🦋🦋🦋
Aku keluar dari kamar mandi dalam setelan handuk kimono dan kedua tanganku mengusap rambut yang basah menggunakan handuk persegi panjang, berusaha mengeringkannya tanpa menggunakan pengering rambut. Keluar dari sana, aku berbicara bersama Ratih yang tengah duduk menulis di meja belajarnya. Gadis itu tidak henti-henti memujiku, menyebutku cantik, dan pasti banyak pria yang menyukaiku di kampus. Kenyataannya tidak begitu.
"Serius, Kakak cantik seperti Cici China," kata Ratih dengan kepala menoleh ke belakang, mengarah padaku.
"Jangan berlebihan, tidak ada yang suka sama Kakak. Kamu juga cantik," pujiku, kenyataannya begitu.
Ketika aku hendak duduk di tepi kasur, ponselku yang ada di atas meja berdering, aku menghampiri dan mengambilnya. Nama kak Enji ada di sana, tumben pria itu menghubungiku larut malam begini.
"Iya, Kak?" tanyaku.
Sejenak aku diam mendengar perkataan kak Enji yang menarik rasa kagetku.
"Baiklah," ucapku dan memutuskan sambungan telepon.
Handuk persegi di tangan aku gantungkan di belakang pintu kamar mandi. Kemudian, aku menghampiri lemari, mengambil pakaianku dan mengenakannya bersama tatapan Ratih memperhatikanku dengan ekspresi bingung dan penasaran melihat gelagat cepatku.
"Kakak mau ke mana?" tanya Ratih ketika melihatku menyelempangkan tas yang ada di atas meja, di samping kasur.
"Ada urusan mendadak di kampus. Kamu jangan begadang terlalu dini. Kalau begitu, Kakak pergi dulu." Aku mengambil ponsel di atas meja dan keluar dari sana.
Sepertinya om Zidan dan tante Tia sudah tidur. Jadi, tidak sulit bagiku untuk menghadapi mereka dengan berbohong, terutama om Zidan. Om ku itu pasti tidak akan membiarkan aku keluar di tengah malam begini.
Sejenak aku berdiri di gerbang setelah keluar dari rumah, aku menanti ojek online yang sudah aku pesan. Sengaja aku memesan ojek online daripada yang pakai mobil. Nasib kita tidak tahu. Jika aku mendapatkan sopir taksi yang nyeleneh, takutnya tidak bisa kabur jika sesuatu terjadi, kalau yang pakai motor bisa langsung lompat, itu yang ada di benakku jika mencari transportasi malam-malam, apalagi sudah tengah malam.
Ojek yang aku tunggu tiba. Kebetulan, itu ojek yang sering aku tumpangi dan tukang ojeknya mengenaliku.
“Ternyata adiknya Pak polisi. Ayo naik, Neng,” ajak pria itu sambil menyodorkan helm padaku.
Bapak ini kenal aku sebagai adiknya kak Radek karena pria itu sering memesankan ojek online si bapak untuk menjemputku setiap aku pulang sekolah, bahkan pulang kuliah.
Aku mengambil helm di tangan bapak itu dengan senyuman. Tidak perlu juga rasanya memberikan penjelasan mengenai hubungan kami sebenarnya.
Setelah memakai helm, aku naik ke motor bapak itu. Si bapak mengendarai motornya dengan kecepatan sedikit kencang atas suruhanku karena aku tidak sabar ingin segera sampai di tempat tujuanku.
Sekitar sepuluh menit kami berada di perjalanan, akhirnya kami sampai di rumah sakit Sabang Indah. Setelah memberikan beberapa lembaran uang pecahan kecil, aku berlari kecil memasuki gerbang rumah sakit, memasuki gedung itu, dan menghadap resepsionis untuk bertanya mengenai letak kamar kak Radek berada. Tadi kak Enji menghubungiku, pria itu memberitahuku kalau kak Radek masuk rumah sakit, menjadi korban tawuran para pemuda di tengah jalan beberapa saat lalu.
“Galuh!” panggil kak Enji, mengakhiri pembicaraanku bersama resepsionis rumah sakit yang belum selesai.
Aku menghampiri kak Enji bersama raut wajah cemas. Pria itu mengajakku menuju sebuah kamar di mana ada kak Radek di sana, terbaring tidak sadarkan diri. Selain itu, juga ada kak Karina yang tengah duduk di bangku besuk di kamar itu. Kakiku berhenti melangkah di pintu kamar itu, perlahan melangkah mundur, mengurung niat untuk masuk karena merasa percuma saja, toh ada kak Karina di sana.
“Galuh!” panggil kak Karina, menghentikan langka mundurku.
“Masuk! Sejak tadi Kakak menunggumu. Tolong jaga Kakakmu, Kakak ada operasi penting sebentar lagi,” kata kak Karina dan berjalan keluar dari kamar itu, melewati keberadaanku dan kak Enji.
“Kalau begitu, Kakak juga kembali bertugas di kantor polisi. Kamu bisa hubungi Kakak jika kamu membutuhkan sesuatu,”pesan kak Enji.
“Tunggu, Kak. Aku ingin tau, apa sebenarnya yang terjadi kepada Kak Radek?” tanyaku, sejak tadi penasaran dengan kronologi cerita yang menyebabkan kak Radek cedera. Kak Enji belum sempat menceritakannya saat di telepon.
“Sekitar dua jam lalu kami menghalau remaja yang melakukan tawuran di jalan Sampit. Demi kabur dari tangkapan kami, salah satu remaja pria itu memukul punggung dan tangan Radek menggunakan balok kayu. Oleh sebab itu, Radek mengalami patah tangan. Jangan khawatir, kata Karina, satu bulan kemudian semuanya bisa normal,” jelas kak Enji yang membuatku prihatin dengan kondisi kak Radek.
“Lalu, lebam di wajahnya, kenapa? Dia juga dipukuli?” tanyaku sambil memperhatikan ada beberapa bekas lebam di wajah kak Radek.
"Iya. Sebelum Kakak datang, mereka sempat memukuli pria sok jagoan ini. Sudah tahu maut berada di hadapannya, bisa-bisanya dia nekat menghadapi mereka sendiri. Untung saja hanya balok kayu yang mengenainya, kalau celurit mereka, bagaimana? Tidak ada takut-takutnya dia," kata Enji, mengakui keras kepala dan karakter pemberani kak Radek. "Kalau begitu, Kakak pergi dulu," pamit kak Enji, ikut keluar dari kamar kak Radek.
Setelah mereka pergi, tinggallah kesunyian. Aku duduk di bangku besuk, memperhatikan pria yang berbaring di hadapanku ini dengan perasaan sedih melihat kondisinya. Besarnya rasa tidak suka ku dengan sikapnya tidak membuatku tegar untuk tidak sedih melihat kondisinya sekarang.
Kedua tanganku yang ragu akhirnya menggenggam tangan kiri kak Radek dan menangis.
Perlahan pria itu membuka mata.
"Galuh ...," lirihnya.
Segera aku melepaskan tanganku dari tangannya dan menyeka air mata secara sembunyi-sembunyi.
"Kamu di sini? Mengapa ke sini?" marahnya.
Tidak tahu diri. Aku ke sini karena khawatir dan cemas dengan kondisinya, tetapi malah dibalas dengan kemarahan. Itu terlihat jelas, tergambar di wajahnya.
Melihat ekspresinya membuat rasa prihatin dan rasa sedihku seketika lenyap. Aku berdiri dari bangku besuk dan keluar dari ruangan itu.
"Kenapa?" tanya kak Enji yang ternyata masih di luar kamar, baru selesai berbicara bersama seseorang melalui sambungan telepon.
"Aku datang ke sini karena mencemaskan kondisinya, tapi dia malah memarahiku karena datang," ceritaku dalam emosi.
Kak Enji tertawa ringan. Hal itu membuatku bingung. Apa ada yang lucu?
"Dia marah bukan karena kamu menjenguknya. Dia marah karena kamu datang malam-malam ke sini. Sebenarnya dia menahan ku menghubungimu, dia tidak mau kamu datang ke rumah sakit tengah malam begini karena takut terjadi hal buruk di tengah jalan padamu. Dia tidak tau Kakak menghubungimu pada akhirnya saat dia tidur," terang kak Enji yang membuatku merasa bersalah. "Kalau begitu, Kakak pergi," pamit kak Enji, lagi.
Pria itu benar-benar pergi.
Sekarang aku bingung, ada rasa gengsi juga untuk masuk karena sudah salah paham padanya sebelumnya. Aku geram pada diriku sendiri. Mengapa aku begitu mudah emosian ...?
Perlahan aku menarik napas dan membuangnya. Sejenak aku tersenyum sambil menenangkan perasaan ini dan membuang gengsi itu. Aku beranikan diri kembali masuk, menghadapi kak Radek.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Wina Destania
tadinya mau nunggu sampai update nya banyak tapi tetep penasaran pengen cepat baca lanjutannya ka semangat
2024-04-18
1
Meiga Citra Annisa
next kak ❤️
2024-04-17
1
Endah Pujiatun
sehat slalu author dan semangat berkarya
2024-04-17
1