Redup sinar bulan terhalang rimbunnya daun, malam yang seharusnya remang-remang pun tenggelam sepenuhnya di dalam pekat. Di atas batu besar, Bumirang duduk bersila, bersemadi, mengosongkan pikiran untuk menyatu dengan alam.
Duduk tegak setenang batu karang kemampuan panca indranya meningkat pesat hingga mencapai level supranatural. Mata batinnya mampu melihat menembus pekat maupun padat. Jika dia mau, jangkauan pandang pun bisa tidak terhingga, tetapi hal semacam itu belum pernah dilakukan karena sampai sekarang belum ada hal yang memberinya alasan untuk menggunakan kemampuan pada level tersebut.
Dengan kemampuan supranatural yang dimiliki, Bumirang sebenarnya tidak membutuhkan bantuan kumbang pelacak untuk mendapatkan informasi. Namun, ada kalanya dia harus menjadi lebih rendah hati. Dia bukan Sang Pencipta yang mengatur roda kehidupan manusia. Jadi, tidak boleh seenaknya menggunakan semua anugerah yang diberikan karena ada batas-batas tertentu yang tidak boleh dilanggar.
Tadi dia tidak memaksakan diri untuk menembus saat mata batinnya terhalang oleh kabut ketika hendak menerawang ke dalam jiwa Kamandaka, bukan karena tidak mampu. Bila mau, menghancurkan kabut itu bukanlah hal yang sulit. Namun, karena sejak kecil sudah diajarkan untuk bersikap lebih bijak dalam menyikapi suatu keadaan yang sifatnya istimewa, naluri Bumirang pun secara alami akan menuntun.
Pemilik kabut itu kemungkinan besar terhubung langsung dengan inti emas jiwa Kamandaka. Menghancurkannya sama juga dengan membunuh Kamandaka. Bumirang tidak mau mengambil risiko, makanya lebih memilih cara manual, yaitu mengandalkan kemampuan kumbang pelacak untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Kresak
Suara daun saling bergesekan bukan karena ditiup angin. Malam ini alam seperti tidak bernapas, udara begitu tenang. Jadi hanya ada satu kemungkinan daun-daun itu bergoyang dan menimbulkan suara berisik.
Bumirang mengarahkan pandangan ke atas sebuah pohon besar tidak jauh darinya, benar saja di situ ada dua siluman laba-laba betina sedang saling mendorong sambil berdebat siapa yang lebih pantas menjadi kekasihnya.
Konyol, Bumirang tersenyum dalam hati, lalu penglihatannya menjelajah lebih jauh. Di bagian hutan yang lebih dalam, di dalam ceruk batang pohon, seekor burung hantu tengah bersenandung lembut sambil mendekap anak-anaknya yang tengah tidur. Juga ada seekor ular besar keluar dari gua, merayap perlahan di antara rumput dan semak belukar.
Hutan yang orang-orang pikir juga tidur tenang di malam hari, sebenarnya justru lebih hidup dan semarak karena di sana tinggal banyak makhluk yang konsep hidupnya berlawanan dengan konsep dan pola hidup manusia. Mereka adalah makhluk-makhluk dari dunia lain.
Bumirang memaku pandang pada hiruk-pikuk pasar gaib yang tengah berlangsung, tetapi tiba-tiba kabut tebal datang mengurungnya. Buana Ilam-ilam. Segera setelah dia melafalkan nama itu di dalam hati, sebuah kerajaan megah yang diselimuti oleh kabut tebal melintas.
Bumirang bisa melihat dua pilar besar, tinggi dan bersepuh emas menyangga atap pintu gerbang yang dijaga oleh dua kera raksasa bersenjatakan gada dan tombak. Apa pun yang berada di dalam Buana Ilam-ilam, bergerak perlahan melintas, seperti asap menembus apa pun yang dijumpai.
Di salah satu menara istana, Bumirang melihat seorang pria dan seorang perempuan mengenakan pakaian kebesaran raja dan ratu, berdiri di balkon menatap ke arahnya, lalu menunduk dan mengucap salam bersamaan, "Astu satya, Bumirang kekasih jagat."
"Astu satya, Ki Ageng Galunggung. Astu satya, Nyai Ageng Lereng."
[Astu satya :Salam sejahtera]
Setelah itu, ketiganya hanya saling menatap dan bertukar senyum teduh sampai negeri dunia kabut itu menghilang seutuhnya.
Pada dasarnya, tanpa perkenalan pun Bumirang telah mengetahui nama-nama penguasa Buana Ilam-ilam dari kisah-kisah dongeng yang diceritakan Eyang Pamekas. Waktu masih kecil, dia mengira bahwa semua kisah itu sungguh-sungguh hanya dongeng belaka. Akan tetapi, semakin beranjak dewasa serta mendapati makhluk-makhluk ajaib dalam kisah dongeng itu ternyata eksis di mayapada, bahkan dia juga bersahabat dengan beberapa dari mereka, Bumirang pun yakin bahwa semua yang diceritakan Eyang Pamekas adalah kisah yang benar-benar nyata.
Kisah persahabatan Prabu Jagad Kawiwitan dengan para makhluk gaib yang membantunya membangun kerajaan hanya dalam waktu satu pekan, adalah contoh kisah nyata yang diakui Eyang Pamekas sebagai cikal-bakal berdirinya Kerajaan Jagat Kawiwitan ini.
Dalam semua kisah yang diceritakan, Eyang Pamekas seperti memiliki tendensi terhadap kisah berdirinya Kerajaan Jagat Kawiwitan beserta silsilah keturunan keluarga kerajaan. Bahkan ketika Bumirang sudah dewasa, Eyang masih kerap mengingatkan bahwa ini begini dan itu begitu seolah berpesan hal-hal tersebut harus benar-benar disematkan dalam hati dan pikiran.
Hmmm ....
Cuping telinga Bumirang berkedut. Ada dengungan halus sampai di pendengaran dan dia mengenalinya.
Wawong. Ini adalah nama si kumbang pelacak. Kenapa sudah kembali?
"Bumirang, beraman! Beraman!" Sosoknya masih jauh, tetapi suara sudah terdengar. Bukan karena si kumbang berteriak, melainkan karena pendengar Bumirang yang sangat tajam.
[Beraman: Berbahaya/bahaya/
"Saeh pina? Pina tuh beraman?" Suara Bumirang pun merambat dalam hampa dan hanya Wawong yang bisa mendengarnya.
[ Saeh: ada | Pina: apa | tuh: yang]
"Kamandaka mengamuk. Dia menghancurkan semuanya. Romo sama biyungnya hangus terbakar terkena sabetan cambuk api! Semua terbakar!"
"Cambuk api? Cepat kembali...."
"Dengan senang hati! Agiugi, Bumirang!"
[Agiugi: cepatlah/ayo cepat]
"Salwe sikak, Wawong." [Terima kasih]
"Nettap-nettap, Bumirang!" [Nettap-nettap: hati-hati]
Seketika itu juga tubuh Bumirang lenyap dari atas batu. Bumirang tidak ragu untuk kembali ke desa meskipun itu berarti harus berbalik dari arah tujuan. Situasi mendesak yang terjadi di luar dugaan, tidak akan membuatnya dihitung telah melanggar pantangan.
Suara gemeretak kayu terbakar api memecah hening, berkobar memerahkan malam---melalap bangunan yang seluruhnya terbuat dari kayu dengan sangat cepat. Asap hitam pun bergulung-gulung membumbung ke angkasa.
Dua keuntungan dari situsai itu adalah, rumah yang terbakar letaknya cukup jauh dari rumah warga lain dan angin tidak berembus, sehingga lidah api yang menjilat-jilat itu tidak terombang-ambing dan percikannya tidak terbang jauh.
Di antara atmosfer mencekam yang seolah melumpuhkan, sebenarnya ada banyak kehidupan yang terjaga, napas-napas mereka tertahan, pandangan penuh kengerian mengintip dari sela-sela dinding papan. Namun, tidak ada satu pun yang berani keluar dari rumah. Karena ....
"Lepaskan aku! Aku mohon lepaaas!"
Di halaman belakang rumah yang seluas lapangan, Kamandaka tengah berteriak-teriak sembari mengayunkan cambuk api yang digenggam di tangan kanan, sedangkan tangan kiri menggenggam pergelangan tangan kanan erat-erat, seperti tengah menahan pergerakannya.
"Aku tidak mau lagi menjadi budakmu! Lepaskan aku!"
Kamandaka jatuh bersujud, tetapi segera setelahnya tiba-tiba tangan yang memegang cambuk terangkat. Seolah ditarik oleh kekuatan yang tidak kasatmata, dia dipaksa kembali berdiri dan diseret, membuatnya melangkah serampangan juga tersaruk-saruk.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 131 Episodes
Comments
rajes salam lubis
mantaaap
2024-08-08
0
rajes salam lubis
ajiibb
2024-08-08
0
Ze Eaze
Jadi pengen juga, sayangnya gak dibolehin keluar malam-malam sama mbah🥲. Padahal suasana malam di alam gini tuh ademnya ... tenang, dan nyaman.
2024-06-02
3