🦋🦋🦋
Tubuhku masih bungkam dalam pelukan Kak Radek sambil melirik pria itu sesekali yang sudah tertidur sejak beberapa menit yang lalu. Aku berusaha melepaskan pelukannya, tetapi pelukan itu malah semakin bertambah. Ada igaun yang keluar dari mulutnya, membuatku sejenak diam membeku.
“Kamu harus tau kalau aku mencintaimu. Jangan tinggalkan aku.”
Perasaanku sedikit khawatir. Tubuh kak Radek pun terasa panas. Tangan ku mendaratkan di dahinya, merasakan suhu tubuh yang begitu panas.
Pada akhirnya pelukan itu bisa aku lepaskan dan bergegas keluar dari kamar, mengambil baskom berisi air dan kain. Aku mengompres dahi pria dingin ini dengan sabar hampir sepanjang malam sampai suhu tubuhnya tidak sepanas sebelumnya.
Mata ini mulai mengantuk. Ku paling kan wajah ke arah jam yang ada di atas meja yang menunjukkan pukul tiga dini hari. Badan yang sejak tadi duduk aku baringkan dan ikut memejamkan mata di bawah selimut yang sama.
Ketika kesadaran ku hendak menghilang, beban terasa hinggap di dadaku. Perlahan mata aku buka dan Kak Radek menjadikan dadaku bantalnya dengan kedua bola mata menatapku cukup dalam sampai aku salah tingkah dan memalingkan wajah darinya.
“Aku menginginkan anak,” kata Kak Radek, membuatku kaget seratus delapan puluh derajat.
Kedua bola mataku menatapnya membelalak kaget. Pria itu duduk dengan kedua kaki dilipat, tampak serius ingin mengajakku berbicara. Aku ikut duduk, melayaninya ajakannya.
“Mengapa begitu tiba-tiba? Jangan anggap serius perkataan Ibu saat itu. Dia juga sudah tidak ada. Jadi, jangan mengkhawatirkannya,” balasku. “Kak … aku ingin kamu bersikap seperti biasanya kepadaku. Jika pernikahan kita menjadi penghalangnya, kita akhiri saja. Tapi, jangan pernah dingin padaku,” kataku, berbicara dengan wajah memelas, dan berharap pria yang duduk di hadapan ku ini bisa menempatkan ku kali ini.
“Aku sudah berjanji pada Ibumu. Diriku tidak pernah mengingkari janji. Jadi, aku akan mengabulkan janji itu dan kita bisa berpisah setelah kamu melahirkan,” balas Kak Radek, masih dengan wajah dingin.
“Kak … aku tidak bisa.”
“Kenapa?”
“Pokoknya, aku tidak bisa,” tolak ku.
“Karena Raga atau pria yang kamu jumpai di tepi jalan itu?” tanya Kak Radek membuatku merasa pria ini merasa cemburu.
Mungkinkah?
"Bukan, Kak. Mereka cuma teman-teman ku. Sekarang aku sedang fokus kuliah dan berusaha menjadi seorang wanita karir yang sukses. Bukankah Kakak selalu mendukung impianku? Mempunyai perusahaan sendiri," kataku, mengingatkan pria itu akan dirinya dulu yang begitu dekat denganku.
Ku tatap Kak Radek yang duduk diam tampak sedang memikirkan sesuatu. Dahiku sedikit mengerut, bertanya pada diri sendiri, mengapa Kak Radek tiba-tiba membicarakan hal ini setelah satu tahun pernikahan kami?
"Kak ...!" panggilku, menghancurkan lamunannya. "Kakak bisa menikahi Kak Karina dan memiliki anak dengannya. Jadi, kita bisa mengakhiri semua ini," kataku, berbicara sedikit ragu karena takut respons nya buruk. Akan tetapi, tidak mungkin juga, salah satu tujuannya pasti menikahi Kak Karina.
Kak Radek hanya diam menatap ku dengan tatapannya yang tampak sedikit tajam.
"Sekarang tidur. Besok Kakak masuk kerja, Kan? Ayo," ajak ku, membaringkan badan terlebih dahulu.
Sejenak tubuhku kaku merasa Kak Radek tidur di samping ku. Kedua bola mataku menatap matanya yang juga mengarah padaku. Bibirku tersenyum ringan dan sedikit salah tingkah dengan situasi itu. Jujur, aku sudah jatuh hati pada pria yang ada di hadapanku ini sejak aku mengenal cinta. Bukan seorang ayah, tapi dirinya menjadi cinta pertamaku karena kak Radek selalu ada untukku. Perasaan ini tidak pernah salah bagiku karena sejak kecil ibu memberikan penjelasan kalau kami tidak memiliki hubungan darah. Mengapa? Yah, untuk situasi yang sekarang. Ibu ingin kami menikah meskipun diketahui sebagai adik-kakak.
"Kenapa Kakak berbaring di sini? Ini kamarku," ucapku.
"Malam ini aku tidur di sini."
"Jantungku tidak bisa aman," gumamku tanpa sadar mengungkapkan perasaan yang selama ini aku tutupi.
"Apa?"
"Bukan apa-apa. Hanya saja, aku merasa tidak enak. Ini pertama kalinya kita satu tempat tidur setelah menikah. Kalau begitu, aku tidur di bawah saja," ucap ku, hendak duduk.
Kak Radek menarik tanganku, membuatku kembali terbaring. Ya Tuhan ... jantung ini rasanya ingin copot dari posisinya. Bernapas pun sulit bagiku. Bagaimana ini? Bibir tidak bisa aku tahan untuk tidak tersenyum karena salah tingkah. Senyuman itu akhirnya muncul sedikit yang membuat dahi kak Radek sedikit mengerut menatap ku. Bergegas tubuh ku berbalik membelakanginya dan tersenyum lebar sambil menatap lampu di atas meja.
Senyumanku menghilang total saat sadar kak Radek menatap wajahku dari atas. Aku sontak kaget dan duduk, membuat dahiku menodong hidungnya sampai cairan merah mengalir dari hidungnya.
"Hidung Kakak," kataku dan bergegas mengambil tisu di atas meja. "Maaf," ucapku sambil melap cairan merah itu menggunakan tisu.
Mungkin kak Radek marah. Dia mengambil sedikit kesal tisu di tanganku dan menyeka cairan merah itu sendiri.
"Kenapa senyum-senyum seperti orang gila? Kamu masih waras?" tanya kak Radek padaku.
Pertanyaannya membuatku menghela napas. Hallo ... peka sedikit. Tidakkah Anda bisa membaca apa yang sedang aku rasakan? Mengapa juga aku berharap kak Radek tahu dengan perasaan ku, untuk apa? Percuma.
"Bukan apa-apa. Kalau begitu, aku ke kamar mandi dulu," ucapku, malah melapor.
Mengapa perasaanku begini? Rasanya ingin terbang ke angkasa. Di dalam kamar mandi, aku menatap pantulan diri di cermin, menyadari pipiku memerah dan bibir tidak berhenti tersenyum. Ya ampun ... aku merasa sangat bahagia.
Hampir setengah jam aku di kamar mandi, semua karena khayalan bodoh ini. Aku malah berkhayal sesuatu yang akan terjadi beberapa jam kedepan. Bagaimana bisa aku mengkhayalkan pria itu memperlihatkan roti sobeknya yang sesekali aku lihat saat mengganti pakaian? Otak ini memang aktif. OMG! Ini gila.
TOK! TOK! TOK!
"Kamu baik-baik saja, Lu?" tanya kak Radek dari luar.
"Aku ... aku ... aku ... baik-baik saja." Sulit sekali mencari alasan.
Aku membetulkan rambut dan merilekskan otot-otot wajah agar terlihat biasa saja. Pintu kamar mandi aku buka dan melihat Kak Radek berdiri tanpa atasan. Aku meneguk air liur melihat tubuh kak Radek, membuatku memejamkan mata, dan berjalan menepi di sampingnya.
Tangan kanan ku digenggam kak Radek dan membuatku mengarahkan badan ke arahnya, ke belakang. Mata masih aku pejam dan tersenyum ringan.
"Kamu sakit mata?" tanya kak Radek tidak ada peka-pekanya.
"Iya. Mengapa Kakak begini di hadapanku?" tanyaku, kesal, dan membuka mata.
Bibirnya tampak tersenyum tipis.
Kak Radek melangkah kecil mendekati ku dengan tatapan cukup dalam, membuat perasaanku gugup, dan melangkah mundur sampai terduduk di tepi kasur.
Kedua tangan kak Radek mendorong dadaku, membuatku terbaring dan tubuhnya mengungkung ku. Perlahan wajahnya mendekati wajahku bersama mata kami saling menatap.
"Kakak mau ngapain?" tanya ku, mulai merasa tegang.
Kak Radek menoleh ke kanan, mengarahkan mata ke arah ponsel ku yang ada di atas meja.
"Kak ...!" panggilku.
Pria ini membuatku bungkam dengan bibirnya dan kedua bola mataku ikut melebar kaget. Kedua tangan kak Radek menarik kedua tanganku ke atas lehernya, melilit lehernya.
Ketika aku berusaha menarik bibirku, kak Radek terus memburunya, membuatku sesak napas, dan terpaksa mendorong dada bidangnya.
"Aku sulit bernapas," ucapku yang menarik senyum ringan kak Radek.
"Kenapa tersenyum?"
Bukannya menjawab, kak Radek malah kembali melanjutkan aksinya bersamaan dengan tangan kanan berusaha melepaskan kancing baju tidurku. Tangan kami bertengkar. Ketika pria itu berusaha melepaskan kancing bajuku, aku berusaha menghalanginya. Ini benar-benar menyesakkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Yeni Satria
ditunggu kelanjutannya
2024-04-17
1
Etika Purnamasari
ditunggu up date cerita nya
2024-04-11
1
Midar Ndruru
selalu ditunggu
2024-04-11
1