Sementara Kamandaka tengah memepecundangi kedua lawannya, di alam pikiran, Bumirang pun tengah bertarung melawan dirinya sendiri. Dua sosok berwajah kembar berdiri saling berhadapan, tatapan menguarkan aura permusuhan yang sangat kuat. Sampai-sampai angin pun seperti takut berembus sehingga udara pun terasa panas dan gerah.
Mana sisi Bumirang yang baik dan mana sisi yang buruk, bisa dibedakan dari pendar cahaya tipis yang membungkus tubuh mereka, hitam dan putih.
Si hitam tiba-tiba melompat, menerjang maju sambil mengoceh, "Jangan munafik. Aku adalah kamu, Bumirang!" Serangannya dengan mudah ditangkis si putih, bahkan pergelangan kakinya digenggam erat-erat hingga tidak berkutik.
Si hitam mengayun tangan hendak memukul, tetapi si putih menarik kepala ke belang. Setelah itu, seperti memantul, kepalanya mengayun ke depan secepat bayangan berkelebat. Tidak ayal lagi dahi keduanya pun beradu. Seketika itu juga tubuh mereka terdorong mundur dan begitu berhenti langsung memasang kuda-kuda.
Efek benturan tidak mereka anggap serius, tidak ada tanda-tanda kesakitan. Si hitam malah tersenyum mencemooh, lalu meludah jijik. "Bohong saja kalau kamu bilang tidak kecewa atau marah pada laki-laki tua itu karena sudah merahasiakan jati dirimu yang sebenarnya," ujarnya kemudian.
Si putih pun dengan santai menanggapi, "Jangan mendramatisir. Egois, kecewa dan marah adalah sifat dasar manusia. Tapi selain itu manusia juga dianugerahi nurani dan pikiran untuk menimbang dan mengarahkan. Dalam situasi bagaimana pun, kita harus tetap bisa berpikir positif karena jika negatif yang kita kedepankan, sama saja dengan menghancurkan diri sendiri."
"Omong kosong! Jika melampiaskan segala amarah adalah cara terbaik supaya hati merasa lega, untuk apa harus menahannya?!"
"Perbedaan hanya ada pada pola pikir. Kamu yang selalu berkubang dalam nista dan kegelapan, tidak akan pernah mengerti apa itu menahan diri untuk mendapatkan sebuah kebaikan yang lebih besar. Kamu hanya tau marah dibalas marah, benci harus dibalas benci, dikecewakan juga harus mengecewakan. Benar-benar tidak ada kebaikan dan ketulusan, juga tidak ada sedikit pun nilai positif."
Si hitam terbahak-bahak. "Apa itu salah, huh? Jangan lupa, Bumirang! Aku adalah kamu! Aku tau semuanya, bahkan yang tersembunyi sekalipun." Setelahnya dia kembali menerjang maju.
Sambil menghindar, si putih berkata, "Tentu saja kamu tau. Justru aneh kalau kamu tidak tau, padahal kamu sendiri yang menciptakan semua angkara itu. Menjadi bagian terburuku adalah kodratmu ...." Dia balas menyerang dan dalam beberapa gerakan berhasil menendang dada si hitam. Sementara si hitam terjengkang, si putih kembali memasang kuda-kuda dan melanjutkan perkataan yang tertunda, "Aku tidak bisa menolakmu, tapi juga tidak akan membiarkanmu menjadi batu sandungan dalam perjalananku menabur kebaikan."
Hanya dalam satu gerakan, tubuh si hitam melenting dan kembali berdiri tegak. Sambil berkacak pinggang dia berkata sarkas juga menantang, "Ingin menguras laut, huh? Jangan melakukan hal sia-sia. Segunung kebaikan tidak akan pernah bisa menghapus karmaphalamu. Lebih baik menyenangkan diri dan menikmati hidup daripada berkeliaran tidak tentu arah dan tujuan."
Si putih meluruskan sikap. Sambil tersenyum lembut dia bertutur bijak, "Arah dan tujuan sangat jelas. Kenapa kamu bisa berpikir apa yang kita lakukan sia-sia?"
"Pertanyaan sebaliknya untukmu." Si hitam lagi-lagi tersenyum mencemooh. "Atas dasar apa kamu berpikir apa yang kita lakukan tidak akan sia-sia?"
"Karena pada hakekatnya di jagat raya ini tidak ada hal yang sia-sia. Apa pun yang telah kita kerjakan akan mendapat tempatnya masing-masing. Sang Hyang Acintya membawa kita sejauh kaki melangkah bukan untuk gagal atau untuk kesia-siaan. Tapi, berkah yang sudah di depan mata pun kita tetap tidak bisa mendapatkannya dengan mudah. Sampai akhir hayat, hidup adalah perjalanan dan perjuangan yang akan selalu penuh liku, ujian dan rintangan. Kesungguhan dan ketulusan hati yang akan membuktikan apa kebaikan yang telah kita kumpulkan cukup layak untuk mendapatkan berkah itu."
"Pandai bicara. Ingat Bumirang---"
"Aku tidak akan pernah lupa, kamu juga Bumirang."
Si hitam terpaku dengan tatapan nanar, si putih pun terdiam dan merenung sambil menatap tajam tepat ke mata si hitam.
Sejak dilahirkan, di dalam diri manusia secara alami terdapat dua unsur, yaitu hitam dan putih atau terang dan gelap. Keduanya harus saling melengkapi dan seimbang. Bumirang sadar betul apa fungsi masing-masing unsur. Bila dua unsur gagal bersinergi, maka jiwanya bisa porak-poranda. Di situlah letak kesia-siaan yang sesungguhnya.
Dia butuh sisi hitam sebagai pengingat supaya kewaspadaannya terus terjaga. Si hitam bertindak sebagai alarm yang bertugas mengingatkan dengan kecurigaan, kemarahan, kekecewaan dan segala macam yang bersifat negatif, tetapi bertujuan positif untuk dirinya sendiri. Sementara itu, sisi putih yang menangkap sinyal alarm bertindak sebagai penyaring segala informasi yang tersampaikan. Mengolah, memeta-metakan, serta menyeimbangkan untuk mencegahnya bertindak gegabah.
Si putih tiba-tiba tersenyum tulus sambil berjalan perlahan menghampiri si hitam. Si hitam tidak bisa menghindar, tetapi tatapannya jelas penuh kebencian. Wajahnya mengeras dan begitu si putih sudah berdiri tepat di hadapannya, dia tanpa ragu mengayunkan tinju. Namun si putih dengan mudah menangkap, perlahan mengurai jemari, lalu menautkannya dengan jemari si hitam dan menggenggam erat-erat.
"Kamu---"
"Aku tau kamu marah." Suara si putih sangat lembut, tatapannya teduh menenangkan, raut wajah pun penuh senyum menyejukkan. Si hitam terpaku dan membisu. "Aku bisa rasakan kebencian itu. Tapi kamu juga harus tau alasan kenapa eyang melakukannya. Juga tentang Kamandaka, percayalah ini bukan kebetulan."
Si putih perlahan menarik si hitam ke dalam pelukan, meski si hitam berontak, dia tidak melepaskannya. "Terima kasih sudah menjadi bagian dariku. Terima kasih sudah mengingatkan, tapi aku juga butuh kita bisa lebih saling memahami dan bekerja sama. Tenangkan dirimu dan biarkan aku yang mengurus bagian selanjutnya."
Si hitam tidak bersuara. Ketika si putih menepuk-nepuk lembut punggungnya, kelopak mata si hitam pun perlahan menutup. "Aku tau kamu khawatir, kamu juga lelah. Kembalilah ke tempatmu untuk beristirahat. Sisanya percayakan saja padaku." Setelah si putih selesai bicara, si hitam perlahan berubah menjadi asap.
Sudah menjelang pagi dan mulai merasakan eksistensi Bumirang, Kamandaka tidak lagi cengengesan. Pemuda itu memerintahkan Oyot Ngulo untuk mengikat Nyai Rumpang dan Lembu Manikan, lalu melempar keduanya keluar dari hutan.
"Di masa depan jangan pernah dengan sengaja muncul lagi di hadapanku. Kalau masih bandel juga, kalian akan tanggung sendiri akibatnya."
Oyot Ngulo menjalankan perintah dengan sangat baik. Tanaman sakti itu memutar-mutar tubuh Nyai Rumpang dan Lembu Manikan seperti memutar benda tidak berharga. Suara jeritan mereka melengking di udara saat Oyot Ngulo melontarkan tubuh keduanya ke angkasa.
Kamandaka tertawa puas. "Terima kasih Oyot Ngulo." Dia mengelus ujung tanaman itu penuh sayang, lalu membuka telapak tangan. "Masuklah sebelum Bumirang kembali."
"Abdi mohon undur diri, Raden." Suara pria, tetapi kecil dan lembut, berbicara sambil mengangguk, lalu meliuk-liuk melingkari tubuh Kamandaka. Semakin lama semakin mengecil, kemudian masuk ke telapak tangan Kamandaka seperti cacing masuk ke dalam liang.
Setelah itu, Kamandaka bergegas membaringkan diri di atas rerumputan tepat di samping batu lempeng tempat Bumirang bersemadi. Dia berpura-pura tidur, tetapi tidak nyenyak, sesekali menepuk lengan atau kaki seperti sedang digigit serangga.
Bumirang membuka mata, lalu mengambil kain dari buntalan dan menggunakannya untuk menyelimuti pemuda itu. Setelahnya dia kembali dalam posisi semadi, menyatu dengan alam, melepas energi negatif dan menarik energi positif.
"Raden Bumirang, keluarkan aku dari sini! Tolong, Raden!" Itu adalah suara Kidung Kahuripan yang berasal dari dalam buntalan, tetapi sebenarnya cemeti itu tidak berada di sana.
Buntalan kain pemberian Eyang Pamekas itu bukan benda biasa. Bisa juga dikatakan sebagai pusaka ajaib. Selain kedalamannya tidak terukur, apa yang bisa dimasukkan dan apa yang bisa dikeluarkan sungguh di luar ekspetasi.
Suara Kidung Kahuripan hanya terdengar sebentar, lalu lenyap seperti disapu angin. Selain Bumirang dan Eyang Pamekas tidak akan ada yang menyangka bahwa cemeti itu sekarang tengah melanglang buana di wilayah perbatasan antara nyata dan khayal, fana dan keabadian.
"Di sana adalah tempat terbaik untukmu."
"Aaaa! Raden, di sini hanya ada padang, padang, padang---aaaa!"
Semakin lama suara Kidung Kahuripan pun semakin menipis hingga akhirnya sirna sama sekali dan Bumirang kembali khusyuk. Khusyuk sampai tiba-tiba ada sesuatu yang memukul kepalanya. Perlahan membuka mata dan menyaksikan Kamandaka sedang berlarian untuk menangkap burung-burung kecil. Bumirang pun tersenyum geli.
"Burung kecil tidak ada dagingnya. Jangan ditangkap."
Kamandaka menoleh dan langsung tertawa-tawa sambil berlari-lari kecil menghampiri Bumirang. "Aku sedang mengusir mereka soalnya mereka tidak sopan. Masa pada menclok di kepalamu. Kan, tidak sopan itu?"
Seketika itu juga Bumirang terkekeh geli. Sekarang dia tahu apa yang barusan memukul kepalanya. Kamandaka bermaksud baik, tetapi tidak sadar kalau maksud baiknya juga telah meninggalkan jejak tidak enak.
"Bumirang, aku lapar." Kamandaka mulai merengek sambil mengelus perut.
"Kalau begitu, ayo pergi cari makan."
"Asyik!" Kamandaka meloncat kegirangan. Dia terus meloncat-loncat bahkan ketika berjalan, seperti kelinci, sambil menembang tidak jelas dalam gumaman.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 131 Episodes
Comments
Dragon🐉 gate🐉
berarti Kamandaka sebenarnya jg bukan awam, hanya sj dia sengaja 'bersembunyi' ...
2024-08-29
2
Paramitha Mitha
Betul 👍👍👍 berkelas
2024-05-25
0
Rinchanhime
Mirip tas ajaibnya Hermione
2024-05-14
0