🦋🦋🦋
Sesampai di kafe, mobil yang tadi aku lihat di seberang jalan terparkir di tepi jalan di tepi kafe. Turun dari ojek online, aku menghampiri mobil itu, memperhatikannya lebih dekat untuk memastikan kalau mobil itu memang mobil tadi. Tidak, banyak orang di kota ini yang memiliki mobil seperti itu.
Kuabaikan keberadaan mobil itu, lanjut memasuki kafe dengan menyapa beberapa teman-teman yang bekerja.
"Untung saja kamu datang. Layani Bapak itu, kami tidak bisa menghadapinya. Hanya orang yang sabar sepertimu yang bisa menghadapinya. Baru datang, wajahnya sudah sangar begitu," kata Laras kepadaku.
Ku perhatikan pria berjas hitam yang duduk di bangku di sudut sisi kanan kafe.
"Bapak itu baru pertama kali ke sini?" tanyaku dengan suara kecil.
"Kan aku sudah bilang, kami tidak bisa menghadapinya. Berarti, dia sudah pernah datang ke sini sebelumnya," terang Laras dengan kesal yang kubalas dengan senyuman.
Aku mengambil nampan yang disodorkan Laras, membawa nampan itu ke hadapan pria paruh baya berbadan sedikit gemuk yang duduk di takuti oleh teman-temanku itu.
"Lama sekali. Kalian mau makan gaji buta di sini?" Benar saja, baru bertemu dan belum sempat menyapa, mentalku sudah dipukul olehnya.
"Maaf, ya Pak ... karena ramai, kami sedikit sulit untuk menambah kecepatan ekstra mengantarkan pesanannya kepada Bapak. Sebagai kompensasi, saya kasih ini." Aku mengeluarkan permen asem dari saku celanaku yang biasa aku bawa sebagai teman penyegar mulut.
"Ini apa?" tanya pria itu, menatap dua permen, rasa lemon dan rasa nanas yang ada di tanganku. "Kamu pikir saya anak kecil yang bisa dibujuk menggunakan permen?"
"Bapak memang bukan anak-anak. Tapi, tidak ada juga larangan bagi orang dewasa untuk makan permen. Coba saja, setelah makan," kataku dengan berusaha tersenyum dan ramah.
Pria itu mengambil permen yang rasa nanas, hanya mengambil satu. Sikap bapak tadi membuatku ingat kak Radek, kami juga pernah berdebat mengenai permen dan pria itu mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan bapak ini.
'Permen itu hanya untuk anak-anak.'
'Ya sudah. Jangan ambil.'
'Baiklah. Aku ambil rasa nanas, aku suka rasa ini.'
Bibirku tersenyum mengingatnya.
"Kamu kenapa? Gila?" tanya si bapak.
Kata-kata yang keluar dari mulut bapak ini memang hot, menyembur membakar seluruh tubuhku.
"Tidak. Aku ingat Kakakku, dia juga suka permen rasa nanas. Pokok, makanan yang berhubungan dengan nanas disukainya. Maaf, kaki Bapak kenapa?" tanyaku melihat tongkat bersandar di kaki kiri bapak itu.
"Saya pernah dibegal, hal itu menyebabkan cedera di kaki kiri saya. Istri saya juga meregang nyawa dalam kejadian malam itu," cerita si bapak dengan wajah murung tanpa menatap mataku, pandangnya mengarah ke permen yang ada di tangannya.
Aku duduk di bangku yang ada di sampingnya.
"Istri Bapak pasti bahagia di surga ketika melihat Bapak tersenyum. Hmm ... kelihatannya Bapak tampan juga." Sengaja aku mengatakan itu untuk membuat bapak itu melepaskan wajah murungnya.
"Dasar bocah," cercah bapak itu, tersenyum.
"Kan ... Bapak bertambah cakep saat tersenyum," pujiku.
Senang rasanya bisa menghibur orang lain. Aku hanya tidak pandai menghibur diri sendiri. Ketika aku menyuruh orang lain tersenyum dan bahagia, aku lupa menyuruh diriku melakukan hal yang sama.
"Pertahankan senyuman tadi," kata bapak itu melihatku diam dengan senyuman memudar karena mengingat masalah yang aku hadapi saat ini.
"Terima kasih, Pak. Kalau begitu, selamat menikmati. Saya kembali bekerja," pamitku sambil berdiri.
"Tunggu!" Pria itu mengeluarkan sesuatu dari saku kemejanya. "Ini milik mendiang istri saya. Bisa kamu simpan?" tanya bapak itu, membuatku kaget dan bingung menerima tanggung jawab itu, apalagi dari orang yang tidak aku kenal.
"Maaf, Pak. Saya tidak bisa menerima tanggung jawab itu," tolakku dengan sopan.
"Simpan saja." Pria itu menaruh kalung itu ke tanganku dan memanduku menggenggamnya. "Jaga baik-baik," ucap Bapak itu dengan senyuman.
Aku hanya bisa menerimanya, meskipun masih bingung harus bersikap bagaimana lagi. Aku menghampiri Laras yang memujiku bisa berinteraksi baik dengan bapak itu.
"Wah, tidak hanya bisa menarik senyumannya, kamu juga dikasih kalung," kata Laras, putih mata melihat kalung di tanganku yang sedikit terlihat.
"Mungkin saja dia ngajak tuh bapak buat cek in di hotel," kata Mona dengan wajah tidak suka.
Wanita bernama Mona ini juga karyawan yang berada di posisi yang sama denganku, sebagai waiter. Tetapi, Mona sudah lama bekerja di sana dan usianya satu tahun lebih tua dariku.
"Jaga ucapanmu," tegur Pasha.
"Iya, kotor banget tuh mulut," tambah Laras.
Selagi bekerja, aku memperhatikan bapak tadi yang tengah menikmati pesanannya. Bapak itu sesekali memperhatikan ku dan tersenyum padaku.
Setelah membersihkan satu meja, aku ke toilet karena ingin buang air kecil.
Tidak sengaja aku bertabrakan dengan seorang pria di depan toilet. Pria itu mirip seperti pria yang tadi aku lihat dalam mobil, di seberang jalan. Meskipun aku tidak melihat jelas wajahnya saat itu, outfit yang dipakainya sama, memakai topi hitam dan jaket hitam berbahan kulit.
"Apa liat-liat? Kalau jalan itu jangan cuma pakai kaki, mata juga gunain. Mau saya congkel tuh mata," gertak pria itu dan melanjutkan perjalanannya menuju depan.
Pria itu membuatku sempat takut dan itu sebabnya aku bungkam saat digertak olehnya. Sudah tua, tetapi tidak bisa menjaga tutur kata dan cara bersikap.
Perjalanan menuju toilet juga aku lanjutkan.
Setelah buang air kecil, aku mencuci tangan di wastafel. Sesuatu aku rasakan hilang, tanganku langsung meraba saku celanaku, dua lembar uang pecahan seratus ribu yang aku masukkan di saku celana lenyap. Mungkinkah pria tadi yang mengambilnya? Bukan aku yang menabraknya, pria itu sengaja membuat aku menabraknya dan mengambil peluang menarik uangku yang mungkin terlihat bagian ujungnya. Meskipun hanya dua ratus ribu, itu berharga dan bisa membantuku membayar biaya membuat tugas kuliah.
Bergegas aku kembali ke depan, lalu menjelajahkan pandangan ke atas setiap sisi kafe sampai aku menemukan pria itu memasuki mobil hitam yang tadi aku lihat di seberang jalan.
Aku lanjut keluar dari kafe, bersamaan dengan mobil pria itu berjalan meninggalkan posisinya, dan tampak mengikuti sebuah mobil berwarna putih yang lebih mewah. Aku merasa ada yang tidak beres dengan pria itu, aku memotret plat nomor mobil hitam itu dan mengirimnya kepada kak Enji, memberitahu dan meminta pria itu untuk memantau pria pengemudi mobil itu.
"Aku rasa pria ini bukan orang baik, Kak. Tolong pantau, dia sedang mengikuti mobil warna putih. Aku yakin sekali, dia juga yang sudah mengambil uangku," kataku melalui sambungan telepon.
"Baiklah. Terima kasih, Galuh," ucap kak Enji. "Oh iya, pria yang kita tangkap tadi bukan orang yang sama, dia Adik pria yang saat itu menjadikanmu sanderanya, mereka kembar. Dia ingin membalaskan dendam Kakaknya itu kepada Radek," cerita kak Enji seolah aku sudah bagian dari mereka saja.
"Begitu. Aku pikir dia orang yang sama. Baiklah, kalau begitu, aku lanjut kerja, Kak. Bye ...." Sambungan telepon aku putuskan.
Aku kembali masuk ke kafe dengan harapan pria itu tidak melakukan kejahatan.
Wujud pria paruh baya yang memberiku kalung sudah tidak ada di bangkunya, mungkinkah pria itu sudah pergi?
“Jangan-jangan … orang yang ada di dalam mobil putih itu bapak tadi?” Aku menduga dengan perasaan sedikit kaget.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Desi Natalia
scroll terus episode baru belum muncul😃. sehat2 ya Thor biar tiap jam update terus hahahaha...
2024-04-19
3
darsini irsyad
bagus
2024-04-19
1
Winanik
next.next ka/Slight/
2024-04-19
1