Bab 13

Airin terbangun saat subuh, matanya terasa berat dan perih. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi semalam, dan seketika teringat betapa banyak air mata yang mengalir darinya. Ia merasa tak bisa tidur lagi, jadi memutuskan untuk berdiri dan melihat dirinya di cermin. Barulah ia sadar betapa bengkak dan merahnya matanya akibat menangis semalaman.

"Aku pikir, aku sudah ikhlas dan melupakannya, ternyata, aku hanya berusaha menghindar dan pura-pura tegar," gumamnya seraya membuka pintu kamar.

Betapa terkejutnya Airin saat melihat Revan ternyata tertidur di depan pintu kamarnya, tubuhnya terkulai lemas dengan kepala bersandar pada dinding. Airin menatapnya dengan tatapan rumit, bingung harus merasa senang atau marah.

Airin tak tega membangunkannya, namun hatinya merasa risih melihat Revan tidur di apartemennya. Ia berusaha mengendalikan perasaannya, kemudian menutup pintu perlahan dan duduk di samping Revan.

Airin menatap wajah Revan yang tertidur pulas, matanya berair kembali, mengingat betapa rumitnya hubungan mereka. Ia merasa bersalah atas keadaan Revan yang tertidur di luar kamar, namun sekaligus juga merasa kasihan melihatnya seperti itu.

Dalam keheningan subuh itu, Airin kembali menangis, kali ini dengan perasaan yang berkecamuk antara cinta, benci, dan penyesalan. Ketika langit mulai menyingsing dan sinar mentari menyinari seluruh alam, Airin masih duduk di samping Revan, menemani tidurnya yang tak sadarkan diri.

...

Airin menatap wajah Revan yang tertidur lelap di lantai, tanpa rasa belas kasihan. Hampir setengah jam lamanya ia duduk di samping Revan, merenung dan menahan rasa sakit yang terus mendera hatinya. Namun, Airin tidak memberikan selimut untuk Revan, karena ia tahu jika ia menunjukkan sedikit saja perhatian, laki-laki itu akan mengira bahwa Airin telah memaafkannya dan menerima kembali dirinya.

Bertekad untuk mengakhiri pernikahan yang sudah tidak sehat ini, Airin memutuskan untuk tidak setengah-setengah dalam bersikap. Ia sadar, jika ia membiarkan perasaannya menguasai diri, hanya dirinya sendiri yang akan terluka di akhirnya. Dengan langkah mantap, Airin kembali ke kamarnya, menutup pintu dengan perlahan.

Di dalam kamar, Airin segera mandi dan mengganti bajunya. Setelah itu, ia keluar dan pergi mencari sarapan meninggalkan Revan yang masih tertidur nyenyak.

Sementara itu, Revan yang terbangun dari tidurnya merasa kedinginan. Ia melirik ke sekeliling dan menyadari bahwa Airin tidak ada di sampingnya. Dalam hati, ia merasa kehilangan dan menyesali perbuatannya yang telah menyakiti hati wanita yang begitu mencintainya. Namun, Revan sadar bahwa ia harus menerima konsekuensi dari kesalahannya dan tidak bisa memaksakan Airin untuk kembali padanya.

...

Begitu Airin melangkah keluar dari gedung apartemennya, matanya langsung tertuju pada gerobakan bubur ayam yang kebetulan melintas di depannya. Dengan langkah gegas, ia mendekati penjual bubur itu, bersemangat untuk menyantap sarapan lezat pagi ini.

"Pak, bungkus dua, ya," pinta Airin dengan senyum ramah.

"Baik, Mbak, ditunggu sebentar," sahut mamang penjual bubur tersebut sambil menyiapkan pesanan Airin.

Sambil menunggu, Airin mengeluarkan ponselnya dari tas dan mulai memainkannya. Tiba-tiba, ia menerima chat dari Raya, sahabatnya yang mengabarkan bahwa surat panggilan dari pengadilan agama akan datang hari ini. Airin merasakan detak jantungnya berdebar, campuran antara harap dan cemas menyelimuti hatinya.

Dalam diam, Airin menghela nafas panjang, merenungi perjalanan hidupnya yang akan memasuki babak baru. Sementara itu, mamang penjual bubur ayam menyerahkan pesanan Airin yang sudah dibungkus rapi. Airin tersenyum dan mengucapkan terima kasih, kemudian berlalu menuju apartemennya kembali, membawa sarapan dan beban pikiran yang tak kalah berat.

Airin baru saja hendak melangkah masuk ke dalam gedung apartemennya ketika sebuah suara yang familiar terdengar memanggil namanya. "Airin!" Seru suara itu.

Perlahan Airin menoleh, alisnya berkerut saat melihat sosok Erika yang berjalan mendekat dengan cepat. Pikiran Airin sontak penuh tanda tanya, bagaimana mungkin wanita itu bisa menemukannya di sini? Atau lebih tepatnya, apa tujuan Erika datang ke tempat ini?

"Di mana Revan?" tanya Erika begitu tiba di depan Airin, napasnya terengah-engah. "Aku tahu dia ada di sini," ucap Erika sambil menunjukkan ponselnya ke arah Airin.

Airin melirik ke layar ponsel Erika dan melihat tanda GPS yang menunjukkan lokasi Revan yang berada tepat di apartementnya. Dalam sekejap, rasa marah dan kebingungan memenuhi hati Airin. Bagaimana bisa Erika memantau keberadaan Revan dan berani menghadangnya di tempat seperti ini?

"Revan tidak ada di sini," jawab Airin dengan nada tegas, berusaha menahan amarahnya. "Apa urusanmu dengannya, Erika?"

Erika tersenyum sinis, lalu berkata, "Aku hanya ingin memastikan dia tidak melakukan kesalahan yang sama seperti dulu. Dan sepertinya kamu adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya."

Airin merasa terhina, namun ia tahu Erika bukan lawan yang bisa dihadapi dengan emosi. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, "Jangan campuri urusan kami, Erika. Revan sudah bukan milikmu lagi. Dia suamiku! "

Erika tertawa sinis, kemudian melangkah dan pergi meninggalkan Airin yang masih terpaku di tempat.

Airin tersadar dan segera mengejar Erika, menahan tangan perempuan itu. Dia tak ingin Erika mengetahui dimana apartemennya, karena jika dia mengetahuinya, Airin yakin, dia akan lebih sering datang dan membuat keributan.

Dengan langkah cepat, Airin segera mendatangi resepsionis dan memanggil satpam. "Pak, saya tidak mengenal orang ini, dan dia datang ingin membuat keributan. Tolong jangan biarkan dia datang kesini lagi," ucap Airin sambil menunjuk Erika yang terlihat marah.

Erika yang merasa diremehkan, segera memberontak dan berteriak, "Lepaskan! Aku sedang mencari pacarku! Dia pasti disembunyikan oleh perempuan ini!" Erika menuding Airin dengan wajah penuh amarah.

Satpam yang mencoba menenangkan Erika menjawab, "Kenapa Mbak Airin harus menyembunyikan pacar, Mbak? Kayak kurang kerjaan saja." Satpam itu mencoba menenangkan situasi dengan menegur Erika secara halus.

Namun, Erika semakin marah dan berusaha melepaskan diri dari cengkeraman satpam. Airin hanya bisa menatap peristiwa itu dengan rasa khawatir dan harapan agar Erika segera pergi dari apartemennya.

Erika berdiri dengan tatapan penuh kebencian di hadapan Airin, wajahnya merah padam karena amarah yang memuncak. "Tentu saja karena perempuan ini tidak tahu diri, meskipun Revan suaminya, tetapi aku dan Revan lebih dulu berpacaran, Revan itu milikku. Lihat, aku bahkan bisa tahu di mana keberadaannya, begitu pula sebaliknya," ucap Erika sambil menyeringai seperti orang gila, mengejek Airin.

Satpam yang menahan Erika terkejut mendengar pernyataan perempuan itu, lalu dengan cepat menarik Erika keluar dari apartemen. "Mohon maaf, nyonya Airin. Saya akan segera mengurus perempuan ini," ucap satpam itu sambil membungkuk hormat.

Airin, dengan rasa marah yang membara, masuk ke dalam apartemennya. Begitu membuka pintu, ia terkejut karena melihat Revan sudah berada di ruang tamu, duduk di sofa dengan wajah lemas. Revan bangkit berdiri begitu melihat Airin masuk.

"Airin, aku mendengar keributan di luar. Apa yang terjadi?" tanya Revan dengan khawatir, melihat wajah istrinya yang merah padam.

Airin menatap Revan dengan pandangan tajam, lalu menghela napas panjang sebelum menjawab. "Erika, pacarmu itu, dia datang ke sini dan membuat keributan. Dia bilang kamu itu miliknya, dan dia tahu di mana kamu berada." Airin mengepalkan tangannya, mencoba menahan amarahnya. Bukan karena rasa cemburu, namun lebih ke kesal karena merasa terganggu oleh kedatangan perempuan itu.

Revan menghela napas dalam-dalam, kemudian mendekati Airin untuk merangkulnya. "Maafkan aku, Airin. Aku tidak tahu bahwa Erika masih menyimpan perasaan seperti itu. Aku akan bicara dengannya dan memastikan dia tidak akan mengganggu kita lagi," ucap Revan dengan tegas, mencoba menenangkan istrinya.

Airin tidak membiarkan Revan memeluknya, ia segera mendorong pria itu dengan kasar. " Pulanglah, siang atau sore nanti, surat panggilan pengadilan agama akan datang, aku sarankan kamu tidak perlu hadir, supaya prosesnya lebih cepat, datang pun juga tidak ada gunanya, karena aku punya bukti yang memberatkanmu, dan semua itu hanya akan mempermalukan dirimu, "ucap Airin, melewati Revan, melangkah menuji dapur.

Revan terdiam, tertegun mendengar perkataan Airin, apakah mereka benar-benar akan bercerai, dan dia akan kehilangan istri secantik dan sebaik Airin?

...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!