🦋🦋🦋
Aku mengelus dada dalam kelegaan setelah melihat orang yang berdiri di belakangku, orang itu ternyata Raga. Sontak aku kaget dan mengira itu kak Radek tadi, ternyata dugaanku salah. Suara langkah kaki dan seruan kak Karina membuatku mengajak Raga meninggalkan teras rumah itu, menggandeng tangan dan berlari mengajak pria yang ada di belakangku ini keluar dari pekarangan rumah.
"Kenapa? Sejak tadi aku memperhatikanmu seperti pencuri di rumah sendiri," kata Raga dengan dahi mengerut bingung.
"Mengambil buku. Sudah, ayo," ajakku kepada Raga, berjalan menghampiri motor metiknya.
Raga tersenyum menatapku, mungkin karena sikap lancangku yang tidak biasa ini. Begitu saja aku mengambil helm yang tersangkut di bagian depan motor, helm yang biasa aku pakai. Raga menghampiriku, ikut memakai helm, dan mengendarai motor itu menuju kampus.
Pikiran sumber penyakit, benakku tidak bisa lepas dari keberadaan kak Karina di rumah. Sudah begitu dekatnya mereka sampai pagi-pagi begini kak Karina berada di rumah itu.
"Dasar brengsek," gumamku sambil menggenggam erat buku di tanganku.
"Siapa yang brengsek?" tanya Raga.
Ternyata pria ini mendengar gumaman ku.
"Bukan apa-apa." Aku tersenyum.
Aku mendelik ke sisi kiri, memperhatikan kak Radek sedang menengahi dua pria yang sedang bertengkar di tepi jalan. Kelihatannya pertengkaran itu berhubungan dengan lalu lintas. Ketika itu motor Raga melaju sedikit lambat karena kerumunan itu, membuatku sempat melakukan kontak mata dengan kak Radek yang juga menatapku.
Bergegas aku mengarahkan pandangan ke depan, menunjukkan tingkah abai, berpura-pura tidak melihat mengingat perkataanku semalam.
***
Aku dan teman-teman sekelas berdiri, satu-persatu meninggalkan kelas setelah dosen yang terakhir mengajar keluar kelas. Benar-benar melelahkan, setelah bekerja hingga larut malam, paginya aku kuliah. Meskipun tidak setiap hari, tetapi ini sungguh merepotkan karena sebelumnya aku tidak seperti ini.
Badan aku geliatkan setelah keluar dari kelas.
“Bagaimana pekerjaanmu? Nyaman?” tanya Maya padaku.
“Um. Ternyata bekerja itu melelahkan. Tidak heran, tidur saja kadang melelahkan. Waktu masuk kerja dua jam lagi, aku pulang lebih dulu, mau istirahat sebentar dan bersiap-siap,” ucapku kepada Maya dan meninggalkan keberadaannya.
Raga menepis pelan kepalaku dengan sebuah buku dari belakang, kakiku berhenti berjalan dan menoleh ke belakang dengan wajah kesal karena aku tahu itu adalah Raga, itu kebiasaannya.
“Pulang bareng,” kata Raga.
Beberapa orang yang berjalan di sampingku memperhatikan kami dengan senyuman, aku tau alasannya, mereka mengira kami pacaran karena selalu dekat.
“Sahabatan sama cowok itu gak ada, yang adanya demenan,” kata Maya, menggodaku.
Maya lanjut berjalan meninggalkan keberadaan kami dengan senyuman.
“Apa liat-liat? Mau dicongkel tuh mata,” gertak Raga kepada beberapa teman sekelas ku. Mereka tersenyum karena tahu Raga bercanda dalam ucapannya kepada mereka.
Raga merangkul bahuku dari belakang, mengajakku ke parkiran, ke motornya berada. Tingkah pria ini membuatku menggeleng dengan senyuman.
Setelah sampai di parkiran, Raga memakaikan helm ke kepalaku.
"Hmm ... aku ingin bertanya sesuatu padamu. Jangan tersinggung. Kamu dan kak Radek pernah begini?" Raga menyatukan dua telunjuknya.
Pertanyaan yang begitu tiba-tiba mengenai hal itu membuatku sontak kaget, tetapi tidak aku perlihatkan. Aku tertawa ringan sambil memalingkan pandangan, membantah hal itu pernah terjadi. Sebenarnya tidak nyaman untuk berbohong, tetapi aku juga tidak sanggup untuk mengakuinya.
"Mana mungkin. Aku tidak menyukainya," terangku.
"Kitty ...!" panggil seseorang yang suaranya cukup aku kenal.
Aku menoleh ke sisi kanan, kulihat mobil kak Radek , di mana di dalamnya ada kak Karina dan pemilik mobil itu. Suara yang aku bilang cukup mengenalinya itu pemiliknya kak Karina, wanita itu berseru memanggil seorang teman sekelas ku yang bernama Kitty, bisa dibilang salah satu gadis yang cukup cantik di kelas. Apa hubungan Kity dan kak Karina?
Kitty berlari menghampiri mobil kak Radek, memasukinya dengan nyaman, tampak sudah terbiasa.
Mobil itu berlalu pergi, kak Radek tidak menatapku sedikitpun. Entah karena pria itu tidak melihatku atau sengaja melakukannya karena perkataanku malam itu.
"Kitty siapanya kak Karina?" tanyaku kepada Raga yang tengah memainkan ponselnya, membalas pesan seseorang.
"Kitty? Anak Pak Bram?" tanya Raga.
Oh iya, aku baru ingat. Di kantor polisi waktu itu ada seorang pria paruh baya yang memperkenalkan dirinya, namanya om Bram dan merupakan ayah kak Karina. Jadi, Kitty adalah adik kak Karina? Betapa kagetnya aku baru menyadarinya. Mengapa tidak? Selama ini aku tidak pernah melihat mereka bersama.
"Kenapa?" tanya Raga, memperhatikan ekspresi ku yang tampak membuatnya bingung.
"Bukan apa-apa. Sekarang antarkan aku ke rumah om Zidan," ucapku sambil menaiki motor Raga.
***
Satu paket pesanan aku antar ke meja nomor lima, di sana ada seorang pria berjaket hitam duduk membelakangi posisiku. Gestur badan bagian belakang pria itu sepertinya aku kenali, seperti kak Radek. Tetapi, tidak mungkin. Pria itu jarang punya waktu untuk nongkrong karena pekerjaannya. Jadi, aku percaya itu bukan dia.
Dengan senyuman aku menghampiri pria itu dan menyajikan pesannya ke hadapannya, lalu menatapnya, membuatku sedikit kaget, pria itu benar kak Radek. Wajahku berubah masam, lalu hendak berjalan meninggalkan keberadaannya.
Pria ini menarik tanganku, menyuruhku duduk, tetapi aku tidak mau. Pria itu memaksaku, ia berdiri, dan membuatku terduduk di bangku yang ada di sampingnya.
"Ini." Kak Radek mengeluarkan amplop kuning berukuran kecil dari saku jaketnya dan menaruhnya di hadapanku. "Itu uang bulanan untukmu. Kamu tidak perlu bekerja, fokus kuliah agar lulus tepat waktu," katanya.
"Aku tidak butuh. Kamu tidak memiliki kewajiban untuk memberiku uang bulanan lagi," tolakku sambil mendorong amplop itu ke arah kak Radek.
"Kamu tetap adikku, kamu berhak mendapatkannya," kata kak Radek, kembali mendorong amplop itu ke arahku.
"Aku bukan adikmu," balasku dengan suara sedikit keras sampai beberapa orang memperhatikan kami.
Aku memperhatikan mereka dan menundukkan kepala, meredam emosiku yang sempat keluar, dan mendongak pandangan menatap pria yang ada di hadapanku ini.
"Sekarang keluar, bawa uangmu dari sini, aku tidak membutuhkannya. Jangan buat aku malu, di sini banyak orang. Aku mohon pergilah," usirku dengan suara kecil dan air mata menetes sedih.
Pasha menghampiri kami.
"Semua baik-baik saja?" tanya Pasha kepadaku.
Aku menyeka air mata dan menatap Pasha dengan bibir tersenyum dan menganggukan kepala. Pasha ikut menyeka air mataku yang jatuh di pipi ini, berusaha menghentikan tangisku.
"Sebaiknya Kakak pergi dulu, mungkin kondisi hatinya tidak baik. Tenang, aku akan menjaganya," kata Pasha kepada kak Radek dengan tenang.
Kak Radek berdiri, mengambil amplop uang itu dengan marah, dan menaruhnya di telapak tanganku.
"Jika kamu ingin membuangnya, silahkan, itu hakmu. Anggap saja itu cicilan ku kepada Ibumu yang sudah membesarkan ku" kata Kak Radek dan berlalu meninggalkan kafe dalam kemarahan.
Ku perhatikan pria itu dari dinding transparan kafe. Kak Radek melampiaskan kemarahannya dengan menendang ban mobilnya yang terparkir di tepi jalan. Dia sebenarnya baik, tetapi sisi lain dari dirinya itu membuatku tidak bisa tahan bersamanya.
Kak Radek mengarahkan pandangan ke arah kafe, bergegas aku mengarahkan pandangan ke depan agar pria itu tidak sadar aku memperhatikannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
cahya.rien
wah.. sikapnya kok kaya gitu Radek..
2024-08-05
1
Nafi' thook
Radek kayaknya suka sama Galuh, tapi kenapa sikapnya begitu arogan
2024-04-17
1
Nur Setiawati
radek sakit hati krna merasa dimanfaatkn oleh ibunya galuh.
2024-04-17
1