🦋🦋🦋
Aku memutar badan ke belakang, berdiri di posisi awal, menatap kak Radek dengan bibir berusaha tersenyum ramah, menanamkan sifat profesional dalam pekerjaan. Kak Radek mengarahkan jari telunjuk ke sisi kanan meja , menunjuk tumpah air pengunjung sebelumnya yang duduk di sana. Aku paham maksud dari tingkahnya itu. Jadi, aku menganggukkan kepala dan berjalan ke belakang.
"Semua baik-baik saja, Galuh?" tanya mbak Windi.
"Iya, Mbak. Alat bersih-bersih menanya mana, Mbak?" tanyaku.
"Ini." Reta, kasir kafe itu memberikan kain lap kepadaku.
"Terima kasih," ucapku dan kembali menghampiri meja kak Radek.
Aku membersihkan meja itu dengan cekatan, kebetulan aku sudah terlatih dalam hal bersih-bersih maupun memasak, aku bukan wanita manja yang suka mengeluh jika berhubungan dengan pekerjaan rumah. Kak Radek memperhatikan ku, membuatku sedikit grogi sebenarnya, tetapi tidak aku tunjukkan.
"Tunggu!" tahan kak Radek lagi ketika aku ingin meninggalkan mereka.
Aku menghela napas dan melangkah mundur, menyamakan posisi berdiri dengan posisi duduk kak Radek.
“Bisa tambah satu gelas teh nya? Tapi, pakai es yang banyak, soalnya aku merasa panas. Ingat, esnya yang banyak,” ucap kak Radek dengan nada kesal sepertinya.
“Baik,” balasku dan melanjutkan perjalanan meninggalkan meja mereka.
Mengapa dunia begitu sempit? Aku kembali bertemu dengannya.
Segelas teh dingin yang diminta kak Radek ku antarkan padanya, menaruh segelas minuman dingin itu di hadapan pria itu dengan wajah kesal.
Pria yang duduk di hadapan kak Radek memperhatikan ku dan kak Radek bergantian dengan senyuman ringan. Bergegas aku pergi dari sana dengan mengabaikan himbauan kak Radek yang kembali menahan ku. Pria ini sepertinya sengaja ingin membuatku kesal.
***
Bertemu kak Radek sore tadi membuatku kepikiran, seperti apa ya perasaannya setelah berpisah dariku? Sedihkah atau merasa bahagia? Pastinya bahagia, jadinya kak Radek bisa menikahi kak Karina dengan mudahnya tanpa terganggu oleh keberadaan ku.
Bibirku tersenyum bodoh memikirkannya, mengapa juga aku masih memikirkan pria yang belum tentu memikirkan ku.
Diamnya aku di atas motor yang dikendarai Pasha membuat pria yang duduk di hadapanku ini memberhentikan motornya di tepi jalan. Pasha menoleh ke belakang, menatapku dan bertanya, "Kamu kenapa? Kamu masih di sini, kan? Bulu kudukku merinding karena kamu tidak menjawab memanggilmu."
Pasha ternyata memanggilku, tetapi aku tidak mendengarkannya. Jujur, aku benar-benar tidak mendengarnya, mungkin karena melamunkan kak Radek.
"Maaf," ucapku.
"Jangan begini lagi, aku jadi takut," kata Pasha.
Aku menganggukkan kepala.
Motor kembali dijalan Pasha dengan kecepatan yang sama, tidak kencang dan tidak lambat. Setelah motor Pasha berjalan sekitar 500 meter dari posisi kami berhenti, motor itu tiba-tiba mogok. Dari penampilan, motor ini kelihatannya masih cukup kuat, tetapi mengapa bisa mogok tiba-tiba?
"Kenapa?" tanyaku kepada Pasha.
"Ya ampun. Aku lupa isi minyak," jelas Pasha, kaget.
"Kamu tidak bercanda, kan?" tanya ku pada Pasha sambil memperhatikan sekitaran di mana jalan sudah sunyi.
Segerombolan pria berpakaian sobek-sobek menghampiri kami. Sepertinya ini sebuah kebetulan, bukan rencana mereka sejak awal. Pria yang terdiri dari lima orang itu meminta uang pada kami, mereka yang keliatannya sebaya denganku itu hanya menginginkan uang. Bisa aku tebak, mereka anak-anak berandal yang hanya ingin berfoya-foya dengan memeras orang lain.
"Kami tidak punya uang," balasku kepada salah satu dari mereka yang meminta.
"Ini. Tapi, kalian pergi," kata Pasha sambil menyodorkan dua lembar uang pecahan seratus ribu kepada pria berambut keriting itu.
"Tidak." Aku ambil uang itu dari tangan Pasha. "Jika kalian mau uang, kerja, jangan menanam kebiasaan memeras orang yang tidak mampu," jelasku kepada mereka dengan berusaha menunjukkan keberanian.
"Besar juga nyalimu. Bukan main. Jangan salahkan kami kalau kalian tidak bisa kembali malam ini," ancam pria berambut keriting itu.
"Berikan saja Galuh. Toh, hanya tiga ratus ribu," kata Pasha.
"Ini bukan masalah uang. Mau sepuluh ribu, kalau caranya mendapatkannya dengan cara memeras, tetapi saja, tidak baik. Kalian kerja, tubuh kalian kelihatannya cukup untuk bisa bekerja, bukan hanya menjadi beban," ucapku dengan kesal.
Pria berambut keriting yang berdiri angkuh itu mengangkat tangannya, hendak menamparku. Kusadari perkataanku tajam, tetapi mereka pantas mendapatkannya. Tangan pria itu tidak jadi menamparku karena seseorang menahannya. Aku menoleh ke kanan, melihat kak Radek menggenggam erat pergelangan tangan pria itu sampai menjerit kesakitan.
Pria berseragam polisi ini mampu menakuti mereka. Aku sudah bilang, mereka hanya anak-anak brandal yang sebenarnya tidak sekuat yang terlihat. Mereka berlari tunggang-langgang meninggalkan keberadaan kami.
Kutarik pandangan dari kak Radek dan beralih menghadap ke arah Pasha.
"Ini. Lain kali jangan terlalu baik. Zaman sekarang, ketika kita semakin baik, mereka akan semakin menindas kita," kataku yang sebenarnya sedikit menyindir kak Radek. "Ayo, kita dorong motornya sampai ke pom bensin," ajak ku dan mengabaikan keberadaan kak Radek.
"Kalian bisa naik ke mobilku. Besok bisa jemput motornya!" seru kak Radek, memberhentikan langkah Pasha.
"Abaikan. Kita lanjut jalan," kataku sambil mendorong pelan punggung Pasha.
"Jika tidak, biar aku belikan bensinnya. Kalian bisa tunggu di sini!" seru kak Radek, lagi.
"Tidak perlu!" Aku membalas seruan kak Radek setelah mendengar suara langkah kaki. Pria itu hendak berjalan ke arah mobilnya yang terparkir sedikit jauh di belakang.
Seruanku membuat kak Radek berhenti melangkah dan memutar badan ke arah kami.
"Biarkan saja. Kita sangat terbantu dengan pertolongan Kakakmu," kata Pasha dengan suara kecil kepadaku.
"Tidak," balasku.
"Kalian bertengkar?" tanya Pasha yang tidak tahu apa-apa mengenai masalah kami, tidak seperti Raga.
Sekarang aku merasa kalau aku keras kepala. Akan tetapi, aku melakukan ini karena tidak ingin mengikut campurkan kak Radek dalam hidupku lagi.
"Lupakan." Aku kembali mendorong pelan punggung Pasha agar pria itu lanjut berjalan meninggalkan keberadaan kak Radek.
"Pom bensin masih jauh," kata kak Radek, ternyata mengikuti kami dari belakang. "Tunggu di sini, biar aku belikan," kata kak Radek, lagi, tidak menyerah.
"Diam!" bentak ku sambil memutar badan ke belakang bersama wajah marah. "Kami tidak butuh bantuanmu," ucapku tanpa memanggilnya dengan sebutan kakak lagi.
Sebutan yang berganti itu membuat kak Radke kaget. Kulihat kedua tangan pria itu mencengkeram erat menahan perasaan marah. Kak Radek menghampiriku dengan wajah marahnya, menarik ku, dan berusaha membawa ku ke mobilnya.
"Lepas!" Aku menarik tangan kananku dari genggaman tangan kak Radek dan menatapnya dengan ekspresi marah. Memang hanya dirinya saja yang bisa marah, aku juga bisa.
Mata kami saling menatap dalam kemarahan, membuat Pasha bingung memperhatikan kami bergantian.
"Kali ini saja tidak keras kepala, bisa tidak?" tanya kak Radek.
"Tidak," balasku dengan tajam.
Kak Radek menggertak gigi, memalingkan muka dariku bersama ekspresi marah semakin membesar. Pria ini seketika membuatku sedikit takut dengan kemarahannya, aku memperhatikannya dalam perasaan tegang.
"Baik," ucap kak Radek.
Bukannya pergi meninggalkan kami, kak Radek memikul badanku di pundak kanannya seperti membawa sekarung beras. Kedua tanganku memukuli punggungnya yang diabaikan olehnya. Mungkin kulitnya tebal dan tidak merasa sakit dengan pukulan yang aku rasa sudah keras.
Kka Radek mendudukkan ku di bangku bagian depan mobil Jeep nya, di sampingnya yang nantinya akan mengemudi. Kak Radke memasangkan sabuk pengaman dan menutup pintu, lalu berlari memasuki mobil ketika aku hendak membuka pintu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Winanik
next kilat ka
2024-04-17
1
ELESTAMEN HD
jangan mudah luluh Galuh, pertahankan harga dirimu, jadilah wanita kuat, jangan tunjukkan kelemahan mu di hadapan laki" gak jelas asal usulnya itu, udah di adopsi gak tau diri
2024-04-17
7
Nurkhayatun
duhh ini aneh juga si radek Sdh dibebaskan msh aja bgtu
2024-04-17
1