Bab 16

Airin menginjak pedal gas mobilnya dengan keras, emosi, marah dan kecewa bercampur menjadi satu di dalam dadanya. Rasanya, semua yang ditahan selama bertahun-tahun terhadap Revan, suaminya, meledak saat mendengar perkataan laki-laki itu yang ingin mengejarnya setelah sekian lama bersikap acuh dan dingin padanya.

"Apa dia pikir, dia begitu berharga?" gumam Airin kesal.

Setir mobil digenggam erat oleh tangan Airin yang gemetar, matanya berkaca-kaca namun tak ada air mata yang jatuh. "Seumur hidup ini, aku sangat menyesali pernah mencintaimu, Revan. Aku bodoh karena menerima pernikahan ini dulu," desisnya penuh penyesalan. Kecepatan mobil semakin bertambah, Airin ingin segera bertemu Raya, sahabatnya yang selalu setia mendengarkan keluh kesahnya.

Tubuh Airin terasa tegang, hatinya berdebar kencang seiring dengan kecepatan mobilnya yang melaju. Dia teringat betapa Revan selalu mengabaikannya, membuatnya merasa tidak berharga, hingga membuatnya merasa tak berdaya. Namun kini, Airin bertekad untuk melupakan semuanya, dia tidak akan lagi menangis dan menderita karena laki-laki yang tidak menghargai perasaannya itu.

Ketika sampai di tempat pertemuan dengan Raya, Airin segera keluar dari mobil dan berlari menuju sahabatnya yang sudah menunggunya di sebuah meja disudut ruangan kafe. "Aya, aku tidak tahan lagi!" seru Airin ketika memeluk Raya erat-erat, akhirnya menumpahkan air mata yang sudah lama tertahan.

Raya membelai punggung Airin, memberikan dukungan dan kekuatan pada wanita itu. "Tenanglah, Ai. Aku di sini, kamu bisa ceritakan semuanya padaku," ucap Raya dengan lembut, berusaha menenangkan hati Airin yang sedang berkecamuk. Dalam hati, Airin bersyukur memiliki sahabat seperti Raya yang selalu ada untuknya, apapun yang terjadi.

Airin duduk di kursi dengan raut wajah muram, matanya yang sembab menunjukkan betapa lelahnya dia menjalani hari-hari yang sulit setelah bercerai. Ia menyesap minuman dingin yang disodorkan Raya, sahabatnya yang setia mendengarkan keluh kesahnya.

"Begitulah ceritanya, aku tidak mengerti apa yang dipikirkan laki-laki itu, bukankah seharusnya dia senang bercerai denganku, dengan begitu, dia bisa menikahi kekasihnya itu," ucap Airin kesal, ia menceritakan segalanya pada Raya.

Raya mengangguk-angguk dengan wajah penuh simpati, lalu mengusap bahu Airin untuk menenangkannya. "Kamu pernah dengar istilah, talak jatuh, sayang tiba?" tanya Raya dengan senyuman tipis. "Aku rasa itu yang terjadi pada Revan, setelah bercerai denganmu, dia baru sadar kalau dia mencintaimu."

Airin menggeleng tak percaya, tangannya menggenggam erat gelas minuman yang hampir tumpah karena emosinya. "Tidak mungkin, Aya. Aku yakin betul, Revan begitu bahagia saat bercerai dariku. Bahkan dia mungkin sudah merencanakan kehidupan barunya dengan wanita itu," ucap Airin penuh kebencian.

Raya menatap mata Airin dengan tajam, mencoba menenangkannya. "Ai, kamu tahu, manusia itu bisa berubah. Mungkin Revan sadar bahwa dia telah melakukan kesalahan besar. Apapun yang terjadi, kamu harus tetap tegar dan menjalani hidupmu."

Airin menghela napas panjang, lalu tersenyum miris. "Terima kasih, Aya. Aku tahu, aku harus melupakan semuanya dan memulai hidup baru," ucapnya dengan sedikit harapan di matanya yang sembab.

...

Revan saat ini berada di rumah orang tuanya, berlutut di hadapan mereka dengan kepala tertunduk dalam-dalam. Wajahnya pucat dan berkeringat dingin karena menahan rasa bersalah yang menghantui pikirannya. Suasana di ruangan itu begitu menegangkan dan penuh emosi.

"Mama benar-benar kecewa sama kamu, Revan. Airin itu wanita yang baik, makanya Mama nikahkan dengan kamu, tetapi lihat apa yang kamu lakukan? Kamu masih saja berhubungan dengan gadis jalang itu, hingga istrimu meminta cerai, " ucap mamanya dengan lirih namun penuh emosi. Air matanya mengalir deras, menambah beban di hati Revan.

Biasanya, setiap kali mama dan papanya menghina Erika, Revan selalu marah dan membela kekasih gelapnya itu. Namun kali ini, dia bungkam dan tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun. Ia sadar bahwa apa yang dilakukannya salah, dan kini ia harus menanggung akibatnya.

"Mulai sekarang, perusahaan akan Papa ambil alih lagi. Kamu harus belajar bertanggung jawab atas kesalahanmu," ucap papanya dengan nada tegas dan dingin. Matanya menatap tajam ke arah Revan, seolah menghujam ke dalam jiwa anaknya itu.

Revan masih tertunduk, mencoba menahan rasa sakit yang melanda hatinya. Ia menyesali perbuatannya, namun ia tahu bahwa penyesalan itu tidak akan mengubah apa pun. Sekarang, ia harus berusaha keras untuk memperbaiki kesalahannya dan memulihkan kepercayaan orang tuanya.

"Papa mau lihat, disaat kamu tidak memiliki apa-apa, apakah gadis yang selalu kamu bela itu akan tetap masih mencintai kamu, apakah dia akan masih mau sama kamu," ucap papanya dengan nada mengejek. Wajah Revan tampak berubah, kesal mendengar perkataan papanya.

Revan mengangkat kepalanya sedikit tidak terima jika fasilitasnya dicabut. Ia berbicara dengan nada penuh penekanan, "Pa, banyak proyek perusahaan yang aku tangani. Takutnya kalau Papa ambil alih perusahaan saat ini akan mengacaukan segalanya," ucap Revan dengan khawatir.

Pria paruh baya itu tersenyum miring, mengejek putranya. "Kamu pikir, perusahaan itu bisa berdiri kokoh sebelum kamu pimpin karena siapa?" katanya sambil tertawa kecil. "Kita lihat saja nanti, bagaimana gadis itu bersikap padamu saat kamu tak lagi memiliki kemewahan yang selama ini kamu nikmati."

Revan merasakan jantungnya berdegup kencang, mencoba meresapi setiap perkataan yang diucapkan oleh papanya. Ia tak bisa membayangkan bagaimana hidupnya tanpa kekayaan yang selama ini ia miliki. Namun, lebih dari itu, ia khawatir akan ucapan papanya, bagaimana tanggapan Erika, jika tahu bahwa ia tak lagi memiliki apa-apa.

Revan berdiri tegap di hadapan kedua orang tuanya, wajahnya terlihat pasrah dan penuh penyesalan. "Ma, Pa, aku tau aku salah, tetapi semua yang telah terjadi, tidak bisa aku pungkiri, dan aku menyesal," ucap Revan dengan suara parau. "Aku berjanji, mulai saat ini, akan bersikap lebih baik pada Airin, aku akan membuatnya jatuh cinta lagi padaku, meski dia menatapku penuh kebencian, aku tidak akan menyerah."

Mamanya mendengus kesal, "Telat! Bukankah kalian sudah becerai hari ini? Kenapa baru sekarang kamu menyadarinya, kenapa selama ini kamu tidak merasa bersalah saat mengkhianati istrimu?"

Revan mengepalkan kedua tangannya, merasakan amarah dan penyesalan bercampur dalam dadanya. Matanya berkaca-kaca, menahan tangis yang ingin pecah. "Aku tahu, Ma, aku tahu aku terlambat. Tapi aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin menjadi suami yang baik untuk Airin dan ayah yang baik untuk anak-anak kami kelak. Aku ingin memulai dari awal lagi, jika Airin mau memberi kesempatan padaku."

Papanya menatap Revan dengan tatapan tajam, "Kamu pikir begitu mudah memperbaiki kesalahan yang telah kamu buat? Hidup bukan seperti cerita di novel yang bisa kamu ulangi kapan saja. Airin sudah menderita cukup lama karena ulahmu, dia sudah tidak percaya lagi padamu. Kamu harus berjuang keras jika ingin memenangkan hatinya kembali."

Revan mengangguk mantap, "Aku siap berjuang, Pa. Aku akan membuktikan bahwa aku bisa berubah, aku akan merebut hati Airin lagi dan membuatnya bahagia. Aku tahu, perjalanan ini tidak akan mudah, tapi aku akan menjalaninya dengan sepenuh hati."

Kedua orang tua Revan saling pandang, meskipun masih merasa kecewa, mereka berharap anak mereka benar-benar dapat berubah dan memperbaiki kesalahan-kesalahannya. Dalam hati, mereka berdoa agar Airin mau membuka hatinya lagi untuk Revan dan keluarga kecil mereka bisa kembali utuh.

Airin dan Raya melangkah gembira berbelanja di pusat perbelanjaan, berusaha melupakan kesedihan yang mendera hati Airin. Ketika mereka melewati toko es krim, Raya menghentikan langkahnya dan menoleh kepada Airin sambil tersenyum menggoda.

"Aku ingat kamu sangat menyukai es krim stroberi, apa seleramu sudah berubah, janda muda?" tanya Raya sambil tertawa kecil.

Airin mendengus dan memutar bola matanya. Wajahnya tampak berusaha menahan rasa kesal, namun bibirnya tetap tersenyum. "Masih suka es krim, tapi bukan lagi rasa yang sama, kali ini aku ingin coba rasa yang baru," jawabnya sambil menunjuk ke etalase berbagai rasa es krim yang menggoda.

"Cieee, dalam berbagai hal, nampaknya janda muda ini mulai terbuka untuk mencoba hal baru, ya," sahut Raya sambil menepuk-nepuk bahu Airin dan tertawa lepas.

Airin ikut tertawa dan mencubit lengan Raya pelan. "Ya, kali ini aku ingin mencoba rasa baru, siapa tahu lebih enak daripada yang dulu," ujarnya bersemangat.

Mereka pun melanjutkan perjalanan mereka, mencoba berbagai rasa es krim yang ada. Dalam setiap suapan, Airin mulai merasakan kebahagiaan yang perlahan kembali menyelimuti hatinya, terima kasih kepada sahabat baiknya, Raya.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!