🦋🦋🦋
Ponsel ku berdering ditengah kak Radek masih memainkan permainan tangan di paha kananku dengan tangan ku masih berusaha menghalanginya. Kak Radek diam, menatap ponselku. Aku mendorong kecil dada kak Radek dan merangkak menghampiri meja, mengambil ponselku, dan di sana terlihat nama Raga terpampang.
Mengapa Raga tiba-tiba menghubungiku sepagi ini?
"Iya?" tanyaku, penasaran.
"Galuh. Kamu tau, sejak lama aku menyukaimu."
Suara Raga terdengar tidak baik-baik saja, cara bicaranya ngelantur, kedengarannya dia mabuk. Bisingnya suara musik ngebeat juga terdengar berpadu dengan beberapa suara pria yang kemungkinan teman-temannya.
"Kamu baik-baik saja?" tanyaku, cemas.
"Raga di bar Matahari!" seru seseorang dari seberang sana, sepertinya suara Nandes, teman kelas Pasha yang paling nakal di kampus.
Tidak, aku tidak bisa membiarkan Raga terjerumus dalam perbuatan buruk Nandes dan teman-temannya. Setahuku, Nandes dan teman-temannya juga pernah dicurigai menggunakan benda terlarang. Karena orang tua Nandes kaya raya, mereka bisa mengeluarkan pria itu dalam satu minggu saja.
"Kamu mau ke mana?" tanya kak Radek, menatapku berdiri di depan cermin sambil mengancingkan kembali baju tidur ku.
"Ke ...." Aku tidak bisa memberitahu kak Radek mengenai tujuanku, kak Radek tidak akan membiarkanku pergi. "Ada teman ku yang kecelakaan. Kalau begitu, aku pergi dulu," pamit ku.
Sebelum keluar kamar, aku mengambil jaket dari lemari, mengenakannya, lalu keluar kamar sambil menjepitkan rambut menggunakan jepitan.
Pasti sulit mendapatkan transportasi ke sana. Jadi, aku mengeluarkan motor dari bagasi, akan menggunakan transportasi beroda dua itu ke sana.
"Kamu mau ke mana?" tanya Kak Radek yang ternyata mengikutiku dan sudah berada di teras rumah, di sisi kiri ku. "Jujur! Jika aku tau kamu berbohong, aku tidak akan memaafkan mu," ancamnya, membuat jiwa ku tidak tenang.
"Raga ada di bar Matahari. Aku takut sesuatu terjadi padanya. Jadi, aku akan menjemputnya," ucapku.
"Dia laki-laki. Untuk apa mengkhawatirkannya? Jika dia ke sana, itu sudah menjadi pilihannya."
"Tapi, bagaimana kalau dia dijebak oleh teman-temannya? Kebetulan aku mendengar suara Nandes tadi, orang yang pernah ditangkap polisi karena menggunakan benda terlarang," kataku, memberikan penjelasan agar kak Radek tidak lagi menahan ku untuk pergi.
"Aku akan hubungi temanku, dia yang akan menjemputnya di sana. Kamu kembali masuk," suruh kak Radek.
"Tapi ...."
"Masuk," benaknya.
Bentakan itu tidak bisa membuatku berkutik lagi. Sungguh, marahnya kak Radek sangat menakutkan, berbeda dari pria yang tinggal bersama ku selama 20 tahun bersama ibu yang selalu bersikap lemah lembut padaku dan jarang marah. Namun, sejak satu tahun terakhir, lebih tepatnya setelah Pernikahan kami, kak Radek berubah drastis menjadi pria yang dingin dan terlihat tidak memiliki perasaan.
Motor yang sudah aku keluarkan kembali kumasukkan ke dalam bagasi dengan wajah murung. Pintu bagasi aku tarik dan berjalan masuk ke rumah, lanjut menuju kamar dengan kak Radek terus mengikutiku dari belakang seperti bapak-bapak yang memantau anaknya.
Kakiku berhenti melangkah di tengah kamar, berdiri membelakangi pintu dengan memasang wajah kesal. Perlahan badan ku berputar, mengarah ke belakang. Pria yang berstatus suamiku itu berdiri di depan pintu kamar bagian luar dengan memasang wajah dingin yang lama-kelamaan membuatku sedikit muak. Kaki melangkah menghampiri pintu, menggenggam genggaman pintu dan mendorongnya, menutup pintu itu.
Huff! Perasaanku sedikit lega. Kakiku lanjut berjalan menghampiri kasur, duduk di tepi kasur sambil menenangkan jiwa ini dari rasa cemas dan perasaan tegang yang diciptakan kak Radek. Melihat tangan berada di paha kananku, mengingatkan ku pada aksi panas kak Radek tadi.
"Tidak bisa terjadi. Jangan sampai hal itu terjadi jika Kak Radek terpaksa melakukannya. Selain itu, untuk sementara waktu, aku tidak bisa hamil karena aku harus mengejar impianku dulu untuk lulus kuliah," ucapku dalam tekad.
Suara pintu dibuka menarik rasa kaget ku secara spontan. Kedua bola mata ini langsung mengarah ke pintu berada, mendapati wujud kak Radek berdiri dalam keangkuhan. Pria itu memasuki kamar sambil membanting pintu, menutupnya.
"Kakak belum tidur?" tanyaku sambil tersenyum setelah kak Radek berdiri di hadapanku.
"Masih banyak yang harus kita lakukan," ucapnya, membuat pikiranku traveling jauh ke arah sensitif, mengingat kak Radek sempat bermain panas untuk pertama kalinya.
Aku berdiri di hadapannya, mengumbar senyuman untuk menutupi pikiran gila ini. Aku berpura-pura ingin mengerjakan tugas kuliah dengan mendekati meja belajar, tetapi tangan kananku digenggam kak Radek. Sejenak tubuh ini kaku bersama kebingungan, apa yang harus aku lakukan? Perlahan aku memutar badan ke belakang dan tertawa cengengesan.
"Tidak ada yang lucu, kenapa tersenyum?" tanyanya dengan ekspresi dingin seperti hantu.
Ponsel yang aku taruh di atas kasur berdering. Mataku menatap jauh layar ponsel, melihat nama Pasha di sana. Tadi Raga, sekarang Pasha yang menghubungi ku. Mungkinkah terjadi sesuatu kepada Raga?
Kakiku hanya bisa melangkah beberapa langkah dan tanganku tidak bisa meraih ponsel itu karena genggaman tangan kak Radek begitu kuat dan enggan melepaskan tanganku.
"Kak ...," ucapku dengan wajah memelas.
Kak Radek mendorong ku ke atas kasur dan berlari kecil menghampiri pintu, menguncinya, dan mematikan lampu saat aku sibuk menjawab sambungan telepon dari Pasha.
"Iya?" tanyaku.
Ponsel di tanganku diraih kak Radek dan ditaruh di atas meja. Pria ini membuatku terbaring dan memainkan permainan panas yang lebih mendalam dari sebelumnya. Kak Radek seperti kucing yang menindas tikus, di mana aku berusaha lepas darinya, tetapi tidak bisa. Polisi terlatih ini sangat sulit ditaklukkan oleh seorang wanita lembek seperti ku.
"Jangan, Kak," tahanku ketika kak Radek hampir melepas landas seluruh pakaianku dari tubuh ini.
"Aku akan bertanggung jawab jika anak itu hadir," ucapnya dengan suaranya yang terdengar nyaman didengar itu.
Dalam kungkungan badannya, akhirnya semua lepas dari tubuhku. Sejenak ia diam memperhatikan tubuhku yang membuatku merasa malu mengingat kami berstatus adik-kakak sebelumnya. Wajahku berpaling darinya, merasa benar-benar malu dalam kepasrahan ketika kak Radek melepaskan atasan yang kembali terpasang.
"Ingat Kak Karina," tutur ku ketika kak Radek hendak melepaskan ikat pinggangnya.
Perkataanku membuat pria itu berhenti, diam menatap wajahku yang akhirnya aku beranikan menatapnya. Kak Radek bangun dari posisinya, duduk di tepi kasur, duduk dalam kebisuan.
"Mengapa Kakak seperti ini? Jangan bilang kalau Kakak menyukaiku," ucapku, sengaja mengatakan itu untuk melihat respons meskipun aku sudah bisa menebak jawabannya.
"He." Kak Radek mendengkus remeh. "Menyukaimu? Ternyata sikapku hari ini memberikan keberanian untukmu beranggapan begitu. Baiklah, terserah mu."
Kak Radek kembali mengungkung badanku sambil menarik selimut menutupi seluruh badan kami. Kekisruhan tampak dari luar selimut. Tangan kanan kak Radek menjulur keluar dari kelambu selimut, menjatuhkan pakaian yang semula terpasang bawahannya, yang sebelumnya dilepaskan dengan susah payah.
Kedua tanganku keluar dari bagian atas, mencengkeram sprei sekuat mungkin sampai kusut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Enih Rustini
akhirnya ... terjadi setelsh satu tahun
2024-04-15
1