🦋🦋🦋
Entah apa yang merasuki ku. Begitu mudahnya aku mengungkapkan perasaan yang selama ini aku pendam. Padahal, selama ini aku selalu mencari cara dan waktu yang tepat untuk mengungkapkan perasaanku terhadap kakak angkatku ini.
Kakiku melangkah pelan di tepi jalan bersama air mata tidak bisa aku hentikan. Sedih rasanya jiwa ini mengingat pengabaian dan menghadapi perubahan sikap kak Radek selama satu tahun terakhir.
'Kak ... aku merasa tidak enak badan. Bisa pulang sekarang?'
Masih ingat pembicaraanku saat itu bersama kak Radek melalui sambungan telepon. Itu terjadi enam bulan lalu, di tengah malam, di mana kak Radek tidak aku ketahui entah di mana saat itu.
'Aku menemani Karina di rumah sakit. Kamu istirahat saja.'
Hanya itu balasan yang keluar dari mulutnya. Ternyata kak Radek bersama dokter cantik itu di rumah sakit. Bayangkan, tidak hanya fisik yang sakit, hatiku lebih sakit dari itu. Aku menangisi perubahan sikapnya itu sampai aku tertidur. Entah sudah berapa tetes air mata menetes membasahi bantal ku malam itu.
Sudah lelah rasanya kaki ini berjalan di tepi jalan. Bukan, rasa lelah ini berasal dari perasaan ini yang membuatku menghela napas beberapa kaki sejak tadi. Ternyata benar, lelah hati dan perasaan itu lebih lelah dari lelah fisik.
Sejenak aku duduk di pinggir jalan, di bawah pohon yang rindang, melindungiku dari cahaya matahari yang cukup terik.
"Ini. Minum dulu." Seseorang muncul di hadapanku dengan sebotol air putih yang disodorkan ke arahku.
Air mata yang masih tersendat di pipi aku seka dengan cepat, lalu mendongakkan pandangan.
"Pasha." Aku berdiri. "Terima kasih," ucapku sambil mengambil air itu.
"Kamu bertengkar dengan kakakmu? Sejak tadi aku mengikuti mu, sejak kamu keluar dari mobilnya. Pertengkaran di antara Kakak dan Adik itu biasa. Ayo tersenyum," ucap Pasha, berusaha menghiburku.
Untung saja pria ini tidak tahu kebenaran mengenai hubunganku dan kak Radek. Aku terpaksa menunjukkan senyum ringan untuk membalas usaha Pasha menghiburku.
Pasha memelukku, menepuk pelan punggungku. Jujur, ada sedikit semangat yang tersalurkan dengan tingkah pria ini, membuatku berpikir kalau ada kebahagiaan lain yang menanti ku di depan sana.
"Terima kasih," ucapku sambil melepaskan pelukan Pasha, aku merasa sedikit tidak enak hati.
"Sama-sama. Kalau begitu, aku akan mengantarmu," ucapnya.
"Motormu di mana?" tanyaku sambil menjelajahkan mata di sekeliling.
"Sebenarnya motorku ada di belakang. Setelah melihatmu keluar dari mobil, aku memarkirkan mobilku di sana, di seberang jalan." Pasha tersenyum, merasa bodoh sendiri. "Jangan khawatir, kita tidak akan jalan kaki ke sana. Aku akan mengantarmu menggunakan taksi," kata Pasha.
"Tidak. Kamu tidak perlu ikut mengantarku ke rumah jika menaiki taksi. Cari kerjaan saja. Toh, ini siang bolong, tidak ada yang perlu dicemaskan," ucapku.
"Baiklah. Tapi, jangan bersedih lagi. Nanti Kakakmu akan baik lagi padamu," ucapnya yang hanya bisa aku balas dengan anggukan kepala dan menunjukkan senyuman.
Pasha menoleh ke kiri dan kanan, lalu melambaikan tangan ke arah taksi yang muncul dari sisi kanan kami. Pasha membuka pintu taksi setelah berhenti, memperlakukanku seperti seorang putri sampai si sopir taksi pria paruh baya itu tersenyum melihat tingkah Pasha. Tidak hanya membuka pintu, Pasha mengeluarkan sedikit leluconnya.
"Pak, jaga teman saya baik-baik. Dia ini penakut dan penangis. Kemarin saja dia menangis karena semut, bukan karena semut itu menggigitnya, semua itu mati karena sengaja keinjek olehnya," canda Pasha.
Ternyata pria ini memiliki sisi humoris juga.
"Tenang, Mas. Ini benar temannya atau pacar?" tanya sopir taksi itu.
"Doakan segera menjadi pacar," ucap Pasha dan menatapku dari balik jendela mobil yang terbuka hampir seluruhnya.
Pria ini membuatku menggeleng dengan ucapannya yang tidak aku anggap serius, aku tahu kalau Pasha suka bercanda.
Pasha melambaikan tangan dari luar yang ku balas dengan hal yang sama setelah taksi mulai berjalan.
Sepanjang perjalanan, hubunganku dan kak Radek berada dalam beban pikiran ku. Sekarang aku benar-benar bingung, apa yang harus aku lakukan agar mental ini bisa seperti semula? Sungguh, hati ini rasanya sudah terluka sejak lama. Aku juga bingung dengan kak Radek yang kadang membuatku berpikir pria itu menyukaiku. Perhatiannya itu membuatku bingung, adakah perasaan suka atau hanya karena hutang budi itu? Akan tetapi, semua sudah jelas dari mulutnya, pria itu tidak akan pernah menyukaiku.
"Kenapa menangis, Neng?" tanya di sopir taksi yang ternyata memperhatikanku sesekali dari cermin yang ada di atasnya.
Air mata ini menetes tanpa aku sadari, mungkin karena luka itu. Banyaknya bagian kenangan dari dua puluh tahun yang berada di dalam benak ini mampu terhapus oleh satu tahun terakhir dengan sikap dingin kakakku itu, suamiku. Lucu sekali, kakak menjadi suami. Meskipun belum tercatat di negara, kami sudah sah menjadi suami-istri menurut agama.
"Hanya kelipatan debu yang masuk lewat jendela, Pak," bohong ku sambil tersenyum.
Sopir taksi itu mungkin mengira apa yang aku katakan benar, itu terbaca dari ekspresinya. Mungkin interaksi baik antara aku dan Pasha tadi mampu mengecohnya, membuatnya berpikir aku baik-baik saja.
***
Bukannya ke rumah, aku menyuruh si sopir taksi yang tadi siang hendak mengantar aku ke rumah beralih haluan, yaitu ke kos temanku yang berjarak sekitar sepuluh kilometer dari rumah. Untuk sesaat aku ingin menjauh dari rumah, dari kak Radek. Oleh sebab itu, aku juga kembali sedikit larut untuk menghindari tatapan muka bersama kak Radek meskipun kami akan berhadapan besoknya.
"Terima kasih, Maya," ucapku kepada Maya, teman satu kelas, juga teman paling dekat denganku.
Maya mengantarku sampai di depan gerbang rumah menggunakan sepeda motor metiknya. Wanita berambut sedikit keriting yang dibalut helm itu melambaikan tangan ke arahku dan menjalankan motornya, meninggalkan diriku yang masih memperhatikannya dari gerbang rumah sampai tidak terlihat lagi.
Setelah itu, aku berjalan menuju rumah, mendekati pintu, dan membukanya. Kondisi rumah terlihat sunyi dengan lampu utama di tengah, di ruang tamu sudah mati, dan hanya ada dua lampu berdiri di sudut ruangan saja yang menyala, menandakan kak Radek sudah kembali dan mungkin sudan tidur. Cahaya lampu juga sudah tidak terlihat dari lubang ventilasi di atas pintu kamarnya.
Huff! Perasaanku sedikit lega.
Kakiku melangkah pelan menuju pintu kamar seperti anak yang mengendap-endap memasuki rumah karena takut ketahuan oleh orang tuanya yang tidak suka melihatnya hura-hura di malam hari, di luar. Seperti itulah aku, tetapi aku bukannya berhura-hura tanpa ada tujuan, aku hanya terdiam diri dan curhat di kosan Maya.
Suara petikan lampu terdengar sedikit keras membuatku kaget, tanganku sampai tidak jadi menarik handle pintu setelah menggenggamnya. Ruangan itu menjadi terang. Aku menoleh ke sisi kanan, ke arah tombol lampu berada, dan melihat kak Radek berdiri bersandar dengan kedua tangan menyilang di dada bersama tatapan tajamnya. Sesaat aku berpikir pria itu makhluk gaib sebelumnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Nur Setiawati
thor plisss jgn buat galuh bucin sma radek. Radek toxic blg ga cinta tapi digarap
2024-04-14
4
Nur Setiawati
thor pliss jgn buat galuh bucinn
2024-04-14
1
Indah Yuki
Ditunggu kelanjutannya 😍😍😍
2024-04-14
1