🦋🦋🦋
Pria ini sedikit berubah sejak semalam. Sorot matanya lebih banyak menggoda, berusaha membuatku tersipu. Pagi ini pun begitu, tingkahnya seperti anak kecil saat memakan makanan yang aku sendokkan ke mulutnya. Tingkahnya ini membuatku berpikir, mungkinkah kepala pria ini sempat terpukul dan membuatnya gegar otak?
Mangkuk bubur di tanganku aku letakkan Dinata meja dan mendaftarkan kedua tangan di pipi kak Radek, memperhatikannya dengan wajah menyelidik.
"Aku siapa?" tanyaku pada kak Radek.
"Kamu gila? Kamu pikir aku sudah tua sampai lupa kalau kamu ... kamu mantan istriku," kata kak Radek setelah sempat menganggukkan perkataannya.
Mantan istri? Mendengarnya membuatku merasa sedikit aneh. Tunggu, tumben pria ini tidak memanggilku sebagai adiknya. Mungkin memang benar, otaknya bermasalah.
Kak Karina masuk, menarik fokus kami kepada wanita yang berseru masuk menyapa kami itu. Aku berdiri dari posisiku, menghampiri kak Karina, menarik lengan baju wanita itu, membawanya ke sudut kamar.
"Kak, apa otak Kak Radek bermasalah?" tanyaku dengan suara kecil, memastikan dugaanku.
"Kenapa?" tanya kak Karina, bingung.
Kami menoleh ke belakang, sama-sama memandangi kak Radek yang menatap kami dengan dahi sedikit mengernyit karena bingung. Tapi, aku lebih bingung dengan sikapnya.
"Dia bersikap aneh? Dia melupakanmu?" tanya kak Karina.
"Bukan. Dia .... lupakan. Kalau begitu, aku pamit pulang, aku mau ke kampus," pamitku sambil menghampiri tas di atas meja, mengambilnya dari sana dengan mata menatap kak Radek yang tersenyum padaku.
Keluar dari rumah sakit itu, mulutku berceloteh banyak, mengeluarkan rasa kesal mengingat pria itu tampak mudahnya melupakan kejadian yang sudah terjadi sampai hubungan pernikahan kami berakhir.
“Aku menganggapmu sebagai adikku. Tadi malah bilang kamu adalah mantan istriku nanti mungkin bakalan bilang, kamu mertuaku. Dasar saraf!”
Mulut dan kakiku berhenti melangkah setelah keluar dari gerbang rumah sakit, seorang pria yang sebelumnya menjadikanku tawanan pelariannya berdiri di hadapanku dengan sebuah pisau di tangannya. Rasa takut keluar secara spontan di jiwaku, membuatku menatap kaget dengan ekspresi takut. Pria itu tersenyum seringai padaku sambil mendekatiku.
“Di mana jagoan para polisi itu? Jika kamu mau memberitahuku, aku tidak akan menyakitimu,” kata pria itu yang kini berjarak dua langkah dari hadapanku.
Karena masih terlalu pagi, belum banyak orang yang berlalu lalang di rumah sakit itu. Ada beberapa, tetapi aku tidak sanggup berteriak meminta tolong karena takutnya pisau itu lebih dulu tertancap di tubuhku sebelum aku mengeluarkan suara.
“Di-Di dalam,” jawabku dalam perasaan takut.
“Di kamar mana?” tanya pria itu,tidak berkesudahan.
Kedua bola mata ini mulai berair, ingin menangis karena takut. Akan tetapi, aku berusaha menahannya, tidak ingin membuat pria ini kesal, dan malah melampiaskannya dengan brutal padaku.
“Di kamar VIP,” jawabku, terpaksa jujur karena aku juga tidak bisa melibatkan orang yang tidak bersalah dalam masalah kak Radek saat ini.
Mudah-mudahan saja kak Radek bisa menghadapi pria ini. Tidak, tetapi tangan kanan kak Radek masih belum berfungsi, aku baru ingat, bagaimana caranya kak Radek melawannya?
“Jika kamu tidak ingin ada banyak korban hari ini di sini, sebaiknya diam, dan pulang,”kata pria itu dan berjalan melewati keberadaanku memasuki gerbang rumah sakit sambil menyembunyikan pisau yang ada di tangannya tadi.
Bergegas aku merogoh tas selempangku, mengambil ponsel dari sana, menghubungi kak Enji setelah ingat pesan pria itu semalam untuk menghubunginya jika terjadi sesuatu.
“Kak, datang ke rumah sakit secepatnya. Pria yang gila-gilaan di luar kantor polisi itu datang ke rumah sakit sambil membawa pisau, sepertinya ingin menyakiti kak Radek karena dia baru saja bertanya mengenai ruangan kak Radek kepadaku. Aku terpaksa jujur karena takut, maaf,” ucapku, merasa bersalah dan masih takut.
"Kalau begitu kamu tetap di luar, berhati-hati. Kakak akan ke sana sekarang." Sambungan telepon langsung putus.
Rasanya aku tidak sanggup menunggu, merasa khawatir, takutnya sesuatu terjadi kepada kak Radek. Oleh sebab itu, aku memberanikan diri untuk masuk.
Masuknya aku ke kamar kak Radek, aku melihat telapak tangan kiri kak Radek berdarah, di mana di belakang kak Radek ada kak Karina yang berdiri ketakutan. Suara pintu yang aku buka mengundang pandangan mereka, termasuk pria itu, menoleh ke belakang, menatapku.
"Berani juga kamu datang ke sini." Pria itu beralih menghadap ke arahku.
Kakiku melangkah ke samping, tidak nekat keluar karena takutnya malah ada korban lain. Jadi, aku tetap mengukur waktu di kamar untuk dengan mengajak penjahat itu berbicara sampai akhirnya kak Enji datang.
"Ponselku ketinggalan, aku ingin mengambilnya. Ak-aku tidak peduli kamu mau membunuh atau mau melukainya saja. Aku hanya ingin mengambil ponselku. Setelah aku keluar kamu bisa melanjutkannya," kataku sambil melangkah ke samping, membuat pria itu mengikutiku karena fokusnya sudah mengarah padaku.
Ku perhatikan kak Radek membimbing kak Karina mendekati pintu, lalu mendorong wanita itu keluar dari kamar tersebut dan menutup pintu.
Sejenak aku terdiam kaget melihat betapa besarnya kak Radek ingin melindungi kak Karina. Tidak hanya membiarkan tangannya terluka, bahkan nyawanya pun ia berikan.
"Kalian bersekongkol," kata pria itu sambil mengarahkan pisau ke arahku dan kak Radek bergantian yang berada di depan dan di belakangnya.
"Tidak. Kami tidak bersekongkol. Untuk apa juga aku menolongnya? Dia bukan siapa-siapa bagiku," balasku, sebenarnya sengaja mengulur waktu.
"Meskipun aku bukan siapa-siapa bagimu, tidak seharusnya kamu mengatakan itu," kata kak Radek dengan sedikit menyipitkan mata.
Kak Radek sepertinya paham apa yang sedang aku lakukan. Kami berdua sengaja berdebat untuk mengulur waktu.
"Masalah? Aku juga ingin hidup," balasku.
"Kamu tidak akan bisa hidup melihat seseorang mati di hadapanmu," balas kak Radek.
"Aku tidak peduli. Jangan menyeretku dalam masalah kalian. Aku masih muda, aku masih ingin menikah, punya anak, dan menua bersama suamiku nanti," balasku, berbicara tanpa berpikir lagi.
Kak Radek diam dan menatapku dengan mata kesal. Sepertinya dia benar marah padaku sampai gerahamnya menggertak geram.
"Sudah! Aku di sini bukan ingin melihat kalian berdebat. Sekali lagi kalian berbicara, aku akan membunuh kalian berdua sekaligus," kata pria itu yang tampak sampai di puncak ketidaksadaran atas apa yang akan dilakukannya.
"Cukup! Kamu pikir aku takut padamu?" Kak Radek mengakhiri tingkah kepura-puraannya denganku.
Pria itu mengarahkan pandangan kepada kak Radek dengan senyuman remeh.
"Kak ...," panggilku, cemas.
"Jangan kira aku takut padamu," ucap kak Radek sambil melangkah maju mendekati pria itu.
Sepertinya pria itu mulai sadar. Kaki pria itu melangkah mundur, diikuti dengan kakiku melangkah menjauh darinya. Melihat tatapan kak Radek saja keberaniannya mulai kacrut.
"Aku akan membunuhnya," kata pria itu, mendekati sambil mengangkat pisau di tangannya.
Aku menundukkan kepala sambil memejamkan mata, memunggungi pria itu dengan kepasrahan adegan apa yang akan terjadi berikutnya.
Beberapa detik aku diam, tidak ada benda yang tertancap di badanku. Perlahan aku mendongak pandangan dan menoleh ke belakang, melihat kak Radek berdiri di belakangku mengorbankan pundaknya terluka.
"Kak Radek," lirihku, kaget.
Kak Enji datang bersama kak Karina. Kak Enji masuk dan membekuk pria itu, mengambil pisau di tangan pria tersebut.
"Kak ...," lirihku sambil memegang kedua bahu kak Radek dan menatap luka di pundaknya yang membuatku langsung meneteskan air mata.
"Kamu baik-baik saja, kan?" tanya kak Radek.
"Radek," kata kak Karina sambil menghampiri kami, mengambil kak Radek dariku, dan membawanya ke tempat tidur.
Aku diam di posisiku, masih sedikit syok dengan kejadian tadi, melihat ujung pisau yang runcing dan tajam itu akan menancap ke tubuhku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Winanik
next ka
2024-04-19
1
Kyo Tala
nungguin terus
2024-04-18
1
Desi Natalia
cepetan update lagi Thor..sehari 10 episode gpp kok..😁.
2024-04-18
2