Malam harinya Bayu mengantar Tuan Wisnu dan Anna pulang. Tuan Wisnu sibuk dengan percakapannya dengan Anna, sedangkan Bayu sendiri hanya terdiam memikirkan tugas yang harus ia emban.
Aku harus mulai dari mana, ya?
Bayu lalu teringat dengan ucapan Arin yang berhasil membuat Anna tak bisa berkutik. Juga dengan foto keluarga mereka yang membuatnya berkaca-kaca hingga menitikkan air mata.
Mungkin dari sana.
Bayu berhasil menemukan titik terang.
Apa orang-orang yang pergi di sekitar gadis kasar itu ibunya? Karena berdasarkan foto itu yang tidak ada hanya ibunya. Ayahnya dia 'kan Tuan Wisnu, dan ada di sini. Atau mungkin ada orang lain lagi, ya?
Rupanya Bayu tak luput dari perhatian Tuan Wisnu. Walaupun terlihat asik dengan Anna, tapi sebenarnya dia diam-diam mengamati Bayu yang tampak sedang memikirkan sesuatu. “Bayu, kau baik-baik saja? Kau terlihat sedang memikirkan sesuatu. Apa ada masalah?” tanya Tuan Wisnu.
Bayu menatap Tuan Wisnu dari kaca spion.
Masalahku adalah putrimu. Tapi Mana mungkin aku mengatakan itu di depan orangnya.
“Bayu!” panggil Tuan Wisnu lagi karena tak mendapat jawaban. Seketika itu Bayu pun tersadar.
“Saya tidak apa-apa, Tuan. Mungkin hanya kelelahan saja.” jawab Bayu sambil tersenyum. Ia menatap Tuan Wisnu dari kaca spion, dan jangan lupakan Anna yang memasang wajah cemberut ketika melihatnya. Anna lalu memainkan ponselnya untuk mengalihkan perhatiannya.
“Syukurlah kalau begitu.” Tuan Wisnu merasa lega mendengarnya.
Tiba-tiba Anna mendekati ayahnya dan menunjukkan sesuatu dari ponselnya. Sebuah foto mobil sport yang terlihat mewah namun tetap elegan, berwarna merah dan memiliki harga yang fantastik. “Ayah, bolehkah aku membeli ini?” tanya Anna dengan wajah memohon.
“Mau ke mana dengan mobil itu? Ayah sudah mempekerjakan sopir untukmu. Dia bisa mengantarmu ke mana pun.” tutur Tuan Wisnu. Dia cemas jika Anna menyetir mobil sendiri, takut terjadi sesuatu pada putri semata wayangnya itu. “Lagi pula, bukankah di rumah juga ada mobil?" tambahnya.
“Aku tidak suka pakai sopir. Aku ingin menyetir sendiri, Ayah ... Mobil di rumah itu terlalu kuno untuk anak muda sepertiku.” rengek Anna seperti anak kecil dan tak mau kalah.
Sementara Bayu hanya memperhatikan tingkahnya tersebut.
“Tapi, Sayang ... "
“Bukankah Ayah sudah berjanji, akan membelikanku setelah lulus kuliah? Apa Ayah melupakannya?” Anna yang kesal pun menjauhi ayahnya dan memalingkan muka ke kaca mobil. Wajah tampak cemberut dan tak enak dipandang.
Sekali lagi Bayu hanya memperhatikan tingkah Anna. Namun tanpa terasa kedua sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman.
Gadis manja!
Tapi kenapa wajahnya jadi terlihat menggemaskan begitu?
Tuan Wisnu menghela napas panjang. Ia lalu menepuk bahu Anna pelan. “Baiklah... Lakukan apa pun yang kau mau.” Tuan Wisnu pun mengalah. Dia terlihat sangat menyayangi putrinya tersebut.
Anna lalu menatap ayahnya kemudian tersenyum bahagia. Dia lalu kembali mendekat pada ayahnya kemudian memeluknya erat. “Terima kasih, Ayah.”
Tuan Wisnu mengusap punggung Anna lalu ikut tersenyum juga. Sementara Bayu yang sejak tadi memperhatikan mereka kini mulai berkomentar. Namun hanya terucap di dalam hati tentunya.
Aku rasa Tuan Wisnu terlalu menuruti permintaanya. Mungkin itu juga salah satu pemicu kenapa sikapnya jadi manja dan kekanak-kanakan.
Tatapan Bayu lalu tertuju pada Anna yang terlihat bahagia sekali.
*Apa dia selalu begitu?
Dia tersenyum hanya di depan ayahnya. Sementara di depan orang lain, hanya memperlihatkan wajah jutek dan ketus. Apalagi jika di depanku, tambah satu lagi yaitu sinis.
Tapi, lihatlah senyuman itu! Bukankah terlalu manis*.
Bayu ikut-ikutan tersenyum melihat Anna.
Sesampainya di rumah Anna langsung bergegas naik tangga menuju kamarnya. Tuan Wisnu lalu melepaskan jasnya dan hanya memandangi Anna dari belakang. Seperti ada yang ingin dia katakan namun ragu-ragu.
“Anna!” panggil Tuan Wisnu membuat Anna berbalik.
Tuan Wisnu hanya diam dan saling berpandangan dengan Anna. Lidahnya terasa kelu untuk menyampaikan hal itu. Dia bingung harus bagaimana mengatakannya.
Anna heran melihat ayahnya. Dia yang memanggil namun sekarang malah diam membisu menatapnya. “Ada apa, Yah? Apa yang ingin Ayah sampaikan?”
Tuan Wisnu masih menatap putrinya.
“Istirahatlah!” hanya kata itu yang terucap.
“Baiklah. Ayah juga istirahat.” Anna tersenyum dan Tuan Wisnu hanya mengangguk sekilas. Anna kembali berbalik dan melangkah naik. Namun baru beberapa anak tangga ia lalui, Tuan Wisnu kembali bersuara.
“Ibumu tadi menghubungi Ayah.” Langkah Anna pun seketika terhenti. Dia terdiam cukup lama di tempatnya. Matanya mulai memanas dan berkaca-kaca lagi. Satu tangannya menggenggam erat pegangan tangga.
“Dia di Jakarta sekarang." ujar Tuan Wisnu namun Anna masih diam dan tak berbalik. "Tidak bisakah kau menemuinya? Dia sangat ingin bertemu denganmu.” Tuan Wisnu berbicara dengan sangat hati-hati.
Anna masih tak bergeming. Air matanya pun mengalir begitu saja, namun segera ia seka.
“Ayah masih berhubungan dengannya rupanya. Kalau begitu katakan padanya, sampai kapan pun aku tidak akan pernah menemuinya.” tegas Anna.
“Tapi Anna ... Walau bagaimana pun dia tetap ibumu. Temuilah walau hanya sebentar.” bujuk Tuan Wisnu.
“Cukup Ayah!” sentak Anna. “Berhenti membujukku! Aku tidak akan pernah menemuinya, dan jangan berusaha untuk mempertemukan kita. Jika itu sampai terjadi, aku akan membenci Ayah sama seperti aku membencinya.” tegas Anna lagi. Setelah itu ia melangkah naik tanpa menoleh sedikit pun pada ayahnya.
Tuan Wisnu menghela napas panjang. Ia lalu duduk di kursi dengan wajah yang tertunduk Kedua tangannya ia letakkan di belakang kepala.
Sampai di kamar Anna langsung mengunci pintunya. Dia menangis namun tak bersuara. Anna menyandarkan tubuhnya pada pintu sembari terus menangis. Perlahan tubuhnya pun luruh ke lantai. Anna menangis tersedu-sedu meluapkan emosinya.
......................
Beberapa hari kemudian Anna sudah kembali ceria. Dia sedang mencoba mobil barunya di jalanan. Anna terlihat sangat bahagia, sesekali juga dia menjulurkan tangannya ke luar.
Sementara Bayu sendiri berada di rumah Tuan Wisnu saat ini. Mengetahui Anna tidak ada di rumah, ia tidak sungkan untuk masuk ke dalam. Dia duduk di ruang tamu sambil memeriksa pekerjaannya.
Tak berselang lama Bu Sari datang dengan seorang pelayan yang membawa minuman. “Silahkan diminum, Pak.”
“Terima kasih, Bu.” sahut Bayu tersenyum lalu mengambil secangkir teh yang dibawakan Bu Sari.
Bu Sari dan pelayan itu lalu berniat pergi.
Bayu tampak berpikir sejenak. Setelah itu ia memanggil Bu Sari kembali. “Bu Sari, apa bisa bicara sebentar?” tanyanya.
Bu Sari menoleh lalu menyuruh pelayan yang bersamanya untuk pergi lebih dulu. “Apa yang ingin Anda bicarakan, Pak?”
“Tidak perlu bersikap sopan, Bu. Dan tolong jangan panggil aku dengan sebutan Pak lagi. Aku rasa tidak setua itu. Sudah cukup orang di kantor memanggilku begitu” ucap Bayu sedikit kesal.
Bu Sari terheran melihatnya. “Lalu saya harus memanggil apa? Anda bahkan menolak dipanggil Tuan.” seketika Bu Sari menyadari sesuatu. “Ah, saya baru sadar. Tentu saja Anda menolak dipanggil Tuan.”
Bayu kemudian tersenyum senang.
“Pasti Anda berpikir kalau saya menyamakan Anda dengan Tuan Wisnu.” Bayu mengangguk sembari tersenyum.
“Harusnya Anda memberitahu saya. Saya tidak akan menyamakan Anda dengan Tuan Wisnu lagi. Baiklah ... Mulai sekarang saya akan memanggil Anda dengan sebutan Tuan Muda.”
Seketika raut wajah Bayu berubah kesal mendengarnya. Ia menunduk dan mengusap kepalanya dengan kasar. “Bukan itu maksudku.” Bayu berdecak kesal. Sementara Bu Sari semakin bingung dibuatnya.
“Panggil nama saja tidak apa-apa.” ucap Bayu.
"Tapi ... " Bu Sari merasa tidak nyaman memanggilnya begitu. Namun setelah melihat raut wajah Bayu yang semakin kesal, akhirnya ia menuruti. “Baiklah, Nak Bayu.” ucap Bu Sari canggung.
“Itu lebih baik.” sahut Bayu tersenyum senang. Kembali pada pokok pembicaraan mereka. Ia lalu menatap Bu Sari serius.
“Bu Sari sudah lama bekerja di sini?”
“Iya, Nak. Memangnya kenapa?” Bu Sari merasa heran dengan pertanyaan Bayu. Sementara Bayu diam beberapa saat memikirkan sesuatu.
*Tidak mungkin aku menanyakan langsung pada Tuan Wisnu, kan? Mungkin Bu Sari bisa memberiku jawaban*.
“Bu Sari pasti tahu awal perubahan sikap gadis kasar itu?” melihat raut wajah Bu Sari yang tampak bingung, Bayu pun segera meralatnya. “Maksudku Anna. Apa dari lahir sikapnya sudah begitu?”
Bu Sari bingung harus menjawab apa. Dia merasa tidak enak membicarakan putri majikannya.
“Ayolah Bu... Aku hanya ingin tahu, tidak ada maksud apa-apa.” bujuk Bayu. Namun kelihatannya itu semakin membuat Bu Sari bingung.
“Saya janji tidak akan memberi tahu siapa pun jika Bu Sari yang mengatakannya padaku.” ucap Bayu berusaha meyakinkannya.
Bu Sari menatap bola mata Bayu untuk mencari kebohongan di sana. Tapi yang terlihat justru kejujuran.
“Baiklah Nak. Tetapi saya tidak tahu persisnya, saat itu usia Nona Anna baru 4 tahun. Tuan Wisnu membawanya ke rumah ini setelah kepergian kakeknya Nona. Ketika itu dia kelihatan sangat murung dan pendiam. Tidak ada yang mampu mendekatinya, bahkan Tuan sendiri kesulitan. Saya juga sering melihatnya menangis dengan memandangi sebuah foto.” Bu Sari menjelaskan menurut sepengetahuannya.
Bayu tampak serius mendengarkannya. Ia lalu mulai berpikir tentang foto. Ingatannya kembali pada saat Anna berada di ruangan Tuan Wisnu. “Apa mungkin itu foto ibunya?” tebak Bayu.
Bu Sari sedikit terkejut mendengarnya.
“Iya, kau benar.”
Bukan suara Bu Sari yang menjawabnya. Bayu dan Bu Sari lalu mencari sumber suara itu yang ternyata adalah Tuan Wisnu. Mereka terkejut melihatnya.
Bu Sari memilih untuk pergi dengan perasaan yang sedikit takut. Sementara Bayu langsung berdiri sambil menundukkan wajahnya. Suasana terasa begitu mencekam di antara keduanya. Tak ada suara, hanya keheningan. Bayu menatap Tuan Wisnu yang berada di depannya. Namun ternyata Tuan Wisnu masih memandanginya dengan tatapan yang tak biasa. Seketika itu ia kembali menunduk.
......................
Jika kalian menyukai ceritanya, tolong berikan like ya. Simbiosis mutualisme. Oke 👍
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments