Satu windu lalu, pemuda dengan punggung lebar dan bahu kukuh yang tengah berdiri di tepi sungai itu masihlah bocah mungil yang tingginya kurang lebih hanya dua setengah hasta. Namun, satu setengah windu kemudian telah tumbuh menjadi seperti yang tampak sekarang. Jangkung, tegap dan gagah.
Berdiri bersisian, Eyang Pamekas yang sudah mulai uzur punggung pun sedikit bungkuk, terlihat hanya setinggi atas sikunya. Pria tua itu sekarang tampak ringkih, rasa-rasanya tidak akan mampu menahan beban satu lengan berotot pemuda itu di bahunya.
Berdiri mematung setenang gunung, beberapa burung hinggap di kepala dan bahu pemuda itu. Bahkan ada satu yang bertengger di pangkal ikatan rambut sambil mematuk-matuk kain putih yang mengikatnya. Angin berembus silir, sejuk pun seolah membelai wajah rupawan bergaris rahang tegas yang tetap terlihat lembut, karena senyum seolah terakumulasi di matanya yang menatap penuh ramah tamah.
Eyang Pamekas menoleh ke arahnya, tertegun melihat rambut yang diikat menyerupai ekor kuda panjangnya mencapai pinggang. Sejak lahir rambut itu tidak pernah dicukur, tetapi setelah sepanjang ini tidak akan pernah bertambah panjang lagi. Pria tua itu kemudian mengeluarkan sesuatu dari saku jubahnya.
"Gunakan ini sebagai ikat kapala." Dia memberikan kain putih selebar dua ruas jari, panjang kisaran satu setengah hasta. Pemuda itu menerima dalam diam, lalu menatap terpaku pada benda itu. "Apa pun yang terjadi jangan pernah melepasnya."
"Baik, Eyang." Setuju tanpa menanyakan alasan, Bumirang pun mengikatkan kain putih itu di kepalanya. Tampak semakin gagah layaknya seorang ksatria.
Waktu kecil dia memang selalu banyak bertanya karena banyak hal masih sangat asing baginya. Namun, seiring berlalunya waktu dan dia pun beranjak lebih dewasa, pola berpikir secara bertahap dan alami mengalami perubahan pula.
Jika Eyang Pamekas meminta dia melakukan sesuatu tanpa memberi penjelasan, itu berarti eyang ingin Bumirang mencari tahu sendiri alasannya---atau mungkin alasan dan pemahaman akan datang sendiri kelak.
"Jangan lupa tirakat di bulan mati. Saat sabit menampakkan diri berjalanlah balik arah seratus langkah, kemudian lanjutkan perjalanan lewat rute lain. Yang paling utama adalah nyepi semedi saat paripurna, dan sebelum mencapai pudar jangan singgah. Nikmati setiap jengkal pijakan, melangkah setapak demi setapak kecuali untuk hal mendesak. Berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan jaga hati tetap bersih."
"Baik, Eyang." Bumirang membungkuk pada Eyang Pamekas.
"Mampirlah ke Gunung Ndapan, berikan ini pada Nyai Puspa." Di telapak tangan kanan yang tadinya kosong, tiba-tiba muncul sebuah kotak kayu kecil. Sementara itu, sebuah buntalan kain muncul di tangan kiri. "Dan ini bekalmu." Eyang Pamekas memberikan kedua benda itu kepada Bumirang.
"Baik, Eyang. Terima kasih."
Sambil menepuk-nepuk lengan Bumirang yang terasa padat, keras seperti kayu, Eyang Pamekas menambahkan, "Pergilah. Jelajahi seluruh Jagat Kawiwitan ini dan biarkan takdir membawamu berlabuh di tempat yang tepat."
"Mohon doa restu, Eyang. Bumirang, pamit."
"Pergilah, pergi. Jangan buang-buang waktu."
Sebenarnya Bumirang ingin memberi pelukan perpisahan, tetapi sambil menyuruhnya cepat pergi, Eyang Pamekas sudah membalik badan, lalu berjalan menjauh ke arah hutan. Setelah terpaku sejenak sambil menahan sesak di dada, akhirnya Bumirang pun balik badan dan segera memantapkan langkah setelah mengembuskan napas kasar.
"Sambut kebebasanmu Bumirang. Saatnya menjadi manusia yang lebih berguna." Dia bergumam penuh semangat dan senyum pun terkembang lebar hingga matanya menyipit tertimbun kerutan.
Ketika angin kembali berembus lebih kencang menyebabkan dahan meliuk dan daun melambai, Bumirang berucap, "Sampai jumpa lagi. Aku pasti akan merindukan kalian."
"Pulah supen rengsang, Bumirang."
[Jangan lupakan kami]
Suara itu mengalir lembut bersama angin. Suara para sahabat tidak kasatmata yang selama ini selalu menemani Bumirang bermain ataupun berlatih.
"Salwe sikak. Batih guyup eyang."
[Terima kasih. Tolong jaga eyang]
"Jurnak, pulah hasu."
[Pasti, jangan khawatir]
Tidak ingin melepas kepergian Bumirang begitu saja, mereka terus menyertai pemuda itu. Pergerakan makhluk tidak kasatmata menimbulkan sedikit pergolakan di udara, hingga membuat angin seolah bergerak ke dua arah sekaligus. Pertemuan di titik-titik tertentu menyebabkan benturan, sehingga adakalanya tampak ayunan dahan dan daun seperti tertahan sesaat, lalu tiba-tiba terhempas pasrah ke satu arah yang daya embusnya lebih kuat.
Di atas pucuk pohon tertinggi, Eyang Pamekas mengantar kepergian murid tunggalnya dengan pandangan yang sedikit berkaca-kaca.
"Mudah-mudahan Sang Hyang Acintya berkenan menerima penebusanmu, Cah Bagus. Dewi Nilam, Raden Panji Buana, putra kalian sudah besar dan luar biasa."
Senyum di antara kerut dan raut sedih tidak memudarkan makna bangga yang terkandung. Ya, tentu saja pria tua itu bangga karena sudah berhasil melindungi Bumirang dari bayangan maut yang telah mengincarnya sejak masih dalam kandungan.
Sekarang, setelah bocah yang dia namai Bumirang Tunggak Jagad itu dewasa dan mendapatkan bekal yang cukup, sudah waktunya unjuk diri untuk menghadapi segala tantangan dalam hidup. Ada takdir yang harus Bumirang genapi, ada kutukan karmaphala yang harus dikikis. Jalannya tidak akan mudah sama sekali, tetapi selama hatinya tetap bersih segala kesulitan akan bisa diatasi.
Melangkah setapak demi setapak dan menikmati setiap pijakan, maksudnya adalah jangan terburu-buru. Jarak antara puncak gunung dan desa terdekat biasanya mampu Bumirang tempuh hanya dalam waktu beberapa puluh kali kedipan mata. Namun sekarang, ketika mata langit penguasa siang sudah semakin condong ke peristirahatan, dia masih melangkah di antara banyak pohon dan rimbunnya semak belukar.
Perasaan tidak familier tiba-tiba menyelinap, pemuda itu pun menghentikan langkah, lalu mematung. Hanya bola matanya saja yang bergerak, bergulir ke sana kemari memperhatikan sekitar dari sudut pandang yang sangat terbatas.
Wilayah pegunungan dan sekitar bisa diibaratkan sebagai taman bermain Bumirang sejak kecil, karena Eyang Pamekas menggunakan seluruh area itu sebagai tempat berlatihnya. Namun, ini untuk pertama kalinya dia berada di lingkungan rimbun dan penuh kabut yang tidak mengizinkan sinar matahari masuk.
Kabut ini----
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 131 Episodes
Comments
4wied
bahasa daerah mana nih (pengen tau)
2024-09-06
3
4wied
angin berhembus semilir,
2024-09-05
1
rajes salam lubis
mantap
lanjutkan
2024-08-08
0