🦋🦋🦋
Di dalam mobil kak Radek, aku duduk diam sambil memainkan ponsel di atas buku yang ada di pangkuanku, aku tengah mengirim pesan minta maaf kepada Pasha yang terpaksa aku tinggalkan karena sikap pria yang duduk di sampingku ini. Pria itu duduk menyetir sejak tadi sambil melirikku dengan wajah dinginnya. Setiap lirikannya itu aku balas dengan lirikan tajam yang mematikan.
Ponsel yang ada di tanganku berdiring, Raga menghubungiku.
"Aku baru sampai di kafe Barisan dan teman-temanmu bilang kalau kamu pulang bersama Pasha. Kamu sudah sampai di rumah? Sampai dengan selamat, kan? Dia tidak ngapain kamu, kan?" Beberapa pertanyaan diajukan Raga yang kedengarannya sedikit cemas.
"Aku baik-baik saja. Sebentar lagi aku sampai di rumah. Tenang, aku wanita kuat," balasku dengan sedikit tertawa.
"Baiklah. Hubungi aku setelah sampai."
"Siap, Bos," ucapku dan memutuskan sambungan telepon.
Tawa dan senyuman itu spontan menghilang ketika aku sadar kak Radek kembali melirikku. Suasana kembali senyap, sunyi dalam ketidaktentraman.
Beberapa menit berikutnya, kami hampir sampai di rumah om Zidan.
"Cukup antar aku sampai di gang rumah saja, tidak perlu masuk," ketus ku.
"Kenapa?" tanya kak Radek, masih menyetir.
"Aku tidak ingin siapapun melihatnya, terutama om Zidan," jawabku.
Kak Radek hanya diam.
Setelah sampai di gang, kak Radek tidak memberhentikan mobilnya. Pria ini tidak mengindahkan perkataanku, mobil di bawa masuk ke kawasan rumah om Zidan, memberhentikannya di depan gerbang rumah.
"Kamu tidak punya telinga? Aku sudah bilang berhenti di gang," ucapku dengan emosi.
"Kami bisa memanggilku lebih sopan? Tolong jaga sikapmu," balas kak Radek, ikut emosi.
"Sopan seperti apa? Kakak atau aku memanggilmu suamiku? Kamu tidak punya hak mengaturku karena kamu bukan siapa-siapa dalam hidupku," ucapku dengan nada kesal.
Aku membuka pintu mobil dalam kemarahan, hendak keluar dari sana. Akan tetapi, kak Radek menarik tangan kananku dengan keras, membuat tangan yang memegang buku terjatuh dan aku kembali terduduk di posisi awal.
"Apa lagi? Masih belum puas berdebat denganku?" tanyaku, marah.
"Mengapa kamu berubah begini? Kamu tidak pernah tidak menghormati ku saat berbicara, kamu selalu sopan saat berbicara denganku," protes kak Radek, tampak tidak suka dengan cara bicara ku padanya.
"Kamu tidak sadar? Kamu yang sudah berubah, lebih tepatnya berubah setelah mengucapkan kalimat sakral pernikahan malam itu. Kamu pikir saat itu kamu mengucapkan mantra pengusir setan? Iya, mungkin benar, itu sebabnya otakmu tidak stabil karena mantra itu, kamu berubah menjadi pria yang tidak punya perasaan. Lebih baik pergi ke rumah sakit, bersihkan otakmu itu sampai bersih supaya sadar," ucapku dalam emosi yang tidak bisa ku kontrol.
"Galuh!" kata kak Radek, hendak menamparku, tetapi tidak melancangkannya.
Tangan kak Radek sudah terangkat, berada sejajar dengan keberadaan posisi wajahku. Kulihat tangan ku sedikit bergetar, kamu beralih menatap wajah kak Radek yang marah besar sampai kedua bola matanya membesar.
"Kamu bukan suamiku. Jadi, jangan atur hidupku, jangan pernah ikut campuri urusanku," ucapku dengan penekanan.
Aku membuka pintu mobil, keluar dari sana dan membanting pintu dengan keras.
"Aku mungkin bukan suamimu!" seru kak Radek, membuat kakiku berhenti melangkah, bahkan memutar badan ke belakang, ingin mendengar kelanjutan dari perkataannya.
"Aku tidak pernah menganggapmu sebagai istriku, aku selalu menganggapmu sebagai adikku. Seorang Kakak memiliki hak untuk memberikan saran baik pada adiknya," ucap kak Radek yang membuatku tidak habis pikir dengan pemikiran pria ini.
"Bahkan setelah menikah? Kamu masih menganggapku adikmu? Hey ... sepertinya kamu perlu ke rumah sakit jiwa. Jika menganggapku adikmu, kamu tidak akan pernah menikahiku, bahkan berhubungan selayaknya suami-istri denganku, bahkan kamu ingin aku melahirkan anak benihmu. Kamu masih waras menyebutku adikmu?" tanyaku, benar-benar tidak habis pikir yang membuatku sampai muak berbicara lagi dengannya.
Kak Radek hanya diam, menoleh ke sisi kana, memalingkan pandangan dariku, tidak ada rasa bersalah yang tergambar di wajahnya.
"Mulai hari ini, jangan pernah muncul di hadapanku. Jika kita bertemu secara tidak sengaja, anggap saja kita tidak saling mengenal," ucapku dan meninggalkan posisi itu.
Aku berjalan memasuki gerbang rumah om Zidan dengan air mata yang sejak tadi aku tahan akhirnya keluar.
Kakiku melambat berjalan setelah melihat om Zidan berdiri di pintu rumah. Wajah sedih segera aku hapus sambil menyeka air mata dan tersenyum kepada om Zidan.
"Om." Aku menyalam tangan Om Zidan.
Om Zidan menatap wajahku dengan tatapan dalam, lalu melayangkan pandangan jauh ke arah mobil kak Radek yang masih berada di depan gerbang rumah. Pria yang ada di hadapanku ini tampak memendam rasa marah. Om Zidan merangkul bahuku, membawaku masuk, dan menutup pintu rumah.
"Kamu masih berhubungan dengannya?" tanya Om Zidan.
"Tidak. Sebenarnya aku diantar Pasha. Tapi, di tengah jalan, motor Pasha kehabisan bensin dan kami hampir diperas oleh para preman. Kak Radek melihat kami dan membantu kami. Dia juga mengantarku pulang karena sudah larut malam," ceritaku.
"Kamu tidak berbohong, kan?"
"Tidak, Om. Kalau begitu, aku masuk kamar," pamitku, berjalan menuju kamar Ratih.
Setelah masuk kamar, aku melihat Ratih berbaring dalam kondisi tidur di atas kasur. Ekspresi sedih kembali bersemi di wajahku. Aku menaruh tas di atas meja belajar Ratih dan duduk di tepi kasur sambil mengingat perdebatan kami di mobil tadi.
"Mengapa kamu tidak sadar," ucapku dalam dalam tangis kecilku dan kepala yang yang sedikit ditekuk aku angkat, mengakhiri pandanganku ke buku Ratih yang ada di atas meja.
Melihat buku-buku itu mengingatkanku akan buku yang terjatuh dan tertinggal di mobil kak Radek, aku lupa mengambilnya.
Bagaimana ini? Itu buku temanku. Jika itu buku ku, tidak masalah jika tidak aku ambil.
Aku berdiri, berjalan menghampiri tas di atas meja, mengeluarkan gawai dari sana. Niatku ingin menghubungi kak Radek, mengingat perdebatan kami tadi, rasanya aku terlalu lembek menghadapinya. Lupakan! Besok aku pikirkan, sekarang mendingan aku mandi dan tidur.
***
Kupegangi kunci rumah yang ada di tanganku. Bibirku tersenyum ringan setelah melihat mobil kak Radek keluar dari gerbang rumah. Bergegas aku memasuki pekarangan rumah, berjalan menuju pintu, dan ternyata pintu tidak dikunci. Mungkin kak Radek lupa menguncinya. Tidak, pria itu tidak seceroboh itu.
Aku menepikan pikiran mengenai pintu yang tidak dikunci, bergegas aku masuk. Tujuanku ke rumah pagi ini untuk mencari buku yang aku tinggalkan semalam, aku berharap kak Radek mengeluarkan buku itu dari mobilnya.
Kulihat buku itu ada di atas meja ruang tamu, bibirku tersenyum senang memandanginya. Ternyata tidak sesulit yang aku bayangkan.
Aku menghampiri buku itu, mengambilnya, dan tidak sengaja menjatuhkan remote tv yang ternyata ada di bawah buku itu.
"Radek ...!" panggil seseorang dari dapur, itu suara kak Karina.
Suara langkah kaki aku dengar. Kakiku jadi kagok untuk melangkah dalam kebingungan dan mata celingukan harus bersembunyi di mana. Aku melihat pintu rumah dibuka, terbesit di benakku untuk kabur saja dari rumah ini.
Aku berlari menuju pintu, keluar dari rumah itu, dan menutup pintu.
Huff! Lega, akhirnya kak Karina tidak melihatku.
PAKK!
Sebuah tangan mendarat di pundak kananku dari belakang. Aku menolehkan ke belakang, membelalak kaget melihat orang yang berdiri di belakangku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
ELESTAMEN HD
jangan hiraukan Galuh ,anggap aja kamu'gak kenal mereka, semangat jangan lemah
2024-04-17
1
Sri Murni
semangat galuhhh,,,,,,,lanjut dong kk,,,,,
2024-04-17
1
Utari Endah W
itu rumahnya Radek apa Galuh, kan Galuh yg anak kandung masa Radek yg tinggal disana
2024-04-17
3