Bab 14

Revan berjalan menuju rumahnya dengan langkah yang terasa berat, perasaan hampa menyelimuti hatinya. Pria itu merasa sangat kehilangan sosok Airin, wanita baik yang pernah ada di hidupnya. Ternyata, ancaman Airin tentang perceraian bukanlah sekedar ancaman belaka, wanita itu memang benar-benar sudah tidak tahan lagi dengan perlakuan Revan.

"Apa yang harus aku lakukan?" gumam Revan lirih, seolah mencari jawaban dari angin yang berhembus. Saat ini, dia sudah sampai di depan pintu rumahnya, memegang sebuah map di tangannya yang bertuliskan Pengadilan Agama.

"Airin, kenapa kamu pergi disaat hatiku mulai menerimamu?" desah Revan dengan sedih. "Tidak, kenapa disaat kamu pergi, aku baru sadar betapa pentingnya kamu di hidupku?"

Revan membuka pintu rumah dengan perlahan, memasuki ruang keluarga yang terasa begitu sepi tanpa kehadiran Airin. Ia duduk di sofa, menatap langit-langit rumah sambil menahan air matanya yang ingin jatuh.

Dalam hati, Revan merasa menyesal telah menyia-nyiakan Airin selama ini. Baru saat wanita itu benar-benar pergi, Revan sadar akan arti penting Airin dalam kehidupannya. Namun, kini sudah terlambat, sebab Airin telah mengajukan gugatan cerai melalui Pengadilan Agama.

Revan meremas map yang ada di tangannya, amarah dan penyesalan bercampur menjadi satu. Ia tak bisa memaafkan dirinya sendiri yang telah kehilangan Airin untuk selamanya.

Pintu terbuka dengan cepat, suara gemuruh yang tercipta membuat Revan langsung menoleh. Ternyata Erika yang datang dengan langkah terburu-buru. Mata Revan langsung menyipit, wajahnya terlihat kesal melihat wanita itu.

"Revan, sedari tadi aku mencari kamu, bahkan sampai datang ke apartemen wanita sialan itu, apa yang kamu lakukan disana? Kenapa kamu memblokir nomerku?" Erika berbicara dengan nada tinggi, penuh emosi, lalu menghempaskan bokongnya di sebelah Revan dengan nafas terengah-engah.

"Apa yang kau lakukan disini? Belum jelas apa yang aku katakan kemarin? Hubungan kita telah berakhir, Erika!" kata Revan dengan suara yang tegas dan dingin, menatap Erika dengan tatapan tajam.

Erika tampak terkejut, bibirnya bergerak hendak menjawab, namun terhenti ketika ia melihat ekspresi marah yang terpancar dari wajah Revan.

Erika merasa jantungnya berdebar kencang saat melihat mata tajam Revan yang menusuk jiwanya. Matanya menunduk, dan tanpa sengaja melihat surat cerai yang terselip di atas meja. Hatinya bergetar seketika.

Mata Erika berbinar, dan tanpa berpikir panjang, dia merebut map yang berisi surat cerai itu. "Kamu dan wanita itu akan bercerai? Bagus sekali! Itu artinya setelah ini kita bisa menikah, Revan. Aku tahu kamu hanya bercanda soal mengakhiri hubungan kita," ujar Erika dengan semangat, wajahnya berseri-seri.

Erika melangkah mendekati Revan dengan niat memeluknya, namun Revan segera merebut map yang ada di tangan Erika dan mendorongnya menjauh dengan kasar. "Aku tidak akan menikahimu meskipun kami akan bercerai," tegas Revan dengan nada dingin.

Erika terpaku, merasa seperti disambar petir. Air mata mulai menggenang di sudut matanya, namun ia berusaha keras untuk menahannya. Hatinya terasa hancur, namun keegoisannya tak ingin menunjukkan kelemahan di hadapan Revan.

Revan menatap Erika dengan pandangan penuh penyesalan. Ia sadar bahwa perasaan Erika begitu dalam, namun ia tak mampu membalasnya. Terlalu banyak luka di masa lalu yang tak bisa ia lupakan. "Maafkan aku, Erika. Tapi kita tak bisa bersama. Aku mencintai istriku," ucap Revan lirih, lalu berlalu meninggalkan Erika yang terpaku di tempat.

...

Airin melangkah ringan di sepanjang tepi pantai, merasakan butiran pasir yang lembut di bawah telapak kakinya. Hijabnya berkibar diterpa angin sore yang sepoi-sepoi. Awalnya, Airin berencana pergi ke rumah Raya, sahabatnya, namun ketika teringat betapa lama ia tidak menikmati suasana pantai, ia memutuskan untuk menghabiskan sore ini di tepi pantai yang hanya berjarak satu jam dari apartemennya.

Tak lama kemudian, terdengar seseorang memanggil namanya. "Airin!" seru suara itu. Airin menoleh dan melihat dua orang pria berpakaian rapi berjalan di belakangnya. Keduanya tampak ramah, dengan senyum yang menghiasi wajah mereka. "Benarkah ini Airin?" tanya salah satu dari mereka lagi, memastikan bahwa wanita yang di depannya orang yang dia kenal.

Airin mengamati wajah kedua pria yang berdiri di depannya. Mereka tampak serius dan tidak ada niat jahat di wajah mereka. Namun, rasa kaget dan heran masih membayangi hati Airin, karena dia tidak tahu siapa mereka sebenarnya.

Airin mengangguk perlahan, mencoba menyembunyikan rasa kaget yang muncul di wajahnya. "Iya, saya Airin. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya dengan sopan, belum mengenal siapa sebenarnya kedua pria tersebut.

Salah satu pria itu, yang lebih tinggi dari yang lain, mengambil langkah maju, lalu berkata dengan senyum ramah, "Aku Rama, teman masa sekolahmu dulu, sudah lupa?"

Airin mengerutkan dahi sejenak, mencoba mengingat wajah Rama di masa lalu. "Rama?" Airin menggumamkan nama itu dan sejenak berpikir, kemudian dia menatap laki-laki yang mengaku bernama Rama itu dengan tajam, "Rama si gendut yang suka kentut dikelas itu? Yang bener kamu Rama?"

Rama tertawa kecil, mengangguk sambil memegang perutnya. "Iya, itu aku! Ternyata kamu masih ingat juga, ya. Waktu itu aku memang suka bikin onar di kelas," jawab Rama dengan nada gembira.

Airin tertawa terpingkal-pingkal, mengingat kekacauan yang sering Rama buat di kelas saat mereka masih duduk di bangku sekolah SMP. Wajahnya yang semula tegang kini terlihat lebih rileks dan ramah. "Ya ampun, Rama! Kamu berubah banyak, ya! Aku hampir saja tidak mengenali kamu," ujar Airin sambil mengelus tangannya.

Rama tersenyum lebar, menunjukkan gigi putihnya yang rapi. " Perubahan itu harus, justru kamu yang tidak berubah sama sekali, dari dulu sampai saat ini, aku lihat wajahmu begitu-begitu saja, sama cantiknya, tidak luntur sedikitpun. "ucap Rama terkekeh.

Dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya, Airin mengajak Rama dan temannya untuk ikut berjalan santai menikmati hembusan angin sore. Mereka pun mengobrol sambil tertawa, mengenang masa lalu yang indah dan penuh kenangan bersama.

"Jadi kamu sudah menikah?" tanya Rama terkejut, kedua alisnya menyatu mendengar fakta yang baru saja diungkapkan Airin.

Airin mengangguk lemah, matanya menatap lurus ke pasir pantai yang dibasahi ombak. "Iya, sudah hampir lima tahun, dan sekarang sedang proses perceraian," ucapnya dengan suara getir, tak ingin menyembunyikan kenyataan pahit itu dari Rama.

Wajah Rama terlihat tegang, dia merasa seperti terhempas ke dalam jurang yang dalam. Setelah bertahun-tahun tak bertemu, akhirnya ia berjumpa kembali dengan Airin, wanita yang semasa sekolah dulu menjadi cinta terpendamnya. Namun ternyata, wanita yang selama ini ada dalam mimpi-mimpinya itu sudah menjadi istri orang.

"Kenapa bercerai, Airin?" tanya Rama lembut, menunjukkan kepeduliannya pada wanita yang dulu pernah dia cintai.

Airin menarik napas panjang, lalu menghela napasnya perlahan. "Kami tak cocok, Rama. Kami dijodohkan, dan dia memiliki wanita yang sudah lama dia cintai. Banyak perbedaan dan pertengkaran yang terus terjadi, sampai akhirnya aku sadar bahwa mungkin lebih baik berpisah daripada terus menyakiti satu sama lain," jelas Airin dengan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya.

Rama menatap Airin dengan pandangan simpati, hatinya merasa sakit melihat wanita yang pernah ia cintai dalam keadaan seperti itu. Ia merasa ingin melindungi Airin, tapi sekaligus sadar bahwa kini Airin bukanlah miliknya. Meski begitu, Rama berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan terus mendukung Airin, memberikan dukungan moral yang dibutuhkannya selama proses perceraian yang berat itu berlangsung.

...

Rama dan Airin duduk bersebelahan di sebuah restoran yang cukup mewah. Suasana malam itu begitu hangat dengan lampu-lampu yang memantulkan cahaya lembut, menciptakan suasana yang romantis. Angin malam yang berhembus lembut menambah suasana menjadi semakin menyenangkan.

"Kamu mau pesan apa? Seingatku kamu tidak suka, bawang goreng, daun ketumbar dan paling menyukai makanan pedas, atau seleramu sudah berubah sekarang?" tanya Rama dengan senyuman yang manis, menatap Airin lembut.

Airin tersenyum tipis, terkesima dengan perubahan Rama yang dulunya gendut dan berwajah tengil kini berubah menjadi pria tampan berbadan atletis. "Tidak ada yang berubah, seleraku masih sama seperti dulu," jawab Airin sambil melirik menu yang ada di atas meja.

Rama mengangguk dan kemudian memanggil pelayan untuk memesan makanan sesuai dengan selera Airin. Sementara menunggu pesanan datang, Rama dan Airin mengobrol tentang kenangan masa lalu mereka, tertawa bersama, dan saling berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing saat ini.

Tak terasa, malam pun semakin larut. Pesanan mereka datang satu per satu, makanan pedas yang disajikan membuat Airin semakin menikmati malam itu. Rama terus mengajak Airin bercanda, sesekali mengejek dan menggoda Airin tentang kenangan masa lalu yang konyol.

Di tengah kebahagiaan mereka, Airin menyadari betapa berharganya saat-saat ini bersama Rama. Pria yang pernah dia anggap sebagai teman biasa, kini hadir sebagai sosok yang menghiburnya. Airin tersenyum dalam hati, merasa bersyukur atas pertemuan tak terduga ini. Mereka terus menikmati malam itu, berbagi tawa dan cerita, hingga akhirnya saatnya untuk pulang tiba.

Rama berdiri tepat di depan pintu apartemen Airin, tersenyum ramah. Padahal wanita itu sudah melarangnya untuk tak mengantar, tetapi pria itu tetap kekeuh dan memaksa.

"Terimakasih banyak untuk hari ini, aku benar-benar terhibur dan sangat senang," ucap Airin dengan suara yang terdengar berat. Hatinya masih terasa berat memikirkan perceraiannya dengan Revan yang akan segera disidangkan minggu depan.

"Tidak masalah, justru aku senang bisa membuat kamu merasa begitu. Lain kali hubungi aku jika kamu butuh teman bicara, ya," balas Rama dengan suara lembut, seolah ingin menenangkan hati Airin yang sedang gundah.

Airin mengangguk pelan, lalu membuka pintu apartemennya. "Baiklah, sampai jumpa lagi, Rama," ucapnya sambil memasuki apartemen dan segera menutup pintu di belakangnya.

Rama masih berdiri di depan pintu beberapa saat, tersenyum simpul sambil menghela napas lega. Dia tahu Airin sedang menghadapi masalah besar, dan dia berharap bisa menjadi teman yang baik untuknya di saat-saat seperti ini.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!