Mari Berdamai

"Bagaimana dengan hubungan kamu dan Dewa, sudah itu kan? Papa sudah tidak sabar untuk memiliki cucu."

"Apa sih, Pa. Jangan aneh-aneh deh."

"Aneh apanya, wajar dong Papa meminta cucu pada kamu. Ayolah, jangan buat Papa bertindak juga dalam hal ini."

"Papa .... Awas kalau Papa macam-macam. Pokoknya Papa tenang saja. Aku baik, Dewa baik, hubungan kita juga baik. Papa nggak perlu khawatir. "

"Okelah kalau begitu. Tapi jangan marahi Papa kalau Papa akan lebih sering bertanya tentang cucu. Pokoknya Papa mau cucu yang banyak."

"Papa...."

"Hahahaha lucu sekali. Lama rasanya Papa tidak mendengar kamu yang merengek seperti ini. Pasti sedikit-sedikit Dewa telah merubah kamu menjadi anak Papa yang manja dulu. Enak kan, bisa gelendotan sama suami. Gak perlu harus berpura-pura menjadi dewasa terus."

"Jaga kesehatan putri Papa yang cantik. Papa tidak bisa berlama-lama, harus segera berangkat ke kantor. See you, Sayang."

"See you, Pa."

Panggilan di pagi hari. Baron belum tahu jika putri dan menantunya telah kembali. Yang dia tahu, mereka keduanya masih harus berada di Maldives empat hari lagi.

Sungguh melelahkan, Amanda pikir dia akan bebas keluar setelah bisa pergi dari rumah Sedayu. Dia baru saja mengingat bahwa dia harus merahasiakan pertengkarannya dari Papanya itu. Jadi mau tidak mau dia harus tetap berada di rumah, menikmati fasilitas yang ada.

Amanda masih berada dalam kebingungan tentang jalan mana yang akan dia ambil sekarang. Ditambah lagi dengan ucapan Baron barusan.

"Ternyata Papa masih menganggap aku anak kecil," lirih Amanda. Dia pikir Baron tak lagi seperti itu mengingat sikapnya yang berubah tegas sekali. Tapi setelah dipiki-pikir, perubahan sikap Baron terjadi juga karena dirinya yang terus-terusan bersikap mandiri, seolah dia bisa berdiri sendiri tanpa bantuan siapapun.

"Seorang Ayah memang akan bersikap seperti itu pada anak perempuannya." Amanda menoleh, suara Radewa mengagetkannya. Sejak kapan laki-laki itu berada di rumah, berdiri di pintu tanpa kayu yang menghubungkan ruang tamu dan ruang makan.

"Jangan sok tahu. Kamu bukan seorang Ayah!" balas Manda, ketus.

"Di dunia ini ada ilmu pengetahuan. Ada banyak buku yang membahasnya. Mungkin kamu belum pernah membaca salah satunya."

"Yayaya, Tuan Pintar."

Radewa terkekeh, melangkahkan kakinya, mendekat pada Manda yang sebenarnya ingin sarapan. "Saya minta maaf. Saya akui saya bodoh," katanya menjulurkan tangan.

Amanda bersilang tangan, melirik sinis pada tangan Dewa yang masih terulur. "Dalam rangka apa? Bukannya kamu selalu merasa benar. Oh... atau kamu terpaksa melakukan ini agar Omah juga memaafkanku."

"Anggaplah seperti itu. Saya juga lelah terus berkelahi denganmu. Kenapa kita tidak menjalani perjanjian ini dengan sikap yang tenang. Maksud saya, kita bisa berjalan bersama tanpa harus saling bersinggungan bukan?"

Dahi Manda berkerut. Dewa tampak aneh, itu jelas. Tapi bukan hal sulit menebak keinginan sebenarnya lelaki itu. Pasti dia sangat merindukan Dinda hingga akhirnya mengaku kalah dan merendahkan dirinya sendiri.

Dengan senang hati Amanda mengakui kekalahan suami perjodohannya itu. Dia balas uluran tangan Dewa. "Selagi kamu tidak mengangguku, aku juga tidak akan menganggumu. Apa yang terjadi harusnya menyadarkanmu bagaimana diriku yang sebenarnya. Aku terima permintaan maafmu."

"Terima kasih, mari mulai menjalani hari-hari sebagai suami istri palsu dengan damai."

Kesepakatan kembali berubah. Hanya dengan satu malam, mereka bisa menjadi akur seperti sekarang. Amanda jadi memiliki kesempatan untuk berpikir lebih tenang tentang jalan yang akan dipilihnya nanti. Melanjutkan atau berhenti sesuai perjanjian.

***

Empat hari berlalu sejak kesepakatan baru diambil. Semuanya berjalan dengan baik, tidak ada keributan lagi. Baik Dewa dan Manda menjalankan kehidupannya masing-masing. Manda yang sibuk dengan masa-masa terkurungnya dan Dewa yang sibuk menghubungi Dinda.

Dewa belum mendengar kabar apapun tentang Dinda sejak hari di mana dia diputuskan. Hari ini, setelah terkurung di rumahnya sendiri, dia memutuskan untuk datang ke apartemen Dinda. Tentunya dia sudah lebih dulu memberitahukan Amanda agar tidak ada salah paham di antara mereka. Agar wanita itu juga bisa memberikan alasan yang pas seandainya nanti Sedayu ataupun orang tuanya menanyakan kabar mereka.

Sudah berpakaian rapi, sudah wangi dan sudah mempersiapkan bunga mawar merah kesukaan Dinda, Dewa benar-benar mempersiapkan dirinya dengan baik untuk pertemuan ini. Dia akan meminta maaf sampai Dinda memafkannya.

Jarak dari rumah menuju apartemen membutuhkan waktu setengah jam lamanya. Usai menghadapi kemacetan yang cukup menguras tenaga, akhirnya lelaki bernama Dewa itu sampai. Dia rindu sekali, tidak sabar untuk bertemu sang kekasih.

"Password apartnya diganti. Kamu semarah itu padaku, Sayang?" Dewa bertanya sendiri. Dia sudah berulang kali menuliskan sandi dan beberapa kali mencoba sandi lain yang kemungkinan Dinda pakai, tapi sayang usahanya tidak membuahkan hasil. Begitu juga ketukan pintunya, tidak ada jawaban apapun dari dalam padahal biasanya Mama Dinda yang akan membukanya seandainya Dinda memang tidak ada di dalam apartemen.

"Dinda, Sayang, buka pintunya. Saya datang untuk kamu, Sayang. Jangan takut, hanya ada saya yang ada di sini!" Percuma, sebanyak apapun Dewa memanggil tetap tidak membuahkan hasil.

Kebetulan sekali, setelah sekian lama berdiri, ada petugas kebersihan apartemen yang melintas.

"Permisi, Pak. Penghuni unit apartemen ini di mana ya. Biasanya saya memanggil langsung dibuka. Bapak tau atau tidak ya?" tanya Dewa.

"Apartnya Dokter Dinda dan Ibu Kanaya bukan?" Dewa mengangguk.

"Oh... mereka sudah tidak tinggal di sini, Pak. Empat hari lalu mereka pindah," jawab bapak petugas kebersihan.

"Bapak tau mereka pindah ke mana?"

"Tidak, Pak. Tapi kemarin barang-barang mereka banyak yang dibagikan ke tetangga atau ke petugas apartemen termasuk saya. Sepertinya mereka pindah jauh."

Tangan Dewa sontak mengepal. Jika benar Dinda dan Mamanya pergi jauh, maka Sedayu jelas terlibat dengan kepindahan itu.

"Terima kasih infonya, Pak. Permisi." Dewa membuang buket bunga mawar ke dalam tong sampah yang dibawa petugas tersebut. Dalam amarah yang terpendam, dia turun kembali ke lantai dasar menggunakan lift. Dia juga berlari saat pintu lift terbuka dan cepat-cepat menuju mobilnya.

"Kamu pasti juga terlibat!" geramnya. Begitu mobil menyala, dia langsung menjalankan mobil itu dengan cepat. Dia akan kembali ke rumah untuk menemui Manda.

Dengan waktu yang lebih cepat, akhirnya Dewa sampai kembali ke rumah. Dia langsung melangkahkan kakinya menuju lantai tiga di mana kamar Manda berada.

"Kenapa cepat sekali?" tanya Manda. Dia baru saja keluar dari kamar, akan pergi menemui teman-temannya.

"Saya tahu kamu ikut andil dengan rencana Omah. Tolong katakan, Manda. Saya berani bersujud asal kamu memberitahu ke mana Dinda saya pergi." Tidak seperti sebelumnya, Dewa tidak langsung menyerang Manda meski dia marah.

"Dinda pergi? Maksud kamu?" Manda memang tahu jika wanita itu pergi, tapi dia benar-benar tidak tahu tempat mana yang dia singgahi. Sedayu sama sekali tidak bisa dirayu tentang hal ini.

"Jangan berbohong, Manda. Saya mohon, beritahu saya di mana Dinda. Dinda saya tidak mungkin seperti ini jika bukan karena Omah yang mendesaknya. Beritahu saya Manda. Saya tidak bisa hidup tanpa dia." Dewa merosot, dia sudah bersiap bersujud tapi Manda sudah lebih dulu menahan bahunya.

"Aku benar-benar tidak tau, Dewa. Omah sama sekali tidak mengatakan apapun padaku. Maafkan aku, andai saja aku tidak tersulut amarah, pasti Dinda tidak akan pergi. Maafkan aku." Manda merasa bersalah secara tiba-tiba saat melihat sorot mata Dewa yang redup sekali. Lelaki itu tampak hancur atas kehilangan ini.

"Katakan Manda, katakan dimana Dindaku. Saya butuh dia, Saya butuh Dindaku." Radewa menangis. Iya, dia menangis dalam kepala yang menunduk dan kedua tangan yang sudah memegangi kaki Amanda, membuat wanita itu akhirnya ikut merendahkan tubuhnya. Dia tidak mau jika sampai Dewa bersujud padanya.

"Dewa, maafkan aku. Aku benar tidak tau apa-apa."

"Dindaku, Dindaku di mana." Dewa menangis semakin keras. Dia mengangkat kepalanya hingga Manda bisa melihat wajahnya dengan jelas.

"Maafkan aku Dewa. Aku, aku akan membantu mencari Dinda. Tolong jangan seperti ini. Berhentilah. Aku benar-benar akan membantumu."

Naluri menolong itu muncul begitu saja. Amanda membiarkan bahunya menjadi tumpuan Dewa. Dia biarkan lelaki itu mememeluknya, mengeluarkan tangisnya di sana. Dan Dewa juga membiarkan Manda menenangkannya, mengusap lembut punggung dan juga rambutnya.

***

Kalau mereka akur, siapa nih yang akan jatuh cinta duluan?

Jangan lupa tinggalkan cinta kalian pada cerita ini dengan memberi vote dan komen. Terima kasih 🫶

Terpopuler

Comments

Eemlaspanohan Ohan

Eemlaspanohan Ohan

،,kurasa si dinda bukan anak nya bapak nya dewa

2024-12-03

0

Eemlaspanohan Ohan

Eemlaspanohan Ohan

،,kurasa si dinda bukan anak nya bapak nya dewa

2024-12-03

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!