Bab 12

Erika tercengang, tangannya membeku di udara ketika Revan berbicara, "Kita harus mengakhiri hubungan ini, Erika. Ini semua salah. Aku menyesal telah melakukannya." Revan berkata dengan tegas, matanya menatap lurus ke mata Erika, mengungkapkan kejujuran dan ketegasan.

Erika merasa jantungnya terasa hancur saat mendengar perkataan Revan. "Apa maksudmu? Apa kau bercanda, Revan?" Erika menatapnya, berharap bahwa semua ini hanyalah lelucon yang buruk. "Bukankah aku sudah bilang, kalau aku tidak masalah meski kamu sudah menikah? Aku tetap akan menerimamu, sayang!"

Namun, Revan menggeleng dan menjawab dengan tegas, "Tapi aku yang tidak bisa, Erika. Kau sendiri tau jelas bagaimana dengan sifatku. Aku tidak suka apa yang menjadi milikku disentuh orang lain, apalagi menerima kamu yang sudah ditiduri laki-laki lain berulang kali. Aku sudah menikahi Airin dan aku harus setia pada pernikahanku mulai sekarang."

Erika merasa air matanya menggenang, matanya berkaca-kaca dan jantungnya terasa seperti diremas oleh tangan tak kasat mata. "Tapi, Revan... Aku sudah berkorban banyak untukmu. Aku akan meninggalkan Alex demi kamu," ujarnya dengan suara parau.

Revan menarik nafas dalam-dalam, seakan mencari kekuatan untuk mengucapkan kata-kata berikutnya. "Aku tahu, Erika. Aku sangat menyesal. Tapi, kita tidak bisa terus seperti ini. Kita harus mengakhiri hubungan ini demi kebaikan kita semua. Aku mohon maaf."

Erika terdiam, menatap Revan dengan pandangan yang tak percaya dan hati yang penuh dengan kepedihan. Air mata akhirnya jatuh dari matanya, menandai berakhirnya hubungan yang penuh dengan harapan dan pengorbanan, namun kini harus berakhir dengan kesedihan yang mendalam.

" Bisakah kamu memberiku kesempatan?" tanya Erika dengan mata berkaca-kaca, suaranya penuh harap. Ia memegang tangan Revan, berusaha membuat pria itu melihat betapa ia sangat menginginkan mereka bersama.

Revan menarik napas dalam-dalam, lalu perlahan melepaskan genggaman tangan Erika. "Tidak, Erika. Aku sudah cukup lama menyakiti istriku. Hubungan kita, benar-benar tidak seharusnya berlanjut." Ungkap Revan dengan tegas, wajahnya menunjukkan penyesalan mendalam.

Ia berdiri, menatap Erika dengan tatapan yang datar. "Erika, jalani hidupmu dengan baik, carilah laki-laki yang tulus padamu," ujarnya sebelum berbalik untuk pergi.

Erika masih berusaha memanggil Revan, suaranya serak oleh tangisan. "Revan, jangan tinggalkan aku!" teriaknya, namun pria itu terus berjalan, tak menoleh sedikit pun.

Dalam keputusasaan, Erika berbisik dengan nada penuh tekad, "Aku tidak akan menyerah begitu saja, Revan. Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi." Erika merasa kehilangan, namun ia tak ingin menyerah pada kenyataan yang begitu pahit.

Revan berjalan keluar dari restoran dengan perasaan lega, ia melangkah menuju rumah dengan hati penuh harapan untuk menemui Airin di apartemennya nanti malam. Langkahnya terasa ringan, seolah ia telah melepaskan beban yang selama ini menghimpit dadanya.

Namun, ketika ia sedang dalam perjalanan, ponselnya berdering nyaring. Layar ponsel menampilkan nama seorang teman lamanya. Dengan perasaan penasaran, Revan mengangkat telepon itu.

"Hallo, Revan," terdengar suara di ujung telepon, terdengar cemas dan ragu.

"Hmm," jawab Revan singkat, tidak tahu apa yang akan dibahas oleh temannya tersebut.

"Aku melihat berkas pengajuan perceraian dari istrimu, apakah kalian benar-benar akan bercerai?" ucap temannya dengan suara yang sedikit tercekat.

Mendengar perkataan itu, Revan seperti disambar petir di siang bolong. Ia kehilangan kendali pada kemudinya seketika, dan suara decitan ban mobil beradu dengan aspal terdengar nyaring dan mengerikan.

"Apa kamu bilang?" tanya Revan dengan suara yang hampir hilang, merasa seolah dunia runtuh di hadapannya.

Jantung Revan berdebar kencang, pikiran dan emosinya kacau balau, ia berusaha untuk tetap tenang dan mencerna informasi yang baru saja ia terima. Apakah ini benar? Apakah Airin benar-benar ingin bercerai darinya? Semua rencana dan harapan yang baru saja tumbuh dalam hatinya seolah sirna dalam sekejap.

Revan mengepalkan tinjunya saat mendengar pengajuan perceraian dari Airin. Padahal, perjanjian kontrak pernikahan mereka baru berjalan empat tahun, jauh dari batas lima tahun yang disepakati. Tiba-tiba, rasa penyesalan dan rasa bersalah menyerang hatinya.

"Airin, sebenci apa kamu saat ini padaku?" gumam Revan, mencengkram kemudi mobil dengan erat. Matanya memerah, menahan amarah agar tak lepas kendali.

Revan memutuskan untuk mengunjungi apartemen Airin saat ini juga, ingin menyampaikan penyesalannya dan berbicara dari hati ke hati. Ia berharap dapat memperbaiki hubungan mereka dan membatalkan perceraian tersebut.

Sesampainya di sana, ia mengetuk pintu dengan lembut. Tak lama kemudian, pintu terbuka perlahan. Airin berdiri di ambang pintu, wajahnya tampak cerah tanpa beban.

"Revan? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Airin dengan dahi berkerut heran.

"Airin, aku datang untuk berbicara. Aku tak tahan membayangkan kita berpisah. Apakah sakit hatimu sudah begitu dalam sampai tak bisa lagi bertahan bersamaku?" ujar Revan dengan suara bergetar.

Airin menatap Revan dengan campuran rasa marah dan sedih. "Kamu tahu, Revan, aku merasa tak tahan lagi dengan semua ini. Aku merasa terluka setiap hari, dan aku tak tahu lagi bagaimana cara untuk melanjutkan."

Revan menghela napas, lalu menggenggam tangan Airin erat. "Aku minta maaf, Airin. Aku tahu aku telah menyakitimu. Tapi, aku ingin memperbaiki segalanya. Aku ingin kita mencoba lagi, bersama. Apakah kita bisa melupakan masa lalu dan memulai kembali?"

Airin terdiam sejenak, menatap Revan dalam-dalam. Perasaan yang terpendam selama ini mulai menyeruak. Mereka berdua merasakan kehangatan tangan masing-masing, seolah ada harapan baru di antara mereka. Namun, apakah itu cukup untuk memulihkan hubungan yang telah retak?

Airin berdiri tegap di depan Revan, matanya menunjukan ketegasan saat ia berkata, "Aku sudah mengajukan gugatan ke pengadilan agama. Maaf, Revan, aku tidak bisa lagi merendahkan diri hanya untuk mendapatkan perhatianmu." Airin berbalik, ingin segera pergi dari hadapan suaminya itu.

Namun, tiba-tiba Revan memeluknya dari belakang, menghentikan langkah Airin. Untuk pertama kalinya selama empat tahun mereka menikah, ini adalah sentuhan pertama yang Revan berikan. Jantung Airin berdebar tak karuan, merasakan kehangatan tubuh suaminya yang selama ini ia inginkan.

"Revan..." bisik Airin lemah, mencoba menyembunyikan rasa terharu yang mulai menguasai dirinya. Namun, ia tidak boleh terpengaruh. Dengan cepat, Airin mengingat kembali setiap rasa sakit yang selama ini ia dapatkan dari Revan: penghinaan, ketidakpedulian, hingga kekerasan yang ia alami. Ia berharap kenangan pahit itu dapat meneguhkan hatinya untuk tetap melanjutkan rencana perceraian.

Merasa tubuh Airin menegang di dalam pelukannya, Revan pun melepaskan pelukannya perlahan. Airin pun segera menyingkirkan diri dari dekapan suaminya, berusaha menyembunyikan air mata yang mulai jatuh.

"Maafkan aku, Airin," bisik Revan lirih, menundukkan kepalanya. "Aku sadar sudah terlambat, tapi aku akan berusaha memperbaiki diri."

Airin menatap Revan dengan tatapan tajam, rasa sakit masih begitu terasa di hatinya. "Terlambat, Revan. Aku sudah tak bisa lagi memaafkanmu," ujarnya dengan tegas, sebelum berlalu meninggalkan Revan yang terdiam membeku.

Revan menatap punggung istrinya yang dulu selalu menebarkan senyuman lembut padanya. Kini, sikap dingin dan ketidakpedulian yang dia perlihatkan. Revan sadar, semua perlakuannya selama ini benar-benar sangat keterlaluan, sehingga mengubah wanita lembut itu menjadi wanita berhati dingin.

"Airin, aku menyesal, aku mohon maafkan aku," Revan mencoba mengejar Airin yang masuk ke dalam kamar. "Airin, aku menyesal, aku minta maaf,"

Namun tak ada sahutan dari istrinya itu. Airin mengunci pintu kamar dari dalam, membuat Revan terhenti di depan pintu. Tangisan wanita itu terdengar sayup-sayup dari balik pintu, mengiris hati Revan yang merasa sangat bersalah.

Revan merasa sesak dada melihat Airin yang dulu begitu mencintainya kini terluka karena perbuatannya. Matanya memerah, ia menahan tangis yang ingin meledak. Tangan gemetar mencengkeram gagang pintu kamar istrinya, ingin membuka dan memeluknya, namun tak mampu.

Di luar, hujan turun dengan derasnya, seolah merasakan kesedihan yang melanda hati Revan. Wajahnya telah basah oleh air mata yang terus mengalir. Revan terduduk di depan pintu kamar Airin, meratapi nasibnya yang kini ditinggalkan oleh istrinya karena kesalahannya sendiri.

"Aku menyesal, Airin... Aku benar-benar menyesal," bisiknya lirih, berharap suaranya bisa sampai ke hati istri yang telah dia sakitinya.

***

Terpopuler

Comments

Ma Em

Ma Em

Jangan biarkan Revan mempengaruhi kamu Airin berikan pelajaran pada Revan agar dia merasakan sakit dan penyesalanya setelah diselingkuhi Erika baru dia sadar tapi kalau Erika tdk selingkuh mungkin Revan tdk akan menyesal

2024-05-16

0

Uthie

Uthie

Hmmmmm.. dah terlambat kau Revan 😌

2024-04-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!