🦋🦋🦋
Sikap baik kak Radek yang aku rasakan tadi membuatku bersemangat. Dengan perasaan bahagia aku menenteng rantang berisikan makanan kesukaan kak Radek memasuki kantor polisi. Mereka yang mengenalku menyapa dengan ramahnya yang ku balas dengan senyuman.
Langkahku berhenti setelah tiba-tiba berhadapan dengan kak Enji, teman kak Radek yang baru keluar dari sebuah ruangan. Selain ibu, penghulu, dan om Zidan, kak Enji juga tahu mengenai pernikahan kami.
"Kak Radek mana, Kak?" tanyaku.
"Radek di luar,” jawab kak Enji.
Suara kak Radek terdengar samar dari luar. Aku berjalan keluar dari kantor polisi, melihat pria itu berjalan hendak memasuki kantor polisi bersama seorang pria paruh baya seusia ibuku dalam setelan seragam yang rapi.
“Kak Radek …!” panggilku, membuat kak Radek mendongak pandangannya dan kakinya berhenti melangkah.
Aku memperlihatkan rantang yang aku tenteng ke atas sambil tersenyum.
“Siapa Radek?” tanya pria dengan nama Laksamana Bramnaja itu.
“Dia adikku, Om,” jawab kak Radek, membuat kakiku tidak jadi melangkah semakin dekat dengan mereka.
Hari ini kecewa mendengarnya, meskipun kami sudah sepakat sebelumnya.
“Jadi, ini adikmu yang sering diceritakan Karina. Cantik sekali,” puji pria itu, tetapi tidak mampu membuatku bahagia.
“Sini, Nak,” suruhnya dengan permainan tangan.
Aku tersenyum ringan, tetapi terpaksa, dan melangkah menghampiri mereka.
“Kamu sudah tau Om? Kenalin, Om Bram, Ayahnya Kak Karina. Sebentar lagi Om bakalan menjadi Ayah mertua Kakakmu. Jadi, kamu juga bisa panggil Papa nanti, sama seperti Radek," kata pria itu.
Hanya senyuman yang bisa aku tunjukkan.
"Ini, Kak. Kalau begitu, aku pulang," pamit ku sambil memberikan rantang makan siang itu ke tangan kak Radek.
Sudah sejauh itukah hubungan kak Radek dan kak Karina sampai pria itu sudah mengatakan itu. Sepertinya kak Radek serius akan menikahi kak Karina dua bulan lagi, seperti yang aku dengar saat itu. Bagaimana dengan perasaanku untuk kak Radek? Benar, kak Radek bukan satu-satunya pria di dunia ini, tetapi memulai perasaan yang sama itu tidak mudah.
Setelah keluar dari gerbang kantor polisi, aku melihat seorang pria berpakaian preman menodongkan senjata api ke arah salah satu polisi yang berdiri di hadapannya. Sepertinya pria itu lepas dari penangkapan dua polisi itu saat mereka hendak membawa masuk pria itu ke dalam kantor polisi.
Keributan mulai terjadi, menarik kerumunan para polisi keluar dari gedung itu. Pria yang memegang senjata api itu memperhatikan sekitaran, juga menatap ku yang berdiri beberapa meter dari belakangnya.
"Jangan mendekat, kalau tidak ...." Pria itu berlari ke arahku, menjadikanku sandera untuk menghindari para kerumunan polisi yang mulai mengepung kami.
Tingkah pria itu bisa aku baca. Pria itu mencari celah untuk bisa keluar dari kerumunan itu, keluar dari halaman kantor polisi. Kedua bola mata ku tidak bisa berhenti membelalak dengan tingkah pria ini yang menggenggam erat pergelangan tangan kanan ku dan tangan lain pria itu menodongkan senjata api ke pelipis kanan ku.
Kak Radek keluar bersama pria paruh baya tadi dari kantor polisi bersama kak Enji. Mereka menghampiri kami dengan langkah pelan sama seperti yang dilakukan polisi lainnya.
“Jika kalian mendekat, aku akan menarik pelatuk pistol ini,” ancam pria yang menjadikan ku sandera ini.
Rasa takut begitu besar sampai membuatku bungkam. Mataku tidak henti menatap kak Radek dengan wajah penuh harap pria itu bisa membantuku lepas dari penjahat ini.
Paksaan pria ini membuatku melangkah kecil ke belakang, mengikuti arahannya keluar dari pekarangan kantor polisi. Setelah kami berada beberapa meter dari gerbang kantor polisi, pria itu mendorongku hingga terjatuh dan dahiku terbentur tepian jalan. Cairan merah mengalir bersamaan kepalaku terasa pusing.
“Berhenti!” Terdengar para polisi berseru kepada pria itu yang berlari tunggang langgang sambil menarik pelatuk sesekali mengarah ke belakang, ke arah segerombolan polisi itu.
“Kamu baik-baik saja?” tanya kak Radek, menghampiriku.
Kak Radek membopong tubuhku, bergegas membawaku memasuki kantor polisi, ke sebuah ruangan yang tidak aku ketahui itu tempat apa. Akan tetapi, ada satu batang kasur di sana. Kak Radek mendudukkan ku di atas kasur itu, lalu mengambil kotak P3K dari laci meja yang ada di samping kasur.
Menatapnya membuat aku sadar, ada kecemasan yang tergambar di wajah pria ini. Kak Radek mengobati luka di dahiku. Bukannya merasa sakit, perasaanku malah merasa bahagia.
"Kenapa tersenyum?" tanya kak Radek.
"Kakak cemas? Kakak khawatir aku kenapa-napa, kan? Kak ...." Aku menggantungkan perkataanku saat melihat kak Radek memalingkan muka, berhenti membaluti luka di dahiku. "Kak ...! Kakak pernah menyukaiku? Sebenarnya aku ...." Aku menggantungkan perkataanku saat melihat om Bram berdiri di pintu ruangan itu.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Om Bram, mengundang kak Radek menoleh ke belakang, dan menatapku dengan kode mata yang membuatku diam.
"Tidak apa-apa, Om. Hanya luka sedikit," ucapku, tersenyum.
"Kalau begitu, kamu antar adikmu kembali ke rumah, Radek. Penjahat itu sudah tertangkap," kata om Bram.
Kak Radek menganggukkan kepala. Ekspresi kak Radek tampak tidak menghiraukan pertanyaanku tadi. Mungkin kak Radek tidak mendengarnya. Ekspektasi ku membayangkan, setidaknya kak Radek kaget.
Setelah om Bram pergi, kak Radek lanjut membaluti dahiku, lalu membantuku keluar, mengajakku keluar dari ruangan itu.
***
Di dalam mobil yang berjalan menuju rumah, kami saling diam. Sesekali aku melirik kak Radek yang diam fokus menyetir. Aku masih penasaran, mungkinkah pria ini benar tidak mendengar pertanyaanku tadi? Jadi, aku mencoba untuk menanyakannya lagi.
"Kak ... Kakak pernah tidak menyukaiku meskipun itu hanya sedikit?" tanyaku.
Tubuhku tertarik ke depan ketika kak Radek menginjak rem secara mendadak. Ia menoleh secara pelan seperti hantu ke arahku, seketika membuat menelan ludah dalam jiwa yang tegang dengan tatapannya yang cukup dalam.
"Maksud kamu, apa?" tanyanya, dingin.
"Rasanya aku tidak bisa menyembunyikan perasaan ku lagi. Selama ini aku menyukai Kakak lebih dari sekedar seorang Kakak," terangku dengan sedikit takut akan respons nya. "Kakak ingat perkataan yang aku gantungkan di hari perpisahan SMA? Aku pernah bilang kalau aku menyukai seseorang. Orang itu adalah Kakak," ungkap ku tanpa menatap kak Radek saat berbicara, pandanganku mengarah ke bawah, menatap jari-jari kedua tangan ku bermain dalam perasaan takut.
Tangan Kaka Radek mendadak di tangan ku, membuat ekspresi takut itu berubah kaget, dan menoleh ke samping dengan pandangan yang diangkat.
"Kamu adikku, tidak akan pernah bisa menjadi orang yang aku sukai sebagai pasangan. Kamu juga tau kalau aku sudah menyukai bahkan mencintai seseorang wanita lain, dia Karina. Aku sudah menceritakannya, aku menyukai Karina sejak aku berada di sekolah dasar dan tidak pernah berubah," ucap kak Radek membuat semakin yakin kalau pria ini memiliki cinta yang besar untuk kak Karina.
"Kalau begitu, ceraikan aku. Jangan perangkap aku dalam hubungan yang tidak nyata ini," ucapku dengan wajah murung.
Huff!
"Aku juga ingin mencintai dan menyukai pria yang bisa memiliki perasaan yang sama untukku, Kak. Tolong jangan hukum aku dengan janji yang Kakak buat bersama Ibu. Aku tidak bersalah dalam masalah kalian. Aku juga ingin bahagia dan tidak tersakiti saat melihat Kakak dan Kak Karina bersama. Selama satu tahun ini aku menyadari hubungan kalian, rasanya sudah banyak duri yang tertangkap di hatiku, menebar banyak luka. Sekarang aku benar-benar tidak sanggup lagi. Sakit sekali, Kak ...." Cairan bening menetes dari kedua mata ini saat mengungkapkan rasa sakit yang selama ini aku pendam.
Kedua tanganku menyeka air mata, lalu membuka pintu mobil, keluar dan berjalan di tepi jalan ke arah belakang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Bertalina Bintang
Apa maksudnya, kalau perasaan hanya adik ya pasti ga sanggup niduri.
2024-04-16
2
Nurkhayatun
nganggap adek tp ditidurin gmn nih konsepnya
2024-04-15
1
Nur Setiawati
nganggap adek tapi ditidurin??? jgn buat galuh jadi bucin thor.
2024-04-14
1