Bercak Merah

Plak!

Tamparan keras di tengah sunyinya malam. Alih-alih menyapa, Dewa sudah lebih dulu mendapat tamparan itu.

"Berhenti menemui perempuan itu sebelum Omah bertindak nekad. Omah bisa melakukan apa saja pada perempuan murahan itu, Radewa!" ancam Sedayu, mengangkat jari telunjuknya.

"Apa maksud, Omah. Dewa tidak bertemu siapapun," elak Dewa, berusaha membela diri.

"Lihat kan, perempuan itu membuat kamu menjadi laki-laki pembohong. Omah benar-benar kecewa pada kamu, Dewa."

"Ingat baik-baik peringatan Omah. Sekali lagi, Dewa. Hanya satu kali lagi kesempatan kamu!"

Sudah terlalu larut untuk sebuah keributan. Bukan tempat yang tepat pula jika Sedayu masih ingin menjaga nama baik keluarga. Wanita paruh baya dengan tongkat coklat itu pergi meninggalkan Dewa begitu saja.

Beberapa pasang mata yang merupakan bagian dari staff hotel masih mengarahkan pandangan mereka pada Radewa yang akhirnya menyadari dirinya telah menjadi pusat perhatian. Dia pun segera meninggalkan lobby hotel. Bukan kembali ke kamar di mana harusnya dia berada, melainkan pergi menjauh menggunakan mobil porsche kesayangannya menuju tempat di mana dia bisa menenangkan pikirannya sejenak. Tidak peduli jika nanti Sedayu mencarinya lagi.

***

Jarum jam telah menunjuk angka tujuh. Sinar mentari telah masuk menyelinap di antara tirai yang semalam lupa untuk ditutup rapat. Amanda menggeliat, tidurnya cukup nyenyak karena dia kelelahan, meskipun tubuhnya juga terasa pegal tak karuan.

Semalam setelah wanita berambut gelombang sepunggung itu selesai membersihkan badan, dia langsung menidurkan dirinya di sofa sesuai kesepakatannya dengan Dewa. Tidak peduli jika lelaki yang telah sah menjadi suaminya itu sudah tak ada di depan mata. Bahkan saat pagi telah datang seperti sekarang dan tempat tidur besar di depannya masih rapi, dia tidak berniat menanyakan keberadaan lelaki itu sama sekali. Hanya ada pemutaran bola mata secara penuh yang menandakan Amanda sangat malas berada di sana.

"Gue laper banget." Amanda menggerutu. Baru dia sadari jika sejak kemarin sore dia belum makan sama sekali.

"Eh...." Suara roda troli besi terdengar. Amanda menoleh pada sumber suara. Bukan hanya troli yang penuh dengan makanan, tapi kehadiran Radewa yang berbadan tegap besar itu juga turut mengagetkannya.

"Bukan dari saya, jangan terlalu percaya diri," kata Dewa saat dahi Manda perlahan mengerut.

"Kalau memang bukan dari anda, saya pun tidak akan mau untuk memakannya. Keluarga yang menjual putranya untuk dinikahkan dengan anak perempuan dari keluarga kaya raya bisa saja meletakkan racun di dalam makanan itu agar bisa menguasai hartanya." Amanda yang telah berdiri melangkahkan kakinya. Dia hendak menuju restaurant hotel tapi sayang Dewa menahannya.

"Jaga ucapan kamu!" tekan Dewa, pergelangan tangan Manda telah digenggamnya erat.

Manda menepis dengan mudah tangan Dewa, balik menantang dengan bersila tangan. "Bukankah benar. Kalau bukan ditawari perusahaan Papa saya, mana mungkin keluarga anda memaksa anda untuk menikah dengan saya!"

"Saya tidak sudi berlama-lama di sini. Silahkan nikmati hidangan itu seorang diri, permisi."

"Jangan membuat saya marah, Amanda Kinanta Tezara!" teriak Dewa.

Alih-alih ketakutan, Manda justru membalasnya dengan kekehan singkat yang berarti meremehkan teriakan suaminya itu. Dia pergi tanpa rasa bersalah atas penghinaannya.

"Sial. Saya benar-benar bisa gila. Hanya Dinda yang mengerti saya!" Dewa meremas tangannya kuat-kuat, sebelum dia menarik selimut, memberantakan ranjang hingga tak berbentuk. Dia juga meneguk anggur merah sisa semalam dan membuang gelas itu ke atas kasur begitu saja.

Tak bisa dibiarkan begitu saja. Radewa yang tidak pernah mau kalah apalagi oleh perempuan turut meninggalkan kamar itu. Akan dia buat Manda merasakan jengkel sebagaimana dia rasakan sekarang.

Langkah tegak serta smirk licik yang kadung dikeluarkan harus segera disingkirkan. Pupus sudah keinginan Dewa begitu dia melihat Manda yang kini tengah berbincang dengan Sedayu di restaurant hotel. Ingin pergi kembali ke kamar pun tidak bisa sebab Sedayu telah menangkap kehadirannya.

"Kenapa kamu tidak datang bersama dengan Manda. Apa yang baru saja kamu lakukan?" tanya Sedayu.

"Dewa di kamar mandi saat Manda keluar dari kamar. Jadi Dewa tidak tau. Tadi Dewa juga sedang mencari Manda," bohong Dewa.

"Mungkin suara Manda kurang keras saat bilang tadi sampai Dewa tidak mendengarnya. Tidak apa Omah, aku juga bukan anak kecil yang ke mana-mana harus dituntun."

"Mana boleh seperti itu. Kalian harus selalu bersama-sama." Sedayu melirik pada Dewa, "lain kali pasang telinga kamu kuat-kuat!" peringatnya.

"Baik, Omah." Dewa menarik napas, ikut duduk bersama untuk melakukan sarapan. Sebenarnya dia baru saja pulang setelah semalaman menginap di apartemen. Untung saja dia kembali tepat waktu. Sempat mengganti pakaian hingga tidak membuat Sedayu curiga padanya.

Satu persatu hidangan pesanan datang. Sedayu, Dewa dan Manda menikmati makanan masing-masing. Meski lebih banyak diam dibanding bicaranya, acara makan pagi itu selesai dengan baik.

"Omah harus segera pergi, ada urusan yang tidak bisa ditinggal. Kalian jika masih ingin menginap, silahkan tambah waktu." Ucapan Sedayu belum selesai, tapi dia harus diam saat seorang pelayan membisikkan sesuatu padanya. Bisikan yang menghadirkan senyum tipis di bibir wanita yang sebagian rambutnya telah memutih itu.

"Malam tadi pasti melelahkan. Omah pikir akan lebih baik jika kalian menambah waktu untuk mengingap. Omah akan sabar menunggu, pelan-pelan saja, jangan terburu-buru."

Ucapan Sedayu jelas membingungkan. Ditambah dia juga segera pergi setelah meninggalkan ciuman singkat pada pasangan suami istri tersebut.

Sedayu memang telah salah paham. Pelayan yang tadi berbisik adalah pelayan yang ditugaskan untuk mengecek keadaan kamar yang ditempati Dewa dan Manda. bercak merah dari lemparan gelas berisi anggur yang dilakukan Dewa dikira pelayan tersebut sebagai bekas merah darah Amanda.

"Nggak jelas," celetuk Manda.

"Tidak memiliki sopan santun. Pantas saja menjadi perawan tua," sahut Dewa, akhirnya dia bisa membalaskan jengkelnya pada wanita di depannya itu.

Tapi sialnya, tanggapan Amanda tak sesuai ekspektasi. Wanita itu langsung beranjak dari kursinya, mengangkat sebuah panggilan beberapa saat dan mematikannya dengan cepat.

"Nanti ada orang datang untuk mengambil barang-barang saya," ucapnya pada Dewa.

"Kamu mau ke mana!"

"Bukan urusan anda. Silahkan jika anda ingin menginap lagi di sini, saya akan pulang ke rumah yang sudah Papa saya belikan sebagai hadiah pernikahan menjijikan ini. Tenang saja, saya tidak akan mengadu pada Omah tentang kepergian anda. Asal anda juga tidak menjelekkan nama saya di depan orang tua saya."

"Radewa Oza Bagaskara, saya bukan perempuan yang bisa kamu ancam dengan kekuasaanmu itu. Saya, bisa melakukan apa saja sesuai keinginan saya, termasuk menghancurkan siapapun yang mengganggu hidup saya!" tekan Manda.

***

Hingga part 3 tiga ini, kalian sudah punya gambaran bagaiman hubungan mereka nanti nggak?

Sama-sama keras kepala, bukan?

Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa tinggalkan cinta kalian di cerita ini❤️

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!