Seperti teringat pada sesuatu, tiba-tiba saja Kamandaka bangkit dari duduk, kemudian mengambil bantal. "Tidak di sini," gumamnya.
Setelah itu, dia meraba-raba seluruh permukaan tempat tidur, sela-sela sempit di antara dinding. Bahkan menyingkap kasur, tetapi masih belum juga menemukan apa yang dicari. Akhirnya dia kembali diam untuk memusatkan pikiran, tetapi tidak lama kemudian mata yang semula terpejam perlahan membuka.
"Sudah tidak ada." Dia bergumam sambil mengernyitkan dahi. "Mereka sudah tau kami akan datang atau memang tempat ini sengaja disiapkan untuk memerangkap orang?"
Kamandaka tadi sengaja memilih kamar ini karena begitu masuk rumah, dia merasakan ada aura sangat pekat merambat keluar dari dalam kamar. Dia ingin tahu apa yang sebenarnya ada di sini, makanya tidak mengizinkan Bumirang masuk.
Dia tidak tahu itu aura apa, tetapi dengan cara melihat menembus dinding dan benda lainnya, dia sempat mendapati ada sebuah benda lonjong dibalut kain diletakkan di bawah bantal.
Setelah cukup lama termenung, dia bergegas keluar dari kamar dan menggedor pintu kamar Bumirang. "Bumirang, buka pintunya! Bumirang, cepat buka pintu!"
Bumirang yang masih belum sembuh dari terkejut dan juga masih duduk termangu di tepi pembaringan, segera bangkit dari duduk dan hanya dalam dua langkah lebar sudah membuka pintu. Kamandaka langsung menerobos masuk, membuat Bumirang yang sudah membuka mulut hendak bertanya pun akhirnya urung.
Kamandaka langsung saja nyerocos, "Di sana berisik. Banyak suara-suara tidak jelas keluar dari dinding." Dia duduk memeluk kaki di sudut tempat tidur, matanya menatap takut-takut dan cara bicaranya kembali merengek. "Aku takut. Biarkan aku tidur di sini. Kapok tidur sendiri."
Dengan adanya orang lain yang juga mampu menggunakan mata batin, Bumirang justru lega Kamandaka ada di dekatnya. Karena belum diketahui orang itu siapa, baik atau jahat, Bumirang pikir sangat riskan membiarkan Kamandaka sendirian.
"Kalau begitu tidur saja ...." Bumirang tiba-tiba kembali tertegun sambil menatap Kamandaka yang tengah membaringkan diri. Dia teringat pada kabut tebal yang menghalangi mata batinnya saat tadi berusaha melacak pandangan gaib yang sudah beresonansi dengannya.
Akhir-akhir ini selain Buana Ilam-ilam hanya Kamanda yang selalu membuatnya berurusan dengan kabut. Sesaat kemudian dia menggeleng kecil, lagi-lagi Bumirang menghentikan diri sendiri dari prasangka yang terlalu berlebihan. Sebelum prasangkanya terbukti benar, dia tidak boleh lengah menjaga Kamandaka. Karena di sini ada siluman ular dan tujuan mereka dibawa ke sini adalah untuk diumpankan pada makhluk haus darah tersebut.
"Bumirang, kamu sedang apa? Kenapa hanya berdiri di situ?"
Teguran Kamanda sedikit mengejutkan Bumirang. Perlahan pemuda itu naik ke pembaringan, lalu duduk bersila.
"Tidur sambil duduk lagi? Apa enaknya?" Kamandaka menatap polos, seperti anak kecil yang tidak memahami kenapa orang tua suka menyuruh anak-anak bertindak masuk akal, tetapi para orang tua sendiri malah sering melakukan hal-hal di luar nalar.
"Tetaplah di sini. Jangan coba-coba keluyuran selagi aku tidur. Tempat ini tidak aman. Mengerti?" Bumirang tegas memperingatkan. Bahkan tatapannya terpaku tajam pada mata Kamandaka.
Mengetahui bahwa Bumirang sebenarnya sedang mencoba untuk membaca pikirannya, Kamandaka segera menghadap dinding sambil bersungut-sungut "Iya, iya, mengerti. Sudah sana tidur."
Dia. Mungkinkah? Bumirang lagi-lagi menggeleng untuk menepis prasangka yang semakin dicegah rasanya justru semakin menjadi-jadi. Akhirnya dia pun memutusakan untuk segera bersemadi. Begitu mata batinnya terbuka, suasana Desa Ngalun Dalu yang gelap gulita langsung menyambutnya.
Gelap gulita dan singup. Suara alunan alat musik dari pendopo kediaman Raden Sono Baur justru membuat suasa semakin terasa mencekam alih-alih meriah dan menghibur. Desa ini benar-benar seperti mati, Bumirang jadi tidak sabar untuk melihat suasana desa di siang hari.
"Simrah. Pardi netih. Pardi kewu. Simrah." [Darah. Aku haus. Aku lapar. Darah]
Bumirang mengarahkan pandangan ke asal suara. Dalam sebuah ruangan yang ditata menyerupai ruang pemujaan, ada meja kayu sebagai altar, terbaring tubuh seorang perempuan tengah dililit oleh seekor ular besar berkepala manusia. Sebelum Bumirang sempat bertindak, tiba-tiba muncul sulur tanaman raksasa yang awalnya dia pikir ular juga.
"Sang Hyang Acintya, apa lagi ini?" Di dunia nyata, dahi Bumirang mengernyit mengekspresikan rasa terkejutnya.
Sulur tanaman itu membelit tubuh si ular siluman hingga ke bagian leher untuk mencegahnya mengisap darah perempuan yang memang sengaja disediakan sebagai tumbal persembahan.
Sulur itu tiba-tiba menghadap ke arah Bumirang dan seketika itu juga Bumirang merasakan resonansi yang sama, seperti beberapa waktu yang lalu.
"Biar aku yang urus. Raden harus tetap merahasiakan jati diri untuk membebaskan desa ini dari cengkeraman para siluman ular. Kalau mereka tau siapa Raden sebenarnya, mereka pasti akan waspada dan itu akan menyulitkan."
"Boleh aku tau, sebenarnya Kisanak ini siapa?"
"Suatau saat Raden akan tau dengan sendirinya. Yang perlu Raden tau sekarang, Raden Sono Baur adalah pemuja ular siluman. Dia akan berubah menjadi ular berkepala manusia setiap malam purnama dan bergentayangan mencari mangsa. Gadis ini adalah putri Raden Sono Baur yang tinggal satu-satunya."
"Apa?!" Bumirang tidak percaya juga tidak habis pikir, kenapa ada orang tua yang begitu tega.
"Aaarrrhhhggg!" Si ular siluman hanya meraung karena tiba-tiba saja tidak bisa berbicara.
"Gadis itu akan ada dalam cupumu. Bawa dia ke Gunung Ndapan dan serahkan pada Nyai Puspa."
"Baik ... bolehkah aku tau siapa nama Kisanak?"
"Panggil saja aku OyotNgulo. Maaf, Raden. Aku harus mengusirmu sekarang. "
"Huhf." Tiba-tiba saja Bumirang merasa seperti didorong. Konsentrasinya ambyar dan saat itu juga pemandangan yang bisa dilihatnya hanyalah kamar tidur ini.
Oyot Ngulo. Bukankah itu salah satu sahabat Prabu Jagad Kawiwitan? Bagaimana mungkin masih ada? Seharusnya sudah musnah bersama Prabu Jagad Kawiwitan yang sudah mangkat ....
Bumirang tersentak oleh pemikirannya sendiri. Selama ini dia tidak pernah mendengar bahwa Prabu Jagad Kawiwitan telah wafat. Dalam dongeng Eyang Pamekas hanya disebutkan bahwa Prabu Jagad Kawiwitan ilang musno [hilang musnah/hilang tanpa jejak].
Jangan-jangan.
Dia menoleh ke arah Kamandaka yang berbaring telentang dengan wajah tidurnya yang sangat konyol. Mulut terbuka dan ada lelehan air liur di sudut-sudutnya.
Tidak ada yang tidak mungkin, tapi sebaiknya aku tidak terburu-buru mengambil kesimpulan. Merasa konyol, Bumirang pun tersenyum sambil menggeleng kecil.
Teringat perkataan Oyot Ngulo, Bumirang bergegas meraih buntalan kain yang ada di dekat bantal, lalu mengeluarkan cupu yang pernah dia pergunakan untuk mengurung Kamandaka. Dengan mata gaib dia melihat ke dalam cupu dan benar saja, gadis yang tadi ada di atas altar, sekarang sudah berbaring di sana.
Gadis yang malang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 131 Episodes
Comments
Dragon🐉 gate🐉
dari sekian banyak Novel / cerita, dr yg Lokal smpe cerita negri lain, & berbagai genre... cm yg ini yg bikin gw ngulang Paragraf di tiap Chap. menyenangkan... Thanks Thor..
2024-08-29
1
rajes salam lubis
tetap bergairah
2024-08-11
0
Rinchanhime
Hee, senjatanya Kamandaka sudah bergerak duluan
2024-05-15
0