Di dunia kumbang pelacak gaib, perintah detail sangat diperlukan karena mereka tipe makhluk pekerja yang tidak mau susah-susah menggali suatu informasi yang tidak dibutuhkan atau tidak diperintahkan. Yang paling signifikan adalah cara mereka menafsirkan sebuah perintah sangat berbeda dengan makhluk lain, dan secara alami memberi kesan bodoh.
Seandainya Bumirang hanya meminta si kumbang hitam untuk mengikuti dan lupa menentukan waktu untuk kembali, maka kumbang itu benar-benar hanya akan mengikuti. Terus mengikuti ke mana pun target pergi, dan bisa jadi tidak akan pernah kembali lagi padanya.
"Dengan senang hati." Kumbang hitam itu berujar riang, sepertinya benar-benar senang karena tenaganya dibutuhkan.
"Berhati-hatilah."
"Jurnak (pasti) ...."
Tepat setelah kumbang hitam itu menghilang dari telapak tangan Bumirang, suami-istri pemilik kedai datang dengan tergopoh-gopoh dari arah dalam.
"Anak muda, kamu tidak apa-apa, kan?" Si suami bertanya sangat cemas, padahal justru keadaannya sendiri yang butuh dicemaskan. Dahinya memar dan dari gestur tangan kanan yang selalu memegang lengan kiri, sepertinya bagian itu bermasalah. Dilempar kasar sejauh itu dan membentur dinding, justru sangat mengherankan kalau dia baik-baik saja.
"Tidak usah khawatir, aku tidak apa-apa, Ki. Soalnya tadi aku berpura-pura buta." Setelah itu, Bumirang terkekeh malu-malu sembari menggaruk pipi yang tidak gatal.
"Syukurlah, syukur. Syukurlah, Anak muda. Nyai tidak tau harus bagaimana jika kamu sampai kenapa-napa." Saking cemasnya, si istri pemilik kedai nyerocos sambil mengelus dada berkali-kali. Bumirang bisa merasakan ketulusan yang sangat dalam dari ucapan dan tindakannya. Perempuan itu lalu menambahkan, "Aden Kamandaka dulu tidak seperti itu. Tapi sejak sembuh dari sakit, tiba-tiba saja berubah seperti memiliki dua kepribadian. Kadang baik, kadang jahat dan sangat suka mengamuk."
"Sudah, Nyi. Itu bukan urusan kita, sebaiknya jangan bicara lagi. Kalau sampai Raden Liyep dengar bisa gawat urusannya nanti." Pria pemilik kedai wajahnya tampak semakin nelangsa saat mengatakan ini.
"Ya, ya, ya, itu benar. Jangan bicara, jangan bicara. Kita memang tidak seharusnya bicara." Cara bicara perempuan itu seperti orang yang mudah tertekan juga gampang panik, merepet cepat dengan gestur takut ada yang mendengar
Bumirang hanya tersenyum tipis melihat tingkah suami istri pemilik kedai itu. Dia sama sekali tidak berharap akan mendapatkan informasi apa pun dari mereka. Dan sekarang sudah waktunya untuk melanjutkan perjalanan.
"Oh iya, Nyai, Aki, aku hanya punya ini untuk menukar singkong kukus yang sangat lezat itu." Bumirang menyerahkan sebuah tabung kayu yang ukurannya tidak lebih besar dari jari jempol tangan, tutupnya terbuat dari seikat jerami yang dipadatkan dan dipangkas sangat rapi.
"Apa ini, anak muda?" Si perempuan menerima, lalu menatapnya dengan sorot mata penasaran.
"Ini adalah getah pohon tanpa daun atau yang biasa disebut pohon gundul."
"Apa?!" Keduanya berseru bersamaan dan sama-sama menatap Bumirang dengan mata melebar maksimal. Dalam hati pun mereka sama-sama mengira Bumirang pasti hanya bercanda.
Bumirang mengerti apa yang mereka pikirkan dan terkekeh ringan. "Itu hanya sebutan karena obatnya sangat manjur. Silakan dibuktikan. Oleskan ke dahi Aki yang memar."
Keduanya saling bertukar pandang, tersirat jelas keraguan di sorot mata mereka. Namun, si perempuan sepertinya lebih ingin membuktikan daripada hanya bertanya atau berasumsi tidak jelas. Dia mencabut tutup tabung, lalu menuangkan sedikit isinya yang berupa cairan kental sewarna madu ke ujung jari telunjuk. Aroma khas tumbuhan hutan samar-samar tercium.
"Jangan khawatir, oleskan saja, Nyai," ujar Bumirang saat melihat perempuan itu tampak tertegun.
"Aromanya segar." Perempuan itu menggumam sambil menatap suaminya, seolah meminta persetujuan.
"Dia bilang tidak apa-apa. Kalau tidak dicoba kita tidak bakal tau, kan, Nyi."
Akhirnya perempuan itu memberanikan diri mengoles cairan tersebut ke dahi suaminya. "Bagaimana rasanya?" tanyanya kemudian.
"Adem. Sejuk kayak air pagi dan," sejenak laki-laki itu termenung seperti tengah memastikan sesuatu, lalu melanjutkan, "nyerinya juga langsung hilang, Nyi." Wajahnya pun seketika berseri-seri.
"Memarnya juga langsung hilang." Perempuan itu berujar lirih dengan mata yang terus terpaku pada dahi suaminya. "Ini benar-benar ajaib."
"Apa itu sudah cukup untuk mengganti singkong yang sudah aku makan, Nyai?"
Perempuan itu menatap Bumirang dengan mata berkaca-kaca dan bibirnya bergetar. "Ini terlalu banyak. Kami tidak mempunyai barang berharga untuk menukar kelebihannya."
"Tidak perlu, Nyai. Kalian bisa menggunakannya untuk menolong orang lain karena obat itu serba guna. Wadahnya memang kecil, tapi itu sungguh tidak berarti apa-apa. Karena banyak atau sedikitnya isi tergantung dari besar dan kecilnya ketulusan hati kalian dalam menolong. Simpan baik-baik."
Saking senangnya, kedua orang itu sampai refleks meraih tangan Bumirang. Namun, Bumirang segera melepaskan diri saat mereka hendak mencium tangannya. Tidak pantas membiarkan yang lebih tua mencium tangan yang lebih muda.
Sebagai ungkapan terima kasih dari mereka, akibatnya saat meninggalkan kedai, isi buntalan kain Bumirang pun bertambah karena mereka memberinya makanan untuk bekal perjalanan.
Bumirang tersenyum tidak berdaya, setidak berdaya ketika dia terpaksa berdusta bahwa obat itu sesungguhnya bukan getah pohon tanpa daun. Padahal dia mengatakan yang sebenarnya, getah itu memang getah pohon tanpa daun, pohon yang keberadaannya hanya dianggap dongeng karena dikatakan bahwa pohon itu hanya terdapat di perbatasan dunia fana dan nirwana.
Sulit ditemukan bukan hanya karena tempat tumbuhnya yang mustahil didatangi, melainkan juga karena pohon tersebut hanya bersedia menampakkan diri pada orang-orang tertentu saja.
Sambil mengenang peristiwa di kedai barusan, kaki-kaki tangguhnya kembali melangkah perlahan menyusuri jalan desa yang sudah sepi. Dia menduga situasi ini pasti dampak dari amukan Kamandaka barusan. Dari kengerian yang tampak jelas di wajah bapak-bapak tadi, bahkan sampai tidak bisa berkata-kata, Bumirang bisa menyimpulkan bahwa Kamandaka adalah momok menakutkan bagi mereka.
Namun, Bumirang merasakan ada sesuatu yang tidak lazim bersarang di dalam tubuh pemuda itu. Sesuatu yang bisa menghalangi pandangan mata batinnya, tetapi tidak cukup mampu untuk membuat instingnya tumpul. Seperti yang dikatakan istri pemilik kedai, Kamandaka memang memiliki dua jiwa. Jiwanya sendiri dan Jiwa makhluk lain.
Sebelum melanjutkan perjalanan ke arah Gunung Ndapan, Bumirang berencana untuk membantu Kamandaka terlebih dahulu. Sekarang tujuan langkahnya adalah hutan terdekat, beristirahat sekaligus menunggu si kumbang kembali. Bagi Bumirang yang mengembara untuk melakukan banyak kebaikan sebagai salah satu upaya untuk mengikis karmaphala, segala permasalahan serta kesulitan yang dialami orang lain ibarat ladang sumber berkah. Dia tentu saja tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas itu.
Dengan menolong orang lain, itu berarti dia juga telah menolong dirinya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 131 Episodes
Comments
Amelia
adab yg bagus...👍👍
2024-09-13
0
4wied
habis sudah diborong semua..../Sleep//Sleep/
2024-09-06
1
rajes salam lubis
lanjutkan
2024-08-08
0