Bab 8

Airin melangkah gembira keluar dari pusat perbelanjaan dengan beberapa kantong berisi pakaian baru, kebutuhan pribadi, dan hadiah untuk bayi Lea. Ia tak sabar untuk segera menemui Raya dan memberikan hadiah tersebut. Selama berbelanja, hati Airin terasa lebih lega dan pikirannya teralihkan untuk sementara waktu.

Namun, begitu Airin tiba di rumah, suasana hatinya seketika berubah. Revan, suaminya, sudah menunggu di ruang tamu dengan wajah yang tidak bersahabat. Airin menelan memijit keningnya, tak siap untuk berdebat kembali, ia merasa lelah dan ingin segera beristirahat.

"Darimana saja kamu, pergi pagi pulang udah sore begini?" tanya Revan dengan nada ketus. Matanya menyapu kantong-kantong belanjaan yang dipegang Airin.

"Uh, aku pergi berbelanja, membeli beberapa kebutuhan dan hadiah untuk bayi Lea," jawab Airin sambil menunjukkan salah satu kantong yang berisi hadiah untuk Lea. "Nanti kalau ada waktu, aku mau berkunjung ke rumah Raya."

Revan menghela napas, kemudian berkata dengan nada mencemooh, "Jadi, kamu menghabiskan seharian untuk berbelanja? Kamu pikir aku akan percaya begitu saja?"

Airin merasa tertekan dengan pertanyaan Revan, "Ini bukan urusan kamu, kan? Revan, sebenarnya ada apa denganmu, ha? Sejak kapan kamu peduli dengan apa yang aku lakukan? ."

Revan melihat Airin dengan tatapan yang masih dingin, kemudian berlalu meninggalkan Airin yang masih berdiri di pintu. Airin merasa sedih, ia hanya ingin menghilangkan rasa jenuh dan stresnya akibat peliknya masalah rumah tangga mereka, namun ternyata hal itu malah menimbulkan konflik yang semakin besar. Dalam hati, ia berharap waktu cepat berlalu, dan mereka bisa bercerai secepatnya.

Airin menapak tangga dengan perlahan, tas-tas belanjaan di tangannya terasa semakin berat. Sesampainya di kamar, ia melepas tas-tas tersebut dan meletakkannya di samping lemari pakaian. Tubuhnya terasa lelah, pikirannya juga seperti ditumpuk beban. Bahkan ia tidak memiliki tenaga untuk melepas hijab yang melingkar di kepalanya.

Di kamar sebelah, Revan duduk di tepi ranjang dengan wajah memerah. Keningnya berkerut, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi padanya. Mengapa tiba-tiba ia merasa tidak suka melihat sikap acuh tak acuh dan dingin Airin padanya? Padahal selama ini Airin hanyalah istri kontrak semata, dan yang seharusnya ia cintai adalah Erika.

"Argh, sial!" umpat Revan kesal, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. "Yang aku cintai Erika, bukan Airin. Jadi, kemarahan ini hanyalah karena ego dan rasa cemburu yang tak seharusnya ada," gumamnya. Tetapi di lubuk hatinya, rasa itu terus mengusik, seakan ingin mengatakan bahwa ada sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar ego dan cemburu.

Sementara itu, Airin merasa tubuhnya terasa berat. Ia duduk di tepi kasur, berusaha meredakan kelelahannya. Namun, pikirannya terus teringat pada wajah Revan yang memerah dan marah tadi.

"Apa yang sebenarnya dia pikirkan? Kenapa dia begitu marah?" gumam Airin, berusaha mencari jawaban atas pertanyaan yang menghantui benaknya.

...

Di sebuah apartemen mewah, suasana remang-remang hanya ditemani oleh cahaya lampu yang redup. Dari balik pintu terdengar suara desahan yang saling bersahutan, menandakan adanya dua insan yang tengah berpacu dalam gairah. Suasana sepi dan hangat semakin memperkuat keintiman keduanya, hingga tak lama kemudian terdengar erangan panjang yang menandakan pertempuran itu telah mencapai puncaknya.

"Sayang, bagaimana dengan proyek ke Paris? Revan tidak benar-benar mengabaikan kamu, kan? Bukankah pemotretan dengan merek ini sudah menjadi impianmu sejak lama?" tanya Alex, pria yang lagi-lagi menjadi pasangan Erika di malam itu.

Erika menghela nafas panjang, tubuhnya masih terasa lemas setelah beradu asmara dengan Alex. "Revan hanya terlalu sibuk dengan urusan bisnisnya. Dia bilang tidak bisa menemaniku ke Paris, jadi aku harus pergi sendiri," jawabnya dengan nada sedih.

Wajah Erika yang cantik terlihat semakin muram, matanya berkaca-kaca. Dia merasa sangat kecewa dengan sikap Revan yang terlalu mengutamakan bisnis daripada mendukung mimpinya untuk berkarier sebagai model. Namun, di saat yang sama, kehadiran Alex menjadi pelipur lara yang mampu mengobati hati yang terluka.

Alex mengusap rambut Erika dengan lembut, menatap matanya yang sedih. "Jangan khawatir, Sayang. Aku akan selalu ada untukmu, mendukungmu dalam mewujudkan mimpimu. Kita bisa pergi ke Paris bersama, dan kita akan menjalani hidup yang indah di sana," ucapnya dengan penuh kasih sayang.

Erika tersenyum lemah, menatap Alex yang selalu setia mendampinginya. Meskipun hatinya masih terbelah antara cinta kepada Revan dan kebersamaan dengan Alex, dia tahu bahwa saat ini, Alex adalah teman sejatinya yang mampu memberikan kebahagiaan yang selama ini dia idamkan.

Erika tidur bersandar dilengan Alex. Senyum manisnya merekah di wajahnya, berusaha menyembunyikan kekhawatirannya tentang Revan yang belum bisa dia bujuk untuk mengirimnya sebagai perwakilan pemotretan ke Paris. Erika tidak memberitahu Alex, kalau sebenarnya Revan mengganti modelnya.

"Sayang, kamu sudah dengar kalau Elsakura Parfume akan meluncurkan produk barunya lagi? Katanya, produk kali ini sedikit istimewa, karena parfume ini terinspirasi dari kisah cinta romantis Perfumer itu sendiri" ujar Erika dengan semangat, berusaha mengalihkan perhatian dari masalah yang sedang dihadapinya.

"Oh, ya?" sahut Alex, tampak tertarik dengan pembicaraan itu. Erika merasa lega, setidaknya untuk saat ini, kekhawatiran di benaknya tidak begitu terasa.

Namun, di balik semangatnya, Erika merasa cemas. Dia belum bisa membujuk Revan agar mengirim dirinya sebagai perwakilan untuk pemotretan ke Paris. Dia hanya takut Alex akan berpikir yang tidak-tidak dan merasa kecewa.

Besok, Erika berencana untuk menemui Alex lagi, berusaha meyakinkan lelaki itu bahwa dia akan berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi harapannya. Dia tidak mau Revan mencampur adukkan masalah pribadi kedalam pekerjaan.

Sementara itu, Alex terus mendengarkan cerita tentang Elsakura Parfume dengan antusias. Dia tidak menyadari bahwa ada kekhawatiran yang mengganggu pikiran Erika. Di mata Alex, Erika adalah wanita sempurna yang selalu bisa mengatasi segala masalah yang dia hadapi, terutama masalah ranjang, Erika selalu bisa memuaskannya.

Erika memandangi wajah Alex yang tampak begitu tenang, berharap semoga lelaki itu tidak meninggalkannya sama seperti Revan. Andai saja Revan memiliki lebih banyak waktu untuknya, mana mungkin Erika akan berselingkuh dan mencari kenyamanan dari lelaki lain. Akan tetapi, pria egois seperti Revan tidak akan mengerti, yang dia pikirkan hanyalah pekerjaannya, sementara urusan lain bisa ia bereskan dengan uang.

...

Airin terbaring di kamarnya, tubuhnya yang lelah telah terlelap dalam tidur yang pulas. Mimpi indah menghampirinya, mengajaknya melupakan kenyataan pahit yang dihadapinya. Sementara itu, di ruang tamu, Revan gelisah. sengaja ia pulang cepat hari ini dari kantor, ia berharap bisa makan malam bersama Airin. Namun, wanita itu belum kembali sejak pagi tadi.

"Tidak mungkin dia hanya berbelanja seharian ini. Pasti dia bertemu seseorang," gumam Revan, curiga. Ia pun berfikir keras, "Aku harus mencarikan pengawal untuk mengawasinya mulai sekarang."

Setidaknya, selama berstatus istrinya, dia tidak akan membiarkan Airin mengkhianatinya. Jika mereka bercerai nanti, terserah wanita itu mau pulang atau tidak, mau pergi dengan siapapun dia juga tidak akan peduli, tetapi saat ini, Airin adalah istrinya, meski tak ada cinta pun tetap harus menjaga harga diri dan nama baiknya.

***

Terpopuler

Comments

Uthie

Uthie

egois 😡

2024-04-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!