Bulan yang menggantung di langit itu telah melewati paripurna dan tengah menuju fase pudar. Cahayanya akan semakin benderang saat nanti dini hari tiba, sedangkan sekarang masih redup, tetapi masih mampu menerangi mayapada, dan sebelum cahaya itu benar-benar mencapai pudar, Bumirang tidak boleh berhenti melangkah meski sekadar melepas lelah.
Di setapak belantara kaki-kaki tangguh melangkah ringan, menjelajah tenangnya dalu yang tak terusik oleh nyanyian serangga, tetapi uhu suara burung hantu cukup menghadirkan resah. Menatap langit, pemuda itu bisa merasakan sesuatu yang sangat samar mengalir di udara beresonansi dengan jiwanya. Entah apa, tetapi cukup untuk membuat dadanya berdebar-debar.
Namun, kegelisahan yang tidak jelas asal-muasalnya itu tidak lantas membuat ayunan kakinya goyah ataupun ragu. Bumirang tahu betul apa yang akan dihadapi ketika Eyang Pamekas telah memutuskannya untuk turun gunung. Jadi, dia pun sudah siap lahir batin.
Akan ada saatnya goda datang dan merayumu untuk abai terhadap ketetapan dan tujuan. Jangan hiraukan. Tapi juga akan datang saat di mana kamu harus menyerah jika menyangkut kebajikan yang lebih besar. Bijak-bijaklah mengambil keputusan.
Begitulah Eyang Pamekas berpesan dan Bumirang sangat mengerti maksudnya. Bibir pemuda itu pun melengkung tipis dan ketika kembali menatap ke depan, tersirat tekat yang kuat.
"Aku tidak bisa mencegah kamu datang, tapi kamu juga tidak akan bisa memaksaku untuk mengikutimu." Dia bergumam, berbicara pada gelisah yang menggerayangi jiwa, tengah berusaha membuat tekad serta langkahnya goyah.
Tidak Bumirang sadari bahwa setelah dia mengucapkan kalimat tersebut, setiap entakan langkahnya menciptakan getaran yang secara ajaib mampu merambat sampai ke tempat yang sangat jauh. Tempat di mana pucuk-pucuk atap istana Kerajaan Jagat Kawiwitan tampak menghitam di latar ilam-ilam.
Silir angin menebas hampa, melaju tenang membawa serta dedaunan yang telah rapuh, lalu mencampakkannya di permukaan air yang memantulkan semarak langit bertabur bintang.
Sungai luas dibangun melingkari istana, bertindak sebagai batas antara bangsawan dan rakyat jelata---tidak segan mempertontonkan kesenjangan---juga sebagai tameng agar sang raja yang menderita kegelisahan bisa merasa aman juga bisa tidur lelap. Namun sayangnya, sungai itu tidak mampu menghalangi hantu mimpi datang untuk mengusik.
Tubuh Prabu Danur Kawiwitan yang terbaring sendirian di atas pembaringan beralas sutra keemasan tiba-tiba mengejang. Mata yang terpejam pun berkerut, dahi mengernyit dan mulai berpeluh. Bahkan tarikan napas juga mulai ngos-ngosan.
Di alam mimpi, sepasang kaki raksasa tanpa tubuh mengejar, Prabu Danur Kawiwitan berlari tunggang langgang untuk menghindar. Sambil sesekali menoleh mempertontonkan wajah pucat penuh kengerian, tubuhnya pun kerap terhuyung-huyung karena tersandung bebatuan atau tersangkut akar.
"Waktumu hampir tiba, durjana. Mautmu sedang dalam perjalanan."
Suara tanpa rupa menggaung di udara, memantul saling bersahutan seperti gelombang dahsyat tak kasatmata yang tidak hanya mengejar, tetapi juga menghadang. Seperti menabrak pegas, tubuh Prabu Danur Kawiwitan tiba-tiba terpental mundur, lalu kembali terpental ke depan.
Kaki tidak mampu berpijak dengan benar, akhirnya tubuh Prabu Danur Kawiwitan pun ambruk dengan lutut menapak pijakan penuh kerikil tajam.
"Aaarrrggghhh!" Lolong memilukan seolah mengoyak kesunyian padang lapang tanpa pepohonan. Benar-benar tidak ada satu pohon pun, tetapi akar-akar besar ada di mana-mana. Alih-alih rumput maupun pasir, sejauh mata memandang hanya ada batu kerikil tajam berserak di antara akar.
"Dia yang lahir dari satu-satunya perempuan dalam silsilah adalah pilihan jagat. Cari dia, buru, bunuh sebelum terbunuh ...."
"Lihatlah dirimu, Danur. Menyedihkan."
"Dia pemuda yang luar biasa. Wahyu agung ada di dalam dirinya, bersinar terang dan tajam seperti mata rajawali."
"Dia akan datang membalas dendam."
"Dia akan menumpahkan darahmu."
"Dia adalah sejatinya penguasa Jagat Kawiwitan."
Suara mereka---orang-orang yang telah ditumpahkan darahnya demi takhta---saling bersahutan, kemudian serentak terbahak-bahak.
"Bunuh atau dibunuh ...."
"Bunuh atau dibunuh ...."
"Bunuh atau dibunuh ...."
Suara-suara itu menyakiti telinga sang prabu. "Hentikaaan!" Sambil meraung, dia menutup telinganya menggunakan tangan. Namun, seperti batas tipis nan rapuh yang tidak berguna, suara-suara itu tetap terdengar nyaring hingga membuatnya tak lagi sanggup berlutut dan akhirnya bersimpuh rebah.
"Hentikaaan!"
Berbanding terbalik dengan alam bawah sadar, setelah meraung, tubuh sang prabu yang semula berbaring itu tiba-tiba bangun dan langsung duduk. Mata menatap nanar, tetapi kosong---peluh bercucuran tidak dihiraukan---napasnya ngos-ngosan sampai bersuara seperti binatang mendengus.
Selama ini, mimpinya selalu di tempat yang sama, tetapi belum pernah ada sepasang kaki yang mengejar, juga suara-suara yang memberinya petunjuk tentang siapa pembawa maut yang akan menjadi musuh terbesarnya. Musuh yang diramalkan ketika dia datang merupakan saat kehancurannya.
Nilam.
Satu nama melintas dan tiba-tiba saja seperti tercipta ruang di dalam jiwanya yang selama ini selalu terasa penuh dan sesak. Embusan napas panjang kemudian menjadi bukti bahwa hatinya merasa lega sekarang, sampai-sampai tanpa sadar menyeringai. Lega karena sudah mengetahui apa dan siapa yang harus disingkirkan. Namun masalahnya ....
Seringainya seketika sirna dan kelegaan pun hanya sesaat melipur. Meskipun telah mengetahui siapa pembawa mautnya, tetapi di mana dia? Bagaimana cara menemukannya? Ibarat mencari sebutir pasir dalam sekam, sang prabu harus mengaduk-aduk Jagat Kawiwitan untuk menemukannya.
Tidak peduli. Apa pun pasti dilakukannya untuk mencegah pembawa maut itu datang padanya. Bunuh atau dibunuh.
Ketika kehadiran sang pembawa terang mayapada masih seperti harapan yang mustahil untuk digapai, Prabu Danur Kawiwitan sudah duduk di singgasana dan para penggawa hadir di lantai bersila menyimak uar-uarnya.
[Kalimat keseluruhan yang diitalik adalah idiom untuk matahari yang baru muncul di ambang fajar. Muntup-muntup, mengintip, sudah terang tapi bentuk matahari belum tampak]
"Bangun benteng di tepi luar sungai dan tinggikan yang di tepi dalam. Utus orang-orang kalian turun ke pelosok-pelosok untuk mengumumkan sayembara. Siapa pun yang bisa menemukan Dewi Nilam dan Raden Panji, akan diberi imbalan satu kantong emas dan diberi jabatan tinggi di kerajaan."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 131 Episodes
Comments
4wied
gw rasa si author ini sering menulis naskah drama, kesan membaca cerita di awal layaknya sinopsis sebuah karya drama. salut dan bagus
2024-09-06
1
Dragon🐉 gate🐉
riak memudarkan bayangan, sesaat namun kembali jernih, semilir membawa pergi resah di hati..
2024-08-28
1
rajes salam lubis
lanjutkan
2024-08-08
0