🦋🦋🦋
Kakiku melangkah pelan masuk ke kamar kak Radek. Menyadari keberadaan ku, pria yang duduk bersandar di atas ranjang kamar itu menoleh ke sisi kiri dengan cepat, menjauh dari keberadaan ku dengan tangan tampak menyeka sesuatu di wajahnya. Dalam hitungan detik, pria itu mengarahkan pandangan ke arah ku dan sedikit tersenyum. Sesuatu yang aneh kulihat dari wajah pria ini, tampak tidak seperti sebelumnya. Bola matanya sedikit memerah, kantung matanya sedikit membengkak, dan tampak basah. Mungkinkah pria ini menangis? Bagaimana mungkin pria pemberani sepertinya bisa menangis? Tidak bisa aku pungkiri, kak Radek juga manusia. Namun, selama ini aku tidak pernah melihatnya menangis.
"Aku minta maaf," ucapku dengan perasaan gengsi yang masih bersemi.
"Untuk apa? Lain kali jangan keluar malam begini. Bagaimana kalau kejadian seperti semalam terulang kembali?Aku tidak mau ...." Kak Radek menggantungkan perkataannya setelah melihat sorot mataku dalam menatapnya. "Aku tidak mau direpotkan olehmu. Semua orang masih tau kalau aku Kakakmu. Bagaimana kalau mereka bilang kalau aku tidak bisa menjaga Adikku?" tanya Kak Radek, akhirnya membuatku kesal lagi.
Mengingat dirinya sakit, aku meredam rasa kesal dan emosi yang sedikit tertarik keluar.
"Baik. Kalau begitu, aku pergi," kataku dan memutar badan, hendak meninggalkan kamar itu.
Namun, tangan kiri kak Radek meraih pergelangan tanganku, jadinya menghentikan kakiku melangkah.
"Ambilkan aku air, aku haus," kata kak Radek dengan wajah sedikit memelas.
Mengapa aku merasa pria ini mulai sedikit manja? Karena tidak terbiasa melihatnya begini, aku sedikit aneh.
Aku memperhatikan gelas itu dan meraihnya dengan kaku bersama ekspresi kesal.
"Ini." Dengan kasar bersama ekspresi dingin, aku menyodorkan gelas itu sampai air yang ada di dalam gelas itu sedikit keluar membasahi tanganku.
"Bisa bantu aku? Tangan kiriku masih terlalu lemah untuk menggenggamnya," kata kak Radek dengan ekspresi wajah masih memelas.
Aku menempelkan bibir gelas ke bibir kak Radek, sedikit mengangkatnya dan kak Radek meneguk air itu beberapa teguk.
Gelas yang masih berisi separuh air itu kembali aku letakkan di atas meja. Kemudian, melanjutkan perjalanan ingin keluar dari kamar itu. Tetapi, pria ini berulah dan membuatku berhenti melanjutkan aksiku keluar dari kamar itu.
"Aku ingin buang air kecil. Bisa bantu aku ke toilet?" tanyanya tanpa ada rasa malu.
Kedua tanganku mencengkeram menahan rasa kesal. Aku menoleh ke belakang, menatap kak Radek yang memasang wajah tampak tidak tahan menahan diri untuk buang air kecil. Aku memegang kedua bahunya dari belakang, membantu kak Radek turun dari ranjang, dan menuntunnya menuju toilet.
"Aku tunggu di luar," kataku dan keluar dari toilet itu, menutup pintu toilet dari luar.
Sekitar lima menit aku berdiri seperti bodyguard di luar toilet yang ada di kamar itu. Rasanya cukup lama pria itu berada di dalam membuatku mulai berpikir yang aneh-aneh, hal buruk terjadi padanya di dalam. Suaraku berseru memanggil-manggilnya, tetapi tidak ada balasan.
"Kak ...!" panggilku.
Masih tidak ada jawaban. Pintu toilet aku buka dan melihat kak Radek berdiri menatapku, tampaknya baik-baik saja. Pria itu berjalan keluar, melewati keberadaan ku dengan tingkah baik-baik saja dalam kebisuannya yang membuatku bingung.
"Dia baik-baik saja. Mengapa minta bantu ke toilet?" tanyaku, dalam hati.
"Kamu baik-baik saja?" tanyaku.
Kak Radek berhenti melangkah, memutar badan ke belakang, ke arahku.
"Tadi kamu memanggilku Kakak, sekarang mengapa berubah?" tanya kak Radek membuatku sadar kalau pria ini sengaja diam di toilet untuk menarik bibirku memanggilnya kakak.
"Oh ... aku mengerti," kataku.
Kak Radek tersenyum dengan bibir merapat. Pria itu menghampiriku, memelukku dengan mendaratkan dagunya ke pundak kananku. Sejenak aku diam, merasakan kehangatan pelukan yang aku rindukan itu.
Bergegas aku mendorong tubuh kak Radek menjauh dari tubuhku setelah melihat kak Karina baru membuka pintu kamar itu.
"Kenapa mendorong Kakakmu begitu? Dia belum sembuh," kata kak Karina sambil menghampiri kami, lalu mengajak kak Radek ke kasur.
"Iya," balasku, tersenyum ringan dengan terpaksa.
"Aku tidak jadi melakukan operasi malam ini, kondisi pasiennya tidak memungkinkan. Kemungkinan besok. Jadi, malam ini aku jaga kamu. Galuh, kamu bisa kembali ke rumah, Kakak akan telepon sopir Kakak untuk mengantarmu kembali," kata kak Karina sambil mengajak kak Radek ke kasur.
"Tidak. Kamu saja yang pulang dan istirahat. Toh, besok bekerja lagi. Malam ini biar Galuh yang menemaniku," kata kak Radek.
"Perhatiannya calon suamiku ...." Kak Karina mencubit pelan kedua pipi kak Radek.
Rasanya ingin muntah melihat mereka begitu. Pandangan aku palingkan dengan wajah kesal, sedangkan kak Radek melirikku dengan senyuman ringan.
"Baiklah. Kalau begitu, aku pulang. Cium dulu dong ...." Kak Karina menyodorkan bibirnya.
Pintaan wanita itu membuatku sedikit kaget. Kedua tanganku mencengkeram kuat menahan kecemburuan yang aku sadari hadir di jiwaku.
CUPP!
Kak Radek mengecup pipi kanan kak Karina. Meskipun hanya pipi, aku juga tidak rela.
"Kamu selalu begini. Awas setelah menikah kamu masih begini. Dasar," kata kak Karina dengan senyuman dan tampak sedikit kesal karena kak Radek hanya mencium pipinya.
Wanita itu bilang kalau kak Radek selalu begini. Berarti, selama ini kak Radek tidak berhubungan sedalam itu dengan kak Karina? Tidak mungkin. Toh, mereka juga memiliki waktu berdua di belakangku, mungkin mereka sudah melakukan banyak hal.
Kak Karina melambaikan tangan di pintu kamar ke arahku dan kak Radek sebelum menutup pintu. Kubalas lambaian tangan wanita itu dengan senyuman dan spontan menghilang setelah pintu ditutup.
"Cium dulu dong ...." Aku mengikuti perkataan kak Karina tadi dengan wajah kesal dalam gumamku. "Rasanya aku mau muntah," gumamku, lagi.
Suara senyuman kak Radek mengundang tolehanku ke kiri, menatap pria itu yang sejenak tidak aku sadari berada di kamarnya.
"Bantu aku berselimut," kata kak Radek.
Aku membelalikkan mata dengan wajah kesal. Kemudian, menghampiri pria itu, menaruh tas di atas meja. Lalu, aku membantu kak Radek berbaring di atas kasur dan menarik selimut menutupi hampir seluruh bagian tubuhnya.
Ketika hendak duduk di bangku besuk, kak Radek menarik bajuku bagian bahu, membuat tubuhku condong miring ke sisi kanan.
CUPP!
Kak Radek mengecup bibir ku dari samping yang membuatku membeku beberapa saat dengan perasaan kaget.
Perlahan aku mendelikkan mata ke arahnya sambil membetulkan posisi berdiri. Ku pandangi kak Radek dengan tatapan dalam, perlahan membuat pria itu memudarkan senyuman yang sempat muncul dan mengakhirinya dengan wajah dingin. Kak Radek mengarahkan pandangan ke atas, memejamkan matanya.
Sikap pria ini kadang-kadang membuatku bingung. Perubahannya begitu cepat dan tidak bisa aku tebak.
"Dasar pria serakah," cercahku dan keluar dari kamar itu. Bukan untuk kembali ke rumah, tetapi hanya untuk menghindari pria itu sesaat.
Perasaanku bahagia dengan tingkah kak Radek tadi, meskipun sempat kecewa. Namun, seketika aku sadar, menghapus perasaan bahagia di hati ini. Tidak seharusnya aku menaruh harapan kak Radek menyukaiku. Perbedaan diriku dan kak Karina bagaikan langit dan bumi yang tentunya kak Radek pasti akan lebih memilih kak Karina.
“Teguh pada pendirianmu, Galuh,” kataku pada diri sendiri di depan pintu kamar kak Radek.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Efelina Pehingirang Lantemona
galuh wanita ngk punya prinsip,lain di mulut lain dihati,miris
2024-05-14
2
Adeliabalqis Khumaira
ini gimana s Galuh nya si bikin gereget ajaaa
2024-04-19
1
Winanik
next kilat ka
2024-04-18
1