"Sayang, kamu sudah membereskan barang-barangmu?" Dari balik telepon, Sedayu menanyakan kesiapan Amanda yang akan kembali ke Jakarta setelah dua puluh empat jam menunggu kabar dari wanita tua itu.
"Aku sudah membereskannya sejak kemarin," sahut Amanda berbohong. Dia baru bersiap tadi pagi. Memang belum banyak barang-barangnya yang dikeluarkan dari dalam koper.
"Ya Tuhan, maafkan Omah, Sayang. Ampuni Radewa. Kamu pasti merasa tersiksa. Sekarang tunggu saja, akan ada orang suruhan Omah yang akan mengambil barang-barang kamu. Pastikan Dewa tidak melihatnya."
"Lantas aku bagaimana Omah?"
"Kamu menyusul. Jangan sampai ada yang melihat kamu membawa koper. Bersikaplah setenang mungkin."
"Baik, Omah. Terima kasih."
"Tidak perlu berterima kasih. Ini memang sudah menjadi tugas Omah. Omah matikan panggilannya, Sayang. Sampai bertemu di Jakarta, Omah yang akan menjemput kamu."
"Iya, Omah."
Manda memandang dirinya yang sejak tadi memang sedang berkaca. Dia turunkan kaca mata hitam yang tergantung di kepalanya. Dengan celana leging hitam dan kaos oblong v neck putih, pastilah Dewa tidak akan menyadari jika dia akan meninggalkannya. Dan Manda juga berharap jika kepergiannya tidak perlu diketahui oleh lelaki itu.
Manda masih memendam amarah yang begitu besar. Sungguh menjijikan bahwasannya dia telah dibentak tanpa melakukan pembelaan. Pembalasannya harus berjalan mulus untuk menuntaskan amarah itu. Jika sampai nanti dia masih tidak puas, akan dia tunjukan kebenaran dari kejadian kemarin itu baik dihadapan Dewa maupun Dinda. Bila perlu di depan umum sekaligus agar keduanya merasa malu.
"Aku tidak tahu apa yang akan wanita tua itu lakukan selanjutnya, dan aku tengah menunggunya, Dewa," ucap Manda.
Pintu kamar diketuk, wanita berambut sepinggang kecoklatan itu membuka pintu. Kartu nama yang bertuliskan juga perusahaan milik Sedayu menunjukkan bahwa pria yang berpakaian serba hitam di depannya adalah orang suruhan yang dimaksud. Manda langsung menunjuk pada koper hitam berukuran sedang yang sudah dia letakkan di samping pintu.
Pria tinggi besar itu mendengarkan earphone dan menolah ke arah kamar tempat Dewa menginap. "Nona bisa keluar setelah lima menit. Saya akan menunggu di kapal yang akan membawa kita ke kota."
Manda mengangguk. Dia sudah tidak sabar sekali. Sejak kejadian kemarin, minatnya untuk berlibur dan menikmati keindahan Maldives memang telah hilang.
Dipastikan bahwa situasi sudah aman, orang suruhan Sedayu itu segera melangkah pergi. Manda menutup pintu, melihatnya dari balik kaca. Sekarang gilirannya melihat jarum jam di tangannya.
Waktu lima menit yang diberikan berlangsung cepat. Manda segera meninggalkan kamarnya dan berjalan santai keluar. Seharusnya Dewa tidak keluar karena ini masih pukul enam. Sedayu sengaja memberangkatkan mantu cucunya itu sepagi ini karena dia tau tabiat Dewa yang selalu bangun di pukul tujuh.
"Bye-bye loser!" rutuk Manda saat dirinya melewati kamar yang di dalamnya ada Dewa dan Dinda.
Manda hingga esok tiba cukuplah duduk tenang. Dia harus menyimpan energinya agar saat bertemu Sedayu nanti dia bisa berakting dengan baik.
***
Mentari bersinar begitu terang. Cahayanya menyelinap masuk ke dalam kamar setelah semalam Dewa lupa menutup tirai.
Bukan sembarang lupa, Dewa telah melakukan kesalahan besar yang baru saja dia sadari sampai tirai itu bahkan tidak diingatnya.
Semalam dia terbuai dengan tubuh elok Dinda sesaat setelah keluarnya wanita itu dari kamar mandi. Kecup singkat yang dimintanya berakhir menjadi panas saat hasratnya memuncak secara tiba-tiba. Dinda yang justru menerima dan menikmati kecupan itu membuat mereka akhirnya berakhir di atas ranjang.
Tubuh tanpa sehelai benang, Dewa sempat terperanjat sebelum ingatan semalam membelai otaknya. Begitu dia sadar, hanya penyesalan yang tersisa. Dia sudah menodai cinta tulusnya, sementara Dinda masih terbaring nyenyak di sebelahnya.
"Sudah terlanjur, aku tidak apa." Dewa salah, Dinda telah bangun. Wanita itu menarik selimut dan duduk bersandar pada kepala ranjang, "aku tidak apa asal nanti kamu mau tanggung jawab jika seandainya aku hamil," imbuhnya menunduk.
"Dinda maafkan saya, Sayang. Saya janji, saya janji akan bertanggung jawab. Akan saya ceraikan wanita jalang itu secepatnya. Tidak perlu menunggu enam bulan lagi!" tegas Dewa.
"Omah bagaimana?"
"Omah adalah urusan saya, kamu tidak perlu memikirkan apapun. Fokus pada kita saja."
Dinda mengangguk pelan, usapan pada pipinya membuat hatinya menghangat.
Tuk tuk tuk
Pintu terketuk. Dewa dan Dinda saling pandang. "Pakai pakaian di kamar mandi, biar saya yang membuka pintu," kata Dewa.
Pakaian semalam yang berserakan diambil, Dewa segera memakainya dan berkaca sebentar untuk melihat bagaimana rambutnya sekarang. Saat dirasanya wajahnya tak terlalu buruk, dia buka pintu yang tidah berhenti terketuk itu.
Dewa mengernyit saat mendapati pria bertubuh besar menyapanya dengan sinis. Pria itu tidak sendiri, melainkan bersama dengan dua orang lain yang segera masuk ke dalam kamar.
"Hey, what are you doing!!" teriak Dewa.
"Nyonya Sedayu yang memerintahkan kami," kata pria yang masih berdiri di depan Dewa.
"O-Omah?!" Dewa terperanjat, dia mematung hingga tidak sadar bahwa kedua tangannya telah dipegang erat oleh orang suruhan Sedayu itu.
"Sudah semuanya!" Orang yang mengacak kamar mengangguk, dia telah membereskan barang-barang milik Dewa. Ada ponsel dan passport yang paling utama. Sedayu memang akan membawa secara paksa cucunya itu. Dia masih berbaik hati dengan meninggalkan passport milik Dinda. Padahal jika mau, Sedayu bisa membuat wanita itu tidak bisa kembali pulang ke Indonesia.
"Dinda, Dinda!!" teriak Dewa, dia sekejap teringat wanita itu saat tubuhnya diseret keluar.
"Lepaskan saya, lepaskan!!" berontak Dewa, sayangnya dia tidak bisa bergerak lebih sebab dua orang yang mencekalnya memiliki tubuh lebih besar dan tenaga yang lebih kuat.
"Dewa, apa yang terjadi!" Dinda yang masih berantakan itu berlari keluar. Dia buru-buru sekali memakai pakaiannya saat dia mendengar keributan tadi.
"Dewa!!!" Dinda mengejar tanpa alas kaki, tapi begitu jaraknya dekat dengan Dewa, tubuhnya didorong oleh orang suruhan Sedayu.
"Dindaaa!" Dewa semakin memberontak, hampir saja dia terlepas, tapi apalah daya tenaganya masih belum cukup. Dia diseret, didorong ke dalam kapal dan dijagal pergerakannya.
"Dewa.... Dewa aku harus bagaimana. Dewa, jangan tinggalkan aku sendiri. Dewaaaa!!!!"
Kalah sudah, Dewa telah dibawa pergi menjauh dari dermaga, sementara Dinda masih terjatuh, menangis dan meraung-meraung memanggil nama kekasihnya itu. Dia sendirian dengan tanda tanya besar di kepala."
***
Salah banget main-main sama Amanda
Kalian kasian atau enggak sama Dewa dan Dinda, kalau author sih enggak😁
Sampai ketemu di part selanjutnya
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments