yang terkenal kejam. Ucapan mereka selalu lantang, tajam, penuh makian. Bahkan, ... gajiku saja hampir semuanya ditahan, ... tadi mereka memberiku restu. Aku dan Abang Rega beneran boleh nikah!” batin Ani masih sulit percaya. Kini, ia tersenyum menatap kedua mata Rega yang sedari mereka mendapat restu, terus tersenyum kepadanya.
Ani membiarkan tangan kanannya digandeng tangan kiri Rega. Rega menuntunnya keluar rumah dan sepertinya, mereka akan jalan meski itu hanya untuk makan nasi goreng di angkringan depan.
“Ehm!” Suara dehaman dari ibu Ajeng, mengusik kebersamaan Rega dan Ani.
Selain berangsur berhenti melangkah, Rega dan Ani juga berangsur menoleh sekaligus menatap ibu Ajeng. Berbeda saat baru datang, kali ini baik ibu Ajeng maupun pak Imron yang baru menyusul, sama-sama memakai masker. Namun, kebaya merah yang pak Imron bawa, juga mendadak membuat Rega mual muntah. Lain dengan Ani yang tak mencium aroma anyir dan terus Rega keluhkan.
“Itu kebaya apaan sih, Ma? Pa? Kok bau anyir banget berasa habis direndam pakai darah! Ah!” keluh Rega lagi-lagi pergi dari sana.
“Kamu beneran enggak nyium bau anyir juga, An?” sergah ibu Ajeng penasaran. Ia melirik sang suami dan sengaja berkode mata.
“Enggak, Bu. Bukan bau anyir, tapi bau bunga kantil dan melati khas pengantin, yang saya cium dari kebaya itu,” yakin Ani sangat santun.
Lagi, pak Imron dan sang istri makin bingung. Keduanya saling lirik.
“Coba tanya, Ma. Dia beneran masih perawan apa enggak. Tumbal kita wajib perawan!” ucap pak Imron berbisik-bisik kepada sang istri.
Andai tidak dibisiki oleh sang suami, ibu Ajeng yang telanjur larut dengan kemurkaannya atas hubungan Rega dan Ani, memang lupa.
“Pe—perawan, Bu?” jawab Ani jadi deg-degan sekaligus mulai takut. Kenapa juga, ibu Ajeng sampai menanyakannya.
Sambil melotot dan tidak bisa untuk tidak garang, ibu Ajeng mengangguk-angguk. “Iya, ... kamu masih perawan enggak? Kalau memang sudah enggak. Jangan harap kamu bisa menikah dengan Rega!” galaknya.
Antara takut sekaligus nelangsa, itulah yang Ani rasa. Sambil menunduk dalam dan membiarkan air matanya jatuh ke lantai, Ani mengangguk. “Masih, Bu. Saya masih perawan.” Meski dalam hatinya, ia juga berkata. Andai dituruti, tentu Ani sudah tidak perawan. Sebab di beberapa kesempatan bahkan terhitung sering, Rega selalu meminta melakukan hubungan yang bisa membuat Ani kehilangan keperawanannya.
Belum sempat memastikan sekaligus menghakimi Ani perihal keperawanan yang tengah dibahas. Ibu Ajeng dan sang suami, dikejutkan oleh kedatangan sang putri. Tak beda dengan Ani, Rena putri mereka yang baru keluar dari kamar juga berdalih, kebaya pengantin warna merah di tangan pak Imron sangat wangi. Wangi kantil dan melati khas aroma pengantin.
“Sini, Pa! Itu kebaya punya siapa? Buat aku saja deh, buat acara kartinian minggu depan di sekolah!” bawel Rena sampai mencoba merebut kebaya pengantin warna merahnya dari sang papa.
Dalam diamnya, baik pak Imron maupun ibu Ajeng berpikir, apakah kebaya pengantin warna merah pemberian ki Yusna, memang sengaja memikat target yang masih perawan untuk mau memiliki bahkan mengenakannya?
Lusanya, Senin yang terik hingga sore harinya, Ani dan Rega benar-benar akan dinikahkan. Setahunya, begitu. Baik Ani apalagi Rega yakin, ibu Ajeng maupun pak Imron akan menikahkan mereka. Meski mengenai tempat dan acaranya, belum mereka ketahui bagaimana keadaannya.
Rega apalagi Ani dipaksa menurut. Keduanya dibawa keluar dari Jakarta membawa mobil. Yang ikut ke pernikahan mereka pun hanya Rega, Ani, pak Imron, dan juga ibu Ajeng. Rena yang sempat ngambek ingin gamis kebaya pengatin warna merah milik Ani, tetap tidak diajak meski gadis berusia tujuh belas tahun itu makin tantrum.
Kini Ani sudah dandan layaknya pengantin pada kebanyakan. Sebelum memakai kebaya pengantin pemberian Ki Yusna, Rega sengaja mengajak Ani ke salon untuk mempercantik diri. Benar saja, rias pengantin adat Jawa Tengah dilengkapi paes dan seperangkatnya, membuat pujaan hatinya itu makin cantik paripurna. Ani benar-benar makin cantik dan memang bikin pangling, hingga Rega selalu ingin dekat-dekat dengannya. Akan tetapi, kenyataan kebaya pengantin merah yang beraroma anyir luar biasa bagi mereka, membuat Rega tak kuasa dekat-dekat dengan Ani. Padahal, Rega sangat ingin dekat-dekat dengan Ani. Karena saat masih backsreet saja, inginnya selalu dekat. Apalagi sekarang yang sudah dapat restu.
Rega sengaja mengalah duduk di tempat duduk paling belakang karena ia tak mungkin membiarkan Ani yang sudah dandan cantik ala pengantin, melakukannya. Sedangkan di tempat duduk tengah, Ani yang sampai memakai rangkaian bunga melati di dada dan juga sanggulnya, duduk sendiri. Sebab ibu Ajeng yang memakai masker lengkap dengan banyak stiker aroma terapi, memilih duduk di sebelah pak Imron yang menyetir mobil.
Sebenarnya bukan hanya ibu Ajeng yang memakai masker penuh aroma terapi. Karena pak Imron, dan juga Rega, juga.
“Aku penasaran banget loh, kenapa Ani enggak kebauan kayak yang lain. Eh, si Rena juga enggak kebauan. Aneh, sisanya kebauan,” pikir Rega yang kemudian bertanya, “Ma ... Pa, kalian dapat kebaya yang Ani pakai dari mana, sih? Kok buuuuau banget gitu? Terus, ini kita mau ke mana? Kita keluar dari Jakarta dan sekarang masuk ke wilayah Sukabumi.”
“Lah ... kita masuk ke hutan begini, makin jarang pemukiman dan memang enggak ada orang. Ma, Pa ... aku dan Ani mau nikah. Kok malah dibawa ke hutan gini? Enggak ada orang ini.” Meski Rega sudah sangat cerewet dan tak hentinya protes, orang tuanya tetap mendiamkannya.
“Iya, ya ... ini kok ke hutan gini?” batin Ani mulai curiga juga. Namun, Ani sempat berpikir bahwa bisa jadi, tema pernikahan untuknya dan Rega, memang yang mengusung konsep hutan seperti orang kaya bahkan artis.
“Kalau iya, masa sesepi ini? Ini sepi banget loh ...,” batin Ani jadi sibuk mengawasi suasana luar.
Setelah mengarungi perjalanan jauh dan lebih dari tiga jam karena mereka terjebak macet, akhirnya mobil pak Imron menepi. Di depan gubuk Ki Yusna, mobil berhenti dengan suasana yang sudah sangat gelap. Adzan magrib saja tampaknya sudah lewat meski kini baru setengah enam sore.
“Pa, ... Ma? Ini sebenarnya kita mau ngapain?!” sergah Rega sambil menatap curiga keadaan di sana.
“Sumpah, Bang! Aku juga jadi takut,” batin Ani tak berani mengatakannya.
“Sudah, kamu enggak usah berisik apalagi protes. Kamu mau nikah enggak?!” balas ibu Ajeng marah-marah. Tak semata karena Rega terus saja berisik. Namun juga kenyataan Rega dan Ani yang selama empat tahun terakhir backstreet.
Sambil mendekati Ani, Rega yang menatap penuh kepastian sang mama berkata, “Maksudnya ini kenapa kita ke tempat sepi gini. Enggak ada tanda-tanda pernikahan dan—”
Rega tak jadi melanjutkan ucapan yang merupakan bagian dari protesnya. Sebab di luar sana mendadak ramai suara angklung maupun permainan gamelan. Rega maupun orang tuanya dapati, di depan gubuk ki Yusna yang awalnya hanya gubuk biasa, mendadak seperti ada pesta hajatan. Janur kuning ada di mana-mana. Panggung hiburan lengger dan tarian adat Sunda menjadi keramaian utama di sana. Beberapa tamu juga tampak menikmati jamuan di sana.
“Hah? Mendadak begini?” refleks Rega bingung sendiri mengawasi keadaan di luar sana.
Meski tahu apa yang akan mereka lakukan bahkan apa yang akan terjadi, baik pak Imron maupun ibu Ajeng juga tak hentinya merinding. Keduanya tak hentinya saling gandeng agak merangkul. Pak Imron dan ibu Ajeng tidak berani melihat keramaian di sana karena keduanya yakin, semua itu merupakan demit alias jin dan sebagainya.
Ki Yusna langsung menyambut kedatangan mereka. Ia ditemani dua wanita cantik layaknya biduan, tapi berwajah tanpa ekspresi. Kedua wanita itu membawa nampan berisi empat gelas minuman.
Ketika di mata pak Imran, ibu Ajeng, dan juga Rega, semuanya tampak baik-baik saja, tidak dengan Ani. Ani melihat semua manusia di sana kecuali mereka dan ki Yusna, layaknya hantu bahkan zombie. Semuanya berwajah gelap, termasuk juga air minum berisi kembang tujuh rupa. Meski sama-sama dijatah minum, yang untuk Ani maupun Rega, ada darah segarnya. Darah segar itu dalam proses mencampur.
“Bang, aku beneran takut, Bang!” bisik Ani gemetaran ketakutan. Ia bahkan menahan tangis sambil terus berusaha memeluk Rega.
“Sayang, kamu ini apaan, sih? Orang tuaku sudah menyiapkan pesta pernikahan buat kita. Lihat ramai banget! Ini terbilang sangat spesial!” yakin Rega sambil berusaha lanjut minum minuman pemberian ki Yusna meski Ani terus saja melarangnya.
“Memangnya mereka enggak lihat, ya? Kenapa kesannya hanya aku saja yang lihat?” pikir Ani yang kemudian sampai dipaksa minum minuman miliknya.
Ani yang melihat itu minuman sampai dihiasi darah segar dan aromanya juga sangat amis, muntah-muntah. Sebenarnya, baik pak Imron maupun ibu Ajeng, merasa ngeri dengan yang Ani alami.
“Pa, kira-kira yang Ani lihat apa, ya? Dia sampai muntah gitu, dan terus menolak minum andai Rega enggak maksa,” bisik ibu Ajeng.
“Enggak tahu, Ma. Namun Papa yakin, semua proses penumbalan untuk Ani sudah dimulai. Sebentar lagi kita akan kaya karena usaha kuliner kita pasti sukses besar!” balas pak Imron berbisik-bisik juga.
“Minum ih ... kamu harus minum biar kita cepat ijab kabul!” marah Rega yang jadi sangat emosional. Padahal, selain muntah-muntah, Ani juga sudah berderai air mata.
“Air pemberianku yang diminum tuntas oleh anaknya pak Imron, sudah bereaksi. Setelah ini, dia tak hanya kasar kepada Ani. Karena dia juga akan melupakan Ani. Ani yang cantik jelita akan menjadi milikku sebelum akhirnya aku tumbalkan menjadi bagian dari sumber pesugihan mereka,” batin Ki Yusna yang diam-diam mengawasi Ani maupun Rega.
Di tengah suasana ramai angklung, gamelan, tawa warga dalam hajatan di sana, ki Yusna yakin, semua proses menuju penumbalan Ani sudah beres.
Tak lama kemudian, baik Ani maupun Rega berakhir pingsan. Rega langsung diboyong masuk ke dalam mobil oleh orang tuanya. Sedangkan Ani diboyong masuk ke dalam gubuk oleh orang tua Rega. Sebab tak lama setelah calon pengantin itu pingsan, semua pesta khas hajatan di sana langsung hilang.
Ani direbahkan di sebuah dipan beralas tikar anyaman daun pandan. Di sana hanya ada satu bantal lusuh, sementara di sebelahnya ada meja penuh sesajen. Asap dari pembakaran kemeyan dan memang sangat pekat, membuat pak Imron maupun ibu Ajeng, terbatuk-batuk. Entah apa yang terjadi setelahnya karena ibu Ajeng dan pak Imron diminta menunggu di luar kamar. Hanya Ki Yusna yang ada di dalam kamar. Namun, mereka mendengar desahan penuh kenikmatan dan mereka kenali sebagai suara pak Yusna. Tak lama kemudian, mereka juga mendengar rintih tangis kesakitan dan mereka kenali sebagai suara tangis Ani. Yang paling mencolok, di antara kedua suara itu, mereka juga mendengar derit dipan kayu khas orang sedang bersenggama. Ibu Ajeng dan pak Imron yang mendengarnya, jadi panas dingin berkeringat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!