"Mau ke mana?"
Pertanyaan sederhana yang berat untuk dijawab. Amanda menghentikan langkah, menurunkan kaca mata hitamnya. "Sepertinya kamu sudah kelewatan. Bersikap baik-baik saja bukan berarti harus seperti ini."
"Hanya bertanya, kamu tinggal menjawab. Apa anehnya?"
"Tidak perlu tahu."
"Harus tau, bukannya kemarin bilang kamu takut Papa bisa saja bertanya tentangmu pada saya."
"Tapi yang kali ini kamu nggak perlu tau."
"Harus, saya suami kamu."
Amanda berkacak pinggang, berdecih memalingkan wajah. "Lupakan kejadian semalam dan bersikaplah seperti sebelumnya."
"Jika saya tidak mau?"
"Jangan gila. Aku bukan pelampiasan. Aku janji Aku akan membantu mencari kekasih kamu, tapi aku mohon, menjauhlah dariku."
"Siapa yang bilang kalau kamu pelampiasan."
"Sikap kamu!" Amanda menunjuk Radewa yang sudah mendekat padanya, "menjauh dariku!" tekannya.
"Tidak mau. Biarkan saya yang mengantar kamu sekarang." Dewa meraih tangan Manda, menggandengnya keluar, "kamu tidak bisa pergi sendiri karena kunci mobil kamu sudah saya simpan."
"Aku bisa naik taxi!"
"Tidak akan saya ijinkan." Dewa memaksa Manda masuk ke dalam mobilnya. Lelaki itu bergegas duduk di kursi kemudi dan mengunci pintu otomatis.
"Ke mana?" tanya Dewa, bersiap melajukan mobil.
Manda diam, bersedekap tangan. Dia tidak mau diantarkan Radewa dan dia akan bungkam sampai lelaki itu menyerah.
Terjadi adu gengsi di dalam mobil. Radewa juga diam saja menghadapi Manda. Dia santai bersandar tangan sambil bersiul, sesekali menggoyangkan kakinya.
Satu, dua, tiga, lima, sepuluh bahkan hingga lima belas menit ke depan mereka masih sama-sama diam. Masih dengan posisi yang sama.
"Menyerahlah, saya hanya ingin mengantar."
"Menyerahlah, aku juga gak mau diantar sama kamu."
"Kalau begitu saya akan bawa kamu pergi ke tempat yang kamu tidak akan duga. Neraka misalnya."
"Dewa!"
Radewa tertawa. "Hanya bergurau. Jika kamu takut, biar saya bawa ke surga saja. Di sini, bisa kan. Bagaimana?"
Amanda tak habis pikir. Selain tidak jelas, Dewa juga sangat mesum rupanya. Hanya karena satu kesalahan, dia terus membahasnya. Padahal dia kemarin bilang jika dia bahkan tidak berani menyentuh Dinda demi menjaga kehormatan gadis itu.
"Jika ingin, pergilah ke rumah bordir. Di sana kamu bisa bermain sepuasnya. Aku bukan wanita murahan!"
"Tapi kamu istri saya."
"Istri di atas kertas. Jangan samakan aku dengan wanita murahan di luar sana!" Habis sudah sabarnya Manda. Dia marah sekali. Apa karena pakaian yang dikenakan atau profesi yang dia jalani hingga Dewa bisa sampai menyamakannya dengan wanita penghibur di luaran sana.
"Bukan seperti itu maksud saya. Tapi karena kamu sudah salah paham, saya minta maaf. Saya hanya ingin mengantar, tidak lebih. Saya dengar orang suruhan Omah sedang mengawasi kita."
"Gedung Mahadewa di jalan protokol. Cepet, aku udah telat!" Ada perjanjian antara Manda dengan agensi. Dia sudah tidak bisa mengulur waktu lagi, sudah tidak mau marah-marah dan ingin segera menjauh dari pria di dekatnya itu.
"Sepuluh menit. Duduk dengan baik," kata Dewa begitu lembut.
***
"Lama atau tidak?"
"Lamaaaaaaa. nggak usah ditungguin."
"Siapa yang mau nunggu. Saya mau suruh orang buat tungguin kamu di sini. Saya harus pergi, ada pekerjaan. Tidak apa, kan?"
"Nggak perlu. Aku bisa sendiri. Aku nggak mau diantar-antar!"
"Baiklah. Tapi katakan jika sudah sampai di rumah."
Peduli apa pada ucapan Radewa. Manda yang sudah dibuat kesal itu memilih untuk segera keluar dari mobil pria itu. Tapi sebelum kakinya melangkah semakin jauh, dia sempatkan untuk menebalkan lipstik merahnya. Tingkah lakunya ini sampai membuat Dewa terkekeh.
"Terlibat atau tidak, saya tidak mau hancur sendiri. Sampai Dinda tidak kembali, maka kamu juga tidak bisa pergi dari saya!" tekan Radewa.
Kejadian semalam murni karena Dewa terbawa suasana. Tapi untuk setelahnya, dia memutuskan menjadi selayaknya suami bagi seorang istri. Akan dia bawa terbang Manda sampai akhirnya nanti dia punya celah dan tahu yang sebenarnya. Antara benar wanita itu terlibat atau tidak mengenai kepergian Dinda yang tiba-tiba. Meskipun memang tidak, Dewa bertekad akan tetap mengikatnya dalam kehancuran yang sama, untung memancing Sedayu agar mengalah pada akhirnya.
Sebuah panggilan masuk dari anak buah, Radewa mengangkatnya sembari mengendarai mobil yang menjauh dari halaman gedung. "Ada apa?" tanyanya.
"Tidak ada keterangan ke mana Nona Dinda di surat pengunduran dirinya. Teman dekatnya di rumah sakit juga sudah saya sadap nomor ponselnya, sudah diikuti ke mana perginya, tapi tidak ada satupun dari mereka yang menunjukkan tanda-tanda keberadaan Nona Dinda, Tuan."
"Terus ikuti. Kita lakukan sampai satu bulan ke depan. Mereka bisa jadi sengaja tidak membuat curiga."
"Baik, Tuan."
"Jangan lupa, kirim orang untuk mengawasi Amanda."
"Sudah, Tuan. Mereka sudah berada di depan gedung Mahadewa."
"Bagus. Katakan apa yang dia lakukan di dalam sana, secepatnya."
"Baik, Tuan."
Panggilan mati, Radewa melepas earphone yang dipakainya. Dia lajukan mobil semakin kencang, membelah jalanan ibukota yang padat merayap.
***
"Kenapa jadi kebayang terus. Gue gak boleh gini!" Manda meneguk segelas air putih di depannya. Sejak memasuki gedung, dia terus terbayang akan tingkah manis Radewa tadi pagi. Rasanya aneh karena dia tidak pernah diperlakukan seperti itu sebelumnya. Ditambah wangi tubuh pria itu yang terus saja tercium olehnya. Membuatnya merinding sebadan-badan.
"Lo kenapa? Sakit?" tanya seseorang. Dia adalah Andrew, teman sekaligus atasannya di tempat kerja.
"Enggak. Cuma sedikit kedinginan," elak Manda.
"Nggak biasanya. Sakit kali lo. Gue ambilin obat mau?"
"Nggak usah. Gue baik-baik aja. Mungkin kebawa udara yang lagi nggak bagus juga."
"Memang akhir-akhir ini anginnya lagi kenceng. Jaga kesehatan, mau projek ini kan?"
"Berani bayar berapa mereka?"
"Satu setengah milyar dalam kontrak tiga bulan dengan dua kali pemotretan. Belum ditambah bonus kalau penjualannya naik."
"Udah potong pajak dan lain-lainnya kan. Gue nggak mau ribet!"
"As you wish. Agensi udah paham lo yang maunya terima bersih."
"Bakal seksi banget, nggak?"
"Mentang-mentang udah nikah, jaga image?"
Manda menggeleng. "Bukan karena itu, tapi nama baik keluarga. Kalau belahan masih bisa gue atur. Tapi yang bawah, gue nggak bisa sembarangan."
"Kaya nggak pernah pake bikini di tempat umum. Tenang aja, nggak akan vulgar kecuali yang lihat otaknya mesum parah. Ini wajar, namanya juga model underwear." Andrew menghadapkan Amanda pada kaca, memegangi bahunya, "siapa tau dengan mengiyakan tawaran ini lo bisa go internasional. Victoria secret di depan mata, Amanda. Lo tau sendiri brand ini sering bekerja sama dengan mereka. Kapan lagi coba!"
Dalam pantulan kaca Amanda membayangkan dirinya yang berlenggak lenggok di atas catwalk, diliput media, dilihat bukan hanya oleh kalangan model tapi juga artis dunia. Menjadi bagian dari Victoria's Secret Angels adalah mimpi tertingginya dan hari ini adalah kesempatan terbesarnya.
"Gue setuju. Gue akan tanda tangani kontrak kerjanya," kata Manda yang dengan bulat mengabaikan apa kata orang nanti di tengah posisinya sebagai seorang anak dan juga mantu pengusaha ternama.
***
Yahhhh, Dewa cuma pura-pura😃
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments