Ayana yang menyadari kalau kedua polisi ini justru akan menyerahkan dirinya ke tangan para pria ini, begitu yerkejut dan segera mencari cara untuk melarikan diri.
Namun, tidak peduli seberapa kerasnya Ayana berusaha memutar otaknya untuk mencari jalan keluar, semua kemungkinan menjadi buntu ketika situasi dirinya sama sekali tidak mendukung.
Ayana terkepung! dan dia tidak bisa melakukan apapun kecuali meronta sekuat tenaga, ketika salah seorang pria mencwngkeram tangannya begitu erat hingga Ayana merasa tulang- tulangnya akan remuk.
"LEPAS!" Ayana hampir menangis, memohon agar dia dibebaskan, tapi kedua polisi disana berpura- pura tidak melihat ataupun mendengar tangisan putus asa dari Ayana.
"Tolong..." Ayana menangis ketika kedua orang tersebut berhasil dengan mudah menyeret Ayana dari sana.
Orang- orang yang melihat Ayana kini pasti berpikir kalau gadis malang ini telah tertangkap basah saat akan melakukan tindak kriminal.
Biar bagaimanapun juga, Ayana telah di bawa keluar dari kantor polisi oleh pria ber jas yang tampak rapi dan karismatik.
Tanpa mereka ketahui, orang- orang ini lah yang merupakan penjahat sebenarnya.
Ayana menatap kedua polisi tersebut dengan matanya yang sudah berlinang air mata. Dia benar- benar tidak habis pikir bagaimana bisa orang- orang seperti mereka membiarkan semua pria ini membawa dirinya pergi begitu saja tanpa mereka berbuat apa- apa!?
Ayana mengertakkan giginya dan merasa dunia benar- benar tidak adil padanya.
Dia telah hidup sebatang kara sejak lahir, tumbuh remaja dengan keluarga yang tidak menginginkan dirinya dan hanya mengaharapkan uang jaminan sosial dari upah mereka menampungnya dan kini, dia harus diperjual- belikan layaknya barang di pasar gelap, di luar dari keinginannya.
Ayana mencoba usaha terakhirnya untuk melarikan diri, tapi tidak bisa. Mereka begitu kuat dan jumlah yang tidak seimbang.
Pada akhirnya Ayana hanya bisa menangis dalam diam saat mereka memasukkannya ke dalam mobil dan membawanya pergi entah kemana.
Ke masa depan abu- abu yang Ayana takuti.
***
Perjalanan dari distrik tempat Ayana tinggal ke- entahlah mereka membawa Ayana kemana, memakan waktu cukup lama.
Mungkin tiga jam, atau empat jam, atau lebih dari itu? Ayana tidak mempedulikan lagi waktunya, karena setelah ini, tidak akan ada lagi yang berharga baginya.
Tidak juga dengan waktu.
Air mata Ayana sudah kering saat dia memilih untuk berhenti menangis.
Kini, Ayana berada bersama tiga orang yang bersesakkan dengannya di dalam mobil sementara dua orang pria lainnya mengendarai mobil yang berbeda.
Mobil tersebut berhenti ketika mereka memasuki sebuah gedung besar, seperti sebuah rumah megah dengan segala kegemerlapannya.
Seandainya saja Ayana tidak sedang dalam posisi seperti ini, dia pasti sudah tercengang dengan apa yang dia saksikan di depan matanya.
Ayana belum pernah melihat rumah sebesar ini dengan pintu yang menjulang hingga ke langit- langit rumah.
Orang lain bisa menyebutnya terlalu lugu dan polos, tapi selama Ayana tinggal di rumah Bertha dan Timothy, mereka jarang sekali membiarkan Ayana keluar.
Sudah disebutkan bukan, kalau Ayana tidak pernah disekolahkan juga.
Bahkan akses untuk menonton televisi atau mendengarkan berita, sungguh terbatas bagi Ayana.
Namun, dalam kondisi seperti ini, gadis itu mengerutkan keningnya dengan curiga.
Tempat apa ini? Apakah aku akan dikurung di dalam sini lagi?
Ayana masih dapat merasakan uang yang tidak seberapa berada di dalam kantong jaket lusuh yang dia kenakan.
Sekarang uang itu benar- benar tidak ada artinya.
"Keluar," ucap salah satu pria yang memiliki luka di alis sebelah kirinya. Dia menatap Ayana dengan tatapan menilai. Seperti seseorang yang tengah menaksir barang.
Tidak ingin keluar, Ayana justru menjauhkan tubuhnya dari pintu mobil yang pria itu biarkan terbuka.
"Aku bilang keluar sekarang atau kau akan menerima akibatnya!" kali ini pria itu membentak Ayana.
Belum sempat Ayana memutuskan apakah dia seharusnya menuruti perintah pria itu atau tidak, tangan pria itu sudah mencengkeram ramvutnya dan menariknya keluar dengan paksa.
Rasa sakit yang menjalar dari kepala Ayana sungguh tidak terkira. Rasanya seperti seluruh rambutnya yang panjang telah tercabut langsung dari akarnya tanpa tersisa, merobek kulit kepalanya.
"Jangan terlalu kasar, Nick, kalau dia sampai terluka lagi, nilainya bisa lebih turun lagi. Bos tidak akan senang." Pria yang tadi mengemudikan mobil memperingatkan temannya, tapi tidak melakukan apapun untuk menolong Ayana yang sudah menangis kesakitan.
"Kalau kubilang keluar, kau harus keluar! kalau kubilang jalan, kau harus jalan! Paham!?" teriak pria bernama Nick dengan berang, tepat di hadapan wajah Ayana hingga gadis itu dapat melihat guratan murka Nick dengan sangat jelas.
Ayana mengangguk, dengan cepat mengiyakan perintahnya.
"Brengsek!" sambil merutuk, Nick menghempaskan tubuh Ayana yang mungil hingga dirinya kehilangan keseimbangan dan terjerembab jatuh di aspal yang kasar.
"Nick!" Pria yang tadi menegurnya kembali angkat suara. "Sudah kubilang jangan sampai dia luka!" Gerutunya sambil membantu Ayana berdiri.
"Kau urus dia!" seru Nick sambil berjalan masuk dengan langkah panjang ke dalam rumah.
Sambil menggelengkan kepala dengan tidak sabar, pria yang membantu Ayana berdiri segera menghampirinya dan bertanya dengan nada bosan. "Ada yang luka?"
Tentu saja itu akan menjadi perhatian utamanya.
Ayana menggeleng, walaupun sebenarnya sikunya terasa sakit.
Pria itu mengangkat alisnya. "Tidak bisa bicara?" Tanyanya dengan sinis. "Kalau ada yang bertanya, kau harus jawab dengan suara."
Ayana kembali menggigit lidahnya agar isakannya tidak keluar.
"Jangan terlalu di dramatisir, hidup itu keras. Berharap saja kau mendapatkan pembeli yang bagus," itu berkata dengan enteng.
"Aku tidak mau," ucap Ayana lirih.
Tapi, pria itu dan tiga pria lainnya justru tertawa terbahak.
"Memangnya kau punya pilihan? Bukan hanya terlahir tanpa keluarga, tapi kau juga tidak cukup beruntung untuk memiliki keluarga asuh yang peduli. Kau pikir, kau punya pilihan sekarang, hah?!"
Tanpa menhiraukan, apakah Ayana kesakitan atau tidak, pria tadi mencengkeram pergelangan tangan Ayana dengan sangat erat dan setengah menyeretnya masuk ke dalam rumah.
Ayana hanya dapat meringis sambil menatap sekelilingnya.
Rumah ini bisa dikatakan rumah yang sangat luas dengan banyak perabotan antik yang terpajang di lemari- lemari kaca.
Bahkan sofa dan segala perabotan disana meneriakan kemewahan yang sama.
"Mulai sekarang, ini adalah kamarmu. Nanti akan ada orang yang datang untuk memberitahukan apa yang akan kamu lakukan selama berada di sini."
Pria itu berhenti menyeret Ayana saat mereka berhenti di depan sebuah pintu kamar setelah melewati dapur dan taman belakang.
Sepertinya tempat yang akan Ayana tinggali merupakan bagian paling tidak terjangkau dari rumah mewah ini.
Dan ketika pria itu mendorong pintu terbuka, Ayana mendapati kalau dirinya bukan satu- satunya remaja disana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Parwati amiin Parwati
aku mau Laik tp caritanya serem
2021-07-23
0
Nurasiahnasution Asyiah
semoga makin banyak yg baca
2020-11-20
2
Serli Elisya
crita nya realistis.. perdagangan manusia
2020-11-20
1