🦋🦋🦋
Kak Radek melangkah maju dengan tatapan dalam menghampiriku, ia berdiri di hadapanku dalam kebisuan yang membuatku takut setengah mati dengan tatapannya itu sampai aku menelan ludah.
"Kamu dari mana pulang selarut ini? Kamu juga tidak menjawab teleponku dan tidak membalas pesanku. Dan ... tiba-tiba kamu sudah kembali bersama laki-laki. Otakmu kamu tarok di mana?" tanya kak Radek, kusadari marah.
"Aku di kosan Maya," jawabku dengan kepala tertunduk.
"Oh ... bersenang-senang di sana." Kak Radek tersenyum bodoh. "Kamu tau sejak tadi aku mencarimu sampai menugaskan temanku?" kak Radek berteriak membuatmu hampir jantungan.
Pandangan aku dongak menatap kemarahan yang membara tergambar di wajah pria yang berdiri di hadapanku ini. Kedua bola matanya membesar menatapku.
"Kenapa tidak menghubungiku? Kenapa tidak membalas pesanku? Kenapa tidak memberitahuku?" tanya kak Radek, tampak geram.
"Untuk apa? Jangan berpura-pura peduli. Aku sengaja tidak menjawab telepon Kakak, aku sengaja tidak membalas pesan Kakak, dan aku sengaja tidak menghubungi Kakak. Tau kenapa? Aku tidak ingin bertemu Kakak. Aku muak dengan hubungan kita. Jadi, ceraikan aku," ucapku, berani membalas perkataan kak Radek yang tidak aku sangka sanggup aku balas sekejam itu.
Sebelumnya kak Radek membelalak karena marah, sekarang tampaknya membelalak karena kaget dengan perkataanku. Tidak heran, selama ini aku selalu diam.
"Kamu berani melawan, ya," ucapnya.
"Aku sudah tidak bisa diam lagi. Aku juga manusia, aku bukan boneka yang bisa Kakak injak-injak seenaknya seakan aku tidak memiliki perasaan," balasku dalam emosi.
"Kapan aku tidak menghargaimu? Kapan aku tidak peduli padamu? Aku sampai menyuruh teman-temanku mencari mu," balas kak Radek, juga emosi.
"Teman-teman Kakak. Lalu, Kakak? Teman-teman Kakak mencari ku dan Kakak mencari Kak Karina. Benar, kan? Karena Kakak tidak memiliki waktu mencari ku, jadi Kakak menyuruh teman-teman Kakak. Jangan berbohong terus, aku muak," ucapku. "Sekarang, aku minta ceraikan aku. Aku akan menghubungi Om Zidan, dia akan menjadi saksinya." Tanganku merogoh tas selempang di badanku, mengambil
"Kamu gila?" Kak Radek meraih ponsel di tangan ku dengan cepat.
Ini tingkahnya yang membuat pikiranku terbagi dua. Mengapa aku merasa kak Radek tidak ingin berpisah dariku?
"Kenapa aku gila? Jangan siksa batin ku terus," balasku, menangis.
"Kapan aku menyiksa batinmu?"
Dasar tidak peka! Bisa-bisanya pria ini mempertanyakannya.
"Aku tertekan dengan hubungan kita, lebih tepatnya karena Kakak berubah. Kakak tidak pernah menjaga perasaanku ketika Kakak bersama Kak Karina," terangku. "Kakak masih ingin bertanya kenapa? Aku cinta sama Kakak. Puas? Aku tidak memaksa Kakak membalas perasaanku, aku tau kalau perasaan itu tidak bisa dipaksakan. Tapi, bebaskan aku dari hubungan kita yang tidak bertujuan ini," tutur dan tegas ku.
Kak Radek hanya diam di posisinya dengan kedua bola mata menatap diriku dengan ekspresi tenangnya yang membuatku kesal, menarik kemarahan ku lebih dalam. Jadi, aku membawa diri ini memasuki kamar.
"Galuh ...!" panggil kak Radek yang aku abaikan ketika hendak memasuki kamar.
Aku berjalan mendekati sambil melepaskan tas selempang di tubuhku dan menaruhnya di atas kasur sambil duduk di bagian tepi kasur itu. Bantal guling aku tarik dan aku peluk dalam tangis kebisuan, aku tidak ingin pria itu mendengar aku menangisinya.
***
“Galuh …!” panggil kak Radek sambil mengetuk pintu kamar ku dari luar.
Aku hanya duduk diam di atas kasur sambil memeluk bantal guling, tidak membalas seruannya dari luar. Akan tetapi, pakaianku sudah rapi, siap-siap ke kampus, hanya menunggu kak Radek pergi kerja dulu karena aku tidak ingin menatap wajahnya. Sudah dua jam aku di kamar, tidak seperti biasanya keluar jam enam pagi, bergegas memasak untuk sarapan.
“Galuh …!” panggilnya, lagi.
Sejak tadi kak Radek mengetuk pintu kamarku sambil memanggilku. Rasanya telinga ini sudah tidak tahan mendengarnya, lebih tepatnya perasaan ini tidak tega mengabaikannya. Tetapi, mengapa kak Radek sanggup melakukannya?
Aku berdiri, berjalan menghampiri pintu, dan membukanya.
“Apa?” tanyaku dengan wajah dingin.
“Kenapa tidak keluar?” tanyanya.
Pertanyaan kak Radek membuatku berpikir kembali kalau pria ini memang tidak punya hati. Semalam kami berdebat, bertengkar lagi, lalu pagi ini ia bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Di mana perhatian yang dimilikinya dulu? Kelinci yang manis itu berubah menjadi serigala yang sangar.
“Malas,” jawabku dengan judes sambil memalingkan muka darinya.
“Sarapan sudah aku siapkan di atas meja. Aku akan pergi bekerja. Makan sebelum ke kampus,” ucapnya.
"Um," dehem ku, masih tidak ingin menatap kak Radek.
Pria itu berjalan menghampiri sofa ruang tamu, mengambil jaketnya di sana, lalu berjalan keluar dari rumah. Sebenarnya aku tidak tega bersikap begitu, tetapi aku juga tidak bisa menunjukkan kelemahan di hadapannya yang membuatku merasa diriku tidak dihargai.
Setelah sadar mobil kak Radek telah keluar dari pekarangan rumah, aku kembali masuk ke kamar, mengambil tas dan beberapa buku di atas meja belajar. Aku ke dapur, melihat beberapa menu sarapan sudah dibuat oleh pria itu di sana bersama segelas susu. Makanan itu aku tetap dengan mata kesal, sebenarnya karena sikap kak Radek.
"Untuk apa masih peduli jika masih menyakitiku." Pandangan kutarik dari makanan yang ada di atas meja makan itu, lalu berjalan keluar dari dapur dengan niat tidak akan memakan, bahkan menyentuhnya.
Namun, kakiku berhenti Melaka di ruang tamu, ada perasaan tidak enak yang singgah di hati ini.Dia sudah susah payah mempersiapkan sarapan untukku, tapi aku tidak menghargainya, bagaimana dengan perasaannya nanti? Mengapa juga aku memikirkan itu, pria itu saja tidak memikirkan perasaanku.
Benar-benar tidak bisa aku abaikan. Aku kembali masuk ke dapur, duduk di bangku meja makan, dan menyantap masakan kak Radek, paling tidak sedikit. Air mata ini menetes saat menyuap, mengunyah makanan itu bersama senyuman bodoh. Diriku menertawakan diri sendiri, mengapa aku masih saja memikirkan perasaan pria itu.
***
Selama satu tahun terakhir, aku memendam luka di hati ini. Sebelumnya aku berpikir puluhan kali untuk menceritakannya kepada untuk melegakan jiwa ini, tetapi aku tidak sanggup menceritakannya. Namun, kali ini aku benar membutuhkan teman untuk mendengar ceritaku. Jadi, aku membongkar rahasia pernikahanku bersama kak Radek kepada Maya.
Wanita yang duduk di sampingku ini tertegun, menatapku dengan mata terbelalak kaget ketika aku menceritakan tentang masalah terbesar yang merusak mental ku sejak satu tahun lalu.
"Kamu dan kak Radek menikah? Bagaimana bisa? Bukankah kalian Adik-Kakak?" tanya Maya, terlihat masih tidak percaya.
Selain pernikahan, kami juga menyembunyikan identitas kami yang sebenarnya saudara angkat, tidak seperti anggapan semua orang yang tahunya kami saudara kandung. Selain ibu, keluarga om Zidan, aku, kak Radek, hanya Raga dan kak Enji yang mengetahui rahasia hubungan persaudaraan kami.
"Sebenarnya kami bukan saudara kandung. Sebelum pindah ke kota ini, dulu, ibu mengadopsi seorang anak laki-laki usia enam tahun dan dia adalah kak Radek," bongkar ku.
"Apa?" tanya Maya, bertambah kaget.
Maya berdiri dari posisi duduk di salah satu bangku taman kampus, di bawah pohon rindang yang meneduhkan, di sisi kananku.
Suara ranting diinjak terdengar, menarik perhatian kami. Aku menoleh ke belakang dan melihat Raga berdiri beberapa meter di belakang kami bersama ekspresi kaget.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
ELESTAMEN HD
harusnya begitu jadi perempuan jangan lemah, jangan mau di sakiti cinta juga lama" hilang kalau kita gak di anggap
2024-04-15
2
Enih Rustini
kuatkan hati kamu galuh jangan mau disakiti terus
2024-04-15
1
Nirah Voni
ya gitu masak udah di permainin masih ngemis cinta
2024-04-15
1