"Hentikaaan! Cukup! Aku tidak mau lagi! Lepas! Lepaskan aku!"
"Jangan membuatku lebih marah lagi, Kamandaka!" Suara perempuan tanpa rupa terdengar di udara. "Kamu tidak ingin aku menghanguskan seluruh desa, bukan?!"
"Kenapa?! Kenapa harus aku?!" Kamandaka terus mencekal pergelangan tangan kanan untuk mencegah tangan itu mengikuti pergerakan cambuk api.
"Karena hanya kamu yang bisa membawaku kembali pada Prabu Danur!"
"Tapi aku tidak mau berurusan dengan raja laknat itu!"
"Lancang! Berani-beraninya kamu!"
Cambuk itu tiba-tiba mengayun liar tanpa bisa dicegah, Kamandaka pun pontang-panting dibuatnya. Meskipun genggaman pada gagang cambuk sudah dilepas, tetapi cambuk itu tetap menempel di tangannya.
"Aaarrrggghhh! Hentikaaan! Ampun, Nyai! Ampun!"
Bugh
"Ughf!"
Tubuh Kamandaka dihempas ke tanah dan terkapar dalam posisi tengkurap. Menahan sakit dan sesak, dia meringis serta memejamkan mata rapat-rapat.
Gagang cambuk masih menempel di telapak tangan kanan Kamandaka, tetapi ujungnya tiba-tiba melesat ke atas, badannya meliuk-liuk seperti keris berlekuk, kemudian tegak lurus seperti hendak menusuk langit. Segera setelahnya, menukik cepat tepat ke tubuh Kamandaka yang masih tengkurap tidak berdaya.
Akan tetapi, sebelum hal buruk terjadi tiba-tiba saja cahaya sangat terang muncul dari kehampaan dan langsung menangkap ujung cambuk tersebut, lalu menariknya menjauh sambil berjumpalitan di udara.
"Kurang ajar! Berani-beraninya menyentuhku seenaknya!" Cambuk itu meraung, suaranya menggetarkan bumi sampai-sampai rumah para warga pun turut berguncang.
"Kamu harus berhenti, Nyai." Suara Bumirang sangat tenang dan stabil meskipun berbicara sambil berjumpalitan. Mendarat ringan dalam posisi memasang kuda-kuda kukuh, tangan kanannya menggenggam ujung cambuk erat-erat.
Sosok Bumirang terhalang oleh cahaya yang dibiaskan oleh rambut panjangnya yang tergerai. Rambut itu bersinar seterang matahari, tetapi tidak terasa panas sama sekali.
Kamandaka mengangkat wajah, niatnya untuk memberontak pun seketika sirna. Seperti bodoh terpaku menatap sosok bercahaya itu dengan mata membeliak maksimal dan mulut pun terbuka lebar. Makhluk apa itu?
"Lepaskan aku?" Ketika meraung, cambuk itu bergetar hebat.
Ketika merasakan resonansi, Kamandaka refleks menggenggam gagang cambuk dan tubuhnya pun turut bergetar. Dia spontan kembali melepaskan genggaman, tetapi gagal karena cambuk itu seperti lintah, menempel untuk menyedot energi dan inti sari hidupnya. Seperti terkena serangan penyakit ayan, tubuh Kamandaka menggelepar dan kejang-kejang.
Resonansi tidak berdampak pada Bumirang. Pemuda itu dengan gesit berdiri tegak masih sambil menggenggam ujung cambuk yang sengaja digulung beberapa kali untuk memperkuat lilitan. Berbanding terbalik dengan Kamandaka, Bumirang justru berdiri santai, bahkan di balik cahaya yang menyilaukan itu wajahnya tampak tenang.
"Lepaskan pemuda itu," ujar Bumirang datar. "Kenapa kamu memperalatnya? Kenapa membunuh orang tuanya? Apa salah mereka?"
"Dia berutang padaku. Jadi jangan mimpi aku akan melepaskannya. Aku membunuh orang tuanya karena mereka ingin mengkhianatiku ...."
"Siapa kamu? Apa kuasamu di jagat raya ini sampai merasa punya hak untuk mencabut nyawa orang lain?"
"Bedebah! Apa urusan---" Suara cambuk itu seketika berhenti saat tiba-tiba kain putih pengikat rambut Bumirang mengayun ke arah Kamandaka, lebar dan panjangnya otomatis bertambah menjadi beberapa depa hingga akhirnya menyentuh lembut tubuh pemuda tersebut.
Sentuhan itu secara ajaib bisa menenangkan tubuh Kamandaka, lalu ujung kain menggulung tubuhnya hingga terbungkus mirip kepompong. Hanya tangan kanan pemegang cambuk saja yang tidak ikut terbungkus. Perlahan tubuh itu terangkat, kemudian mengambang kisaran setinggi tiga hasta.
"Ka-kamu .... Si-siapa kamu sebenarnya?" Suara cambuk itu tidak pongah seperti sebelumnya, terdengar goyah dan terbata-bata. "Ba-bagaimana bisa kamu menghentikanku?"
"Lepaskan dia, sekarang!" Bumirang memberi penekanan pada kata terakhir.
"Tidak!" Meski sebenarnya gentar, cambuk itu tetap berkeras.
Kamandaka adalah sumber energinya. Sumber energi luar biasa yang sangat sulit ditemukan karena manusia beraroma wangi sangatlah sedikit. Ada pun, biasanya mereka memiliki bekal ilmu karungan dan sudah tentu tidak akan membiarkan makhluk asing merasuki.
Lagi pula, cambuk itu masuk ke dalam tubuh Kamandaka atas seizin orang tuanya yang menginginkan kesembuhan sang buah hati. Jadi, cambuk itu sama sekali tidak merasa bersalah jika ingin tetap bertahan di tubuh pemuda tersebut dan memanfaatkannya. Namun sayangnya, ada saat-saat tertentu di mana Kamandaka yang mengalami gangguan mental, secara mengejutkan mampu menolak perintahnya.
"Jangan memaksa aku bertindak kasar, Nyai." Sembari memperingatkan, Bumirang memutar kepalan tangan kanan beberapa kali untuk menggulung cambuk lebih banyak terlilit ke tangannya.
Bumirang melakukan itu dengan santai bahkan tidak tampak mengeluarkan tenaga, tetapi badan cambuk itu kembali bergetar hebat, seperti tengah mati-matian berusaha mempertahankan diri.
"Kamu sendiri bisa merasakan perbedaannya, bukan?" Ujaran ini mengandung arogansi, tetapi ketika Bumirang yang mengucapkan hanya terdengar seperti ungkapan fakta yang harus diakui. Sama sekali tidak ada maksud menyombongkan diri. "Menyerahlah, jangan bandel," tambahnya dengan lembut, tetapi terdengar tegas.
"Aaarrrggghhh! Tidak! Dia milikku! Milikku!" Sementara tubuhnya bergetar hebat, cambuk itu menjerit dan melolong panjang kesakitan seperti tengah disiksa. Akan tetapi, tidak ada tanda-tanda dia akan mematuhi perintah Bumirang.
Lolongan panjang itu terdengar hingga ke Buana Ilam-ilam. Seluruh penghuni negeri yang diselimuti kabut itu seperti dikomando, serempak mendongak, menatap angkasa sambil bergumam Ampu Laras Kidung Tilar (Tuan Putri Kidung Tilar).
Ki Ageng Galunggung dan Nyai Ageng Lereng saling bertukar pandang, segera setelahnya sosok mereka menghilang dari koridor istana.
"Kidung Tilar, kebodohan apa yang sudah kamu lakukan, Cah Ayu?" Suara Nyai Ageng Lereng mengambang di udara. Selagi Bumirang dan cambuk itu masih belum benar-benar mengerti apa yang terjadi, dua harimau putih muncul begitu saja di hadapan mereka dan langsung menunduk sopan kepada Bumirang.
"Astu satya, Bumirang kekasih jagat," ucap keduanya bersamaan.
"Ampunkan jika Kidung Tilar tidak sopan." Ki Ageng Galunggung berbicara dengan nada memohon dan intensi malu tersirat jelas dalam suaranya.
Bumirang tidak terlalu ambil peduli dengan sikap mereka yang berlebihan, sampai menyembah seperti itu. Dia lebih tertarik pada fakta bahwa cambuk itu adalah Kidung Tilar yang seharusnya seorang gadis. Di saat perhatiannya terpecah inilah Bumirang menyadari kalau cambuk itu telah berhenti bergetar. Bahkan membisu.
Jiwa Bumirang tiba-tiba bisa merasakan resonansi dari kegelisahan juga ketakutan yang dialami cambuk itu.
"Tolong aku. Aku akan melepaskan Kamandaka kalau kamu mau menolongku." Suara itu seperti merintih, menjalar di lengan Bumirang, getarannya terasa memilukan, dan hanya dia sendiri yang bisa mendengarnya.
"Menolongmu atau tidak itu tergantung .... Tapi yang pasti kamu harus melepaskan pemuda itu."
"Aku mohon. Aku tidak ingin kembali ke Buana Ilam-ilam dalam keadaan seperti ini."
Bumirang tersenyum sinis. "Kamu pikir aku tidak tau apa yang sedang kamu pikirkan, huh?"
Cambuk yang sejatinya adalah putri Kerajaan Buana Ilam-ilam itu pun terdiam.
"Pulang bersama kami, Cah Ayu," pinta Nyai Ageng Lereng. "Kita bicarakan baik-baik---"
"Jangan membodohi aku!"
"Kidung Tilar!" Ki Ageng Galunggung meraung murka. Suaranya menggetarkan bumi, menggundang petir datang menyambar-nyambar di langit malam yang bersih tanpa awan. Seperti terbelah, langit itu pun tiba-tiba menumpahkan air sangat deras.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 131 Episodes
Comments
BLABLABLA
karungan atau Kanuragan?
2024-09-04
0
rajes salam lubis
gaassspooolll
2024-08-08
0
Riyan Ngalam
semakin kesini semakin enak ceritanya.. mantap thor
2024-07-11
2