Bab 5

Airin membawa Baby Lea ke rumahnya, semua kebutuhan Lea sudah disiapkan oleh Raya dalam sebuah tas, mulai dari baju hingga susu dan pampers. Saat ini, dia berada di kamarnya, mengendong Lea, berdiri meninabobokannya, karena semenjak dari kafe tadi, gadis kecil itu sudah sering menguap. Tak berapa lama, Lea akhirnya tidur juga. Dengan hati-hati, Airin menaruhnya di atas tempat tidur. Dua guling diletakkan oleh Airin di sisi kiri dan kanan, dan satu bantal diletakkan di bawah kakinya, berjaga-jaga agar anak itu tidak terjatuh.

Setelah itu, Airin turun ke bawah, ia hendak mengambil air hangat untuk persediaan di kamarnya. Begitu turun dari tangga, pintu terbuka, dan ternyata, Revan telah pulang dari kantor. Lelaki itu tampak lesu dan lelah. Airin menghela nafas, bersiap-siap jika suaminya itu kembali melampiaskan emosi padanya.

"Tadi kau menemui Erika?" Tanya Revan yang mengikuti langkah Airin ke dapur.

Airin menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang menatap Revan dengan wajah dingin. "Iya, tapi dia yang datang menemuiku, bukan aku yang menemui dia. Lagian buat apa, aku tidak ada urusan dengannya," ucap Airin, kemudian melanjutkan langkahnya mengambil air hangat.

"Jangan membuat masalah, Airin. Kamu tidak berhak ikut campur urusanku. Ingat, sebentar lagi kita akan berpisah, jadi, jaga batasanmu," ucap Revan dengan suara yang tegas.

Airin kembali menatap Revan dengan sinis, "Dengar, Tuan Revandra, saya tidak tertarik untuk ikut campur dengan urusan kalian berdua. Jadi jangan terlalu percaya diri. Anda pikir, saya masih mencintai anda?" Airin menggeleng dengan senyuman, "Tidak, rasa itu sudah lama hilang. Saya tidak perlu menjelaskan apapun, karena yang anda inginkan bukan kebenaran, tetapi pengakuan salah. Mau aku yang benar atau dia yang salah, di mata anda, tetap saja saya yang salah, benarkan?"

Airin membawa botol yang sudah terisi air panas, ia berjalan meninggalkan Revan yang termangu dengan perkataan Airin tadi. Entah kenapa dia merasa tidak nyaman mendengar kalau wanita itu tak lagi mencintainya, padahal selama ini dia juga benci ketika mengetahui Airin menyukainya.

Sebenarnya tadi, Erika datang menemuinya ke kantor. Gadis itu menangis tersedu-sedu, mengatakan bahwa Airin datang menemuinya dan menindasnya. Meski ia marah dan kesal atas pengkhianatan Erika, tetapi ia juga tidak tega melihat gadis itu menangis, apalagi banyak karyawan kantor yang melihatnya.

Revan, yang tadi termangu, tersadar. Ia beranjak dari dapur dan pergi ke kamarnya yang berada di sebelah kamar Airin. Saat ia hendak membuka pintu, ia mendengar suara anak kecil menangis. Sontak gerakan tangannya terhenti, ia menoleh ke kamar Airin, suara itu terdengar dari arah sana. Dia pikir ia salah dengar, jadi Revan mencoba mengabaikan. Namun, kembali suara rengekan terdengar, dan kali ini bersamaan dengan suara Airin yang mencoba menenangkan anak yang menangis.

Revan mengerutkan kening, ia penasaran. Maka, ia pun mengetuk pintu kamar Airin dengan hati-hati.

Saat ia membuka pintu, Revan melihat Airin sedang duduk di samping tempat tidur, menenangkan Baby Lea yang menangis dengan lembut. Wajah Airin penuh perhatian dan kasih sayang, seakan dunia di sekitarnya hanyalah mereka berdua. Revan terdiam sejenak, terpana melihat kedewasaan dan kelembutan Airin dalam menghadapi situasi tersebut.

"Airin, anak siapa itu?" tanya Revan dengan suara datar seperti biasanya.

Airin menatap Revan dengan mata acuh, "Baby Lea merasa tidak enak badan, mungkin karena cuaca yang tidak stabil. Aku sedang mencoba menenangkannya. Tidak apa-apa, sayang, Aunty di sini," ucap Airin sambil mengelus lembut punggung Baby Lea.

Revan yang masih belum mendapatkan jawaban yang dia inginkan mendekati Airin, dan bertanya sekali lagi, "Anak siapa?"

"Yang pasti bukan anak aku, tentu saja anak ayah dan bundanya," jawaban Airin membuat Revan yang kesabarannya setipis tisu meradang.

"Airin, apa dia bayi kekasihmu? Jangan macam-macam kamu, meski kita memang akan bercerai, bukan berarti kamu bisa berlaku seenaknya. Kalau ada orang yang tahu, bukan hanya kamu, tapi namaku juga akan ikut tercemar," ucap Revan dengan nada tinggi.

Airin menghembuskan nafas panjang, "Sebaiknya kita pisah rumah saja, ya? Aku sangat tidak nyaman tinggal di sini, dan aku muak mendengar peringatan kamu setiap saat," ucap Airin menahan emosi. "Dan satu lagi, aku dan kamu itu berbeda, aku masih punya rasa malu dan harga diri. Selama aku masih menjadi istrimu, maka tidak akan ada lelaki manapun yang aku biarkan mendekat. Jadi tolong jangan bicara omong kosong denganku."

Revan tersadar dari perkataannya, seharusnya kalimat barusan ia berikan untuk dirinya sendiri, namun sebagai lelaki yang egois, mana mungkin akan mengakuinya. "Jadi dia anak siapa?" Tanyanya lagi.

Kelopak mata Airin terangkat, tampaknya, sebelum Revan mendapatkan jawaban yang dia inginkan, maka dia akan terus bertanya, jadi dengan menahan marah Airin berkata, "Pelankan suaramu, sudah kubilang Baby Lea tidak enak badan. Dia anak sahabat baikku, Raya. Nanti dia dan suaminya akan datang kemari menjemput."

Barulah Revan merasa sedikit tenang, tapi masih ada lagi yang membuatnya penasaran, jadi dia bertanya lagi, "Kenapa anaknya ada padamu? Kemana orang tuanya?"

"Apa aku harus menjelaskan semuanya padamu? Aku tidak pernah ingin tahu masalahmu, tapi tampaknya kau cukup penasaran dengan urusanku, Tuan Revan. Apa anda tidak takut, jika kekasih anda tau, dia pasti akan terbakar cemburu. Nanti aku lagi yang disalahkan," ucap Airin dengan nada cemooh.

Setelah Baby Lea kembali tenang, Airin perlahan menaruh gadis mungil itu ke atas ranjang. Setelah memastikan bayi itu nyaman, ia menghadap kembali pada Revan. Entah apa lagi urusannya, lelaki itu tak juga pergi.

" Ada lagi yang ingin kau tanyakan?" Airin bertanya dengan sikap yang jauh berbeda tak selembut dulu lagi. Membuat Revan merasa sedikit tidak biasa.

Revan sendiri tidak tahu harus menjawab apa. Dia sendiri bingung, mengapa ia tidak juga keluar dari kamar yang baru pertama kalinya ia datangi. Padahal mereka sudah 4 tahun menikah, tapi Revan tidak pernah sekalipun masuk ke kamar Airin.

" Aku juga mau keluar, kok, " jawab Revan, kemudian ia segera pergi keluar.

Kening Airin berkerut, merasa aneh dengan sikap Revan. Perempuan berlesung pipi itu hanya bisa menggelengkan kepalanya. Makin hari, ia semakin tidak mengerti dengan sikap Revan, dulu dia tidak pernah mau bicara sepatah katapun dengan dirinya, jika tidak sedang melampiaskan amarahnya, mana mau lelaki itu berada satu ruang yang sama dengannya. Namun, sejak semalam, Revan mulai bertingkah aneh, membuat Airin merasa bingung.

"Apa dia sengaja membuat aku kebingungan begini? Tetapi buat apa juga? " Airin berbicara pada dirinya sendiri, namun masih belum menemukan jawabannya.

***

Terpopuler

Comments

Uthie

Uthie

Aga-aga ngeselin dan lucu juga tapinya 🤭

2024-04-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!