Bab 6

Malam itu, suasana ruang makan terasa hangat. Raya dan suaminya, Bima, akhirnya datang menjemput baby Lea yang seharian ini diasuh oleh Airin. Revan, diam-diam memerhatikan kedua sahabat istrinya itu dari lantai atas. Dia hanya ingin tahu sekaligus memastikan, siapa teman Airin yang selama ini sering mendengar namanya namun belum pernah bertemu.

"Lea nakal, nggak Aunty?" tanya Raya dengan gaya berbicara kekanak-kanakan, sambil menatap baby Lea dengan penuh kasih sayang.

Airin tersenyum lembut, sambil memasangkan topi rajut berwarna merah muda ke kepala baby Lea. "Nggak, kok. Baby Lea anak pintar, lho, Bunda," jawab Airin membalas perkataan Raya dengan nada lembut dan penuh kebanggaan.

"Udah cocok jadi Mami, nih, Rin," ujar Bima sambil tersenyum tulus, menunjukkan rasa terima kasih dan penghargaan atas perhatian yang diberikan Airin kepada baby Lea.

Airin pura-pura kesal sambil berkata pada Bima, "Nggak usah mancing, Bima. Kamu tunggu saja, deh. Nanti aku juga punya baby yang lucu dan gemesin kayak Lea." Ucapnya dengan semangat sambil memegang tangan mungil Lea.

Dari lantai atas, Revan terus memandangi Airin, melihat bagaimana Airin bebas tersenyum dan tertawa bersama temannya. Ada rasa tak nyaman yang menghinggapi hatinya. Selama ini, dia selalu bersikap kasar terhadap Airin, tak pernah melihat senyum bahagia itu di wajah Airin.

"Oke! Terimakasih, ya. Kami pulang dulu," ucap Raya sambil menggendong Lea.

Airin mengantar mereka sampai ke pintu, lalu melambaikan tangan dengan senyum lebar. Begitu mereka pergi, ekspresi wajah Airin berubah menjadi sedih dan murung. Dia menatap ke lantai, berusaha menahan air matanya yang hampir jatuh.

Revan melihat perubahan ekspresi Airin dari kejauhan dan merasa penyesalan mendalam. Dia menyadari betapa kasarnya sikapnya selama ini, dan bagaimana itu telah mempengaruhi kebahagiaan Airin.

Mereka berdua berdiri dalam kesunyian, terpisah oleh jarak dan rasa bersalah yang menggantung di udara. Revan ingin menghampiri Airin dan meminta maaf, tetapi dia tidak tahu bagaimana cara melakukannya. Dia takut jika Airin akan menolaknya dan menjauh darinya.

Sementara itu, Airin berusaha untuk menguatkan hatinya, menatap ke depan dan berjanji pada dirinya sendiri bahwa suatu hari nanti, dia akan menemukan kebahagiaannya sendiri, meski tanpa Revan di sisinya.

...

Matahari pagi mulai menyembulkan sinarnya, menghangatkan bumi dengan cahaya emasnya. Tetesan embun pagi menyegarkan bunga-bunga di taman, membuat kumbang dan kupu-kupu saling berebut untuk menikmati kesegaran yang tercipta. Airin, seperti biasanya, sudah bangun sejak subuh, setelah menunaikan kewajiban salatnya, ia bergegas ke dapur untuk memasak. Meski hanya untuk sarapannya sendiri, Airin tetap menyiapkan hidangan dengan penuh perhatian. Kebiasaan ini sudah melekat dalam dirinya, dan sulit untuk diubah.

Saat itu, Airin tengah asyik menggoreng telur sambil mencampur bumbu nasi goreng. Tanpa diduga, Revan tiba-tiba muncul di dapur, mengejutkan Airin yang sedang sibuk memasak. Perempuan itu hampir saja menjatuhkan spatula dan telur yang sedang digoreng.

"Revan! Kamu mengagetkanku!" seru Airin dengan wajah terkejut.

Tanpa ekspresi yang berarti, ia berkata,"Maaf. Aku hanya ingin melihat apa yang kamu masak pagi ini. Bau masakanmu menggoda sekali," katanya sambil mencium aroma masakan yang masih menyala di atas kompor.

Airin tercengang, dia sampai menepuk pipinya untuk memastikan kalau saat ini,dia sedang tidak bermimpi, "Kamu mau?"Tanya Airin akhirnya.

Revan mengangguk, " Hmm, buatkan dengan dua telur mata sapi, jangan terlalu kering." Ia pun duduk di meja makan, menunggu hidangan sarapan Airin.

Ditengah asyiknya mengaduk nasi goreng, matanya sesekali menegok ke belakang. Di meja makan, Revan duduk santai sambil bermain ponsel, sepertinya asyik sekali dengan apa yang sedang dilihatnya. Airin mempertanyakan dirinya sendiri, mengapa tiba-tiba saja Revan menjadi begitu ramah dan jauh dari sikap dingin yang selama ini ia kenal. Lebih mengherankan lagi, Revan sendiri yang meminta Airin untuk membuatkannya sarapan.

Selama ini, Airin selalu berusaha keras untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang Revan, namun apa yang dia dapatkan? Hanya penolakan dan sikap acuh tak acuh. Namun, kini, di saat mereka akan bercerai, tiba-tiba saja Revan berubah menjadi lelaki yang perhatian. Dua piring nasi goreng akhirnya siap disajikan. Airin menghela nafas, berusaha menenangkan perasaannya yang kacau. Ia merasa bimbang, apakah ini hanya taktik Revan agar ia luluh dan membatalkan perceraian? Ataukah memang ada perubahan di hati Revan yang membuatnya menjadi lebih baik?

Airin menaruh piring nasi goreng di meja makan, lalu duduk di seberang Revan. Mereka makan bersama, sesekali berbincang tentang hal-hal ringan. Airin merasa aneh, seolah-olah mereka adalah pasangan yang bahagia, padahal kenyataannya jauh dari itu. Namun, meski begitu, Airin tak akan luluh begitu saja, waktu 4 tahun yang dia habiskan dengan sia-sia tidak akan hilang hanya dengan sarapan bersama ini.

keduanya makan dengan nikmat, Namun, suasana tenang tiba-tiba terusik oleh bunyi bel rumah yang keras dan berulang kali.

Airin mencerna makanan di mulutnya dan beranjak dari kursi. Keningnya berkerut, penasaran siapa yang datang dengan begitu tidak sabaran. Ia melangkah menuju pintu dan segera membukanya. Seorang perempuan langsung menerobos masuk, bahkan membuat Airin terdorong ke samping.

"Ngapain dia datang kesini, pagi-pagi?" gumam Airin kesal sambil menutup pintu.

Airin kembali ke dapur, Namun, pemandangan di depannya membuat jantungnya berhenti sejenak. Erika, perempuan yang barusan menerobos masuk, tengah memeluk Revan dengan erat. Meskipun Revan berusaha melepaskan pelukan itu, nampak jelas raut wajah bingung dan cemas di wajahnya.

" Lepaskan!" desis Revan, berusaha melepaskan pelukan Erika. Namun, perempuan itu semakin mempererat pelukannya.

Airin merasa emosinya naik, hatinya terbakar oleh api cemburu. Matanya berkaca-kaca dan tangannya bergetar. Ia berusaha menenangkan diri, tapi semakin sulit melihat Revan terus dipeluk Erika.

" Apa-apaan kalian berdua?" tanya Airin dengan suara yang bergetar.

Erika melepaskan pelukannya, menatap Airin dengan mata yang sembab. "Aku tau tidak seharusnya datang kesini, tapi aku terpaksa karena dari semalam Revan tidak menghubungiku, aku menelpon berkali-kali tapi dia abaikan."

Namun, Airin tidak bisa menerima penjelasan Erika begitu saja. Sebelumnya, mereka memiliki perjanjian, kalau selama pernikahan Revan dan Airin, Erika tidak boleh mendatangi rumah mereka, dan selama 4 tahun ini, belum pernah ia langgar. Tetapi hari ini, tampaknya gadis itu memang terlihat putus asa sampai berani melanggar perjanjian mereka.

Karena Erika terus bersikeras tidak mau melepaskan pelukan dari Revan, Airin yang tak tahan melihatnya, memilih untuk pergi, meski hatinya masih ada sedikit kecemburuan, tapi dia tau kalau dirinya hanya istri di atas kertas. Sementara Erika adalah orang yang dicintai suaminya.

Revan hanya bisa menatap kepergian Airin yang perlahan menghilang dari pandangannya. Sesak nafas menyeruak di dadanya, namun ia tak bisa mengatakan apapun di hadapan Erika.

"Lepaskan, Erika. Sebelum kesabaranku habis," ucap Revan dengan nada yang tegas namun berusaha menahan emosinya yang bergejolak.

Erika menggeleng, matanya berkaca-kaca. "Tidak, aku tidak mau, kenapa kamu menjauhi aku, dan juga, kenapa kamu menarik kembali investasimu pada acara pemotretanku?"

Rahang Revan mengeras. Ia mencoba melepaskan pelukan Erika, namun wanita itu semakin mengeratkan pelukannya. "Erika,kau sendiri yang mencari penyakit, beraninya kau mengkhianatiku, mulai hari ini,aku tidak akan lagi peduli, kau mau pemotretan kemana dan butuh apa, urus lah oleh kekasihmu itu, "

Erika menatap Revan dengan tatapan yang mengharu biru. "Tapi yang aku cintai kamu, Revan. Aku selalu mencintaimu. Apakah itu tidak cukup bagimu?"

Revan menutup matanya, menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur emosinya, " Jika kau mencintaiku, bagaimana bisa kau dengan begitu teganya tidur dengan lelaki lain? Airin yang sudah aku nikahi selama 4 tahun, meski hanya di atas kertas dia sah menjadi istriku, tetapi tidak pernah aku sentuh, karena yang aku inginkan hanya kau. "

Revan akhirnya berhasil melepaskan pelukan Erika, membuat wanita itu terjatuh ke lantai. Tangis Erika pecah, memecah keheningan yang menyelimuti ruangan itu. Revan berusaha untuk tidak menoleh ke arah Erika, karena ia tahu jika ia melihat wajah wanita itu, ia akan luluh dan kembali memeluknya.

Dalam hati kecil Revan, ia merasa bersalah kepada Erika, namun ia tahu bahwa ia harus memilih jalan yang benar demi masa depannya sendiri. Revan pun pergi meninggalkan Erika yang terisak-isak di lantai, berusaha mengejar bayang-bayang Airin yang telah lebih dulu pergi.

***

Terpopuler

Comments

Ma Em

Ma Em

Airin balas saja dulu perbuatan Revan yg sering menyakiti kamu biar si Revan merasakan sakit yg kamu rasakan biar dia sadar dan menyesali perbuatannya karena dia telah menyia nyiakan cintamu.

2024-05-16

1

Rabiatul Addawiyah

Rabiatul Addawiyah

nģga tegas jd laki2 neh Revan

2024-05-05

0

Maulida Hayati

Maulida Hayati

Sudah tahu penghianat

2024-04-28

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!