MDND~ Bab 9

Ceren mendengus sebal, "lo saravv Lang? Gue emang anak bawahan bapak ibu lo. Gue juga salah kemarin....tapi ngga dengan nginjek-nginjek harga diri gini balesan lo!" geramnya, "lo pikir gue bisa lo beli pake duit?!"nada bicara Ceren tinggi di depan Gilang tak peduli jika pemuda di depannya langsung mati kala Ceren membentaknya.

Dan Ceren benar-benar ngambek, kekuatannya setara dengan hanoman pas lagi buang air. Ia menghempas tangan Gilang kasar dan pergi dari sana, "permisi."

"Apa-apaan kamu Gilang?!"

Hati yang diliputi kemarahan itu menginjak bumi begitu keras dan keluar dari rumah sakit dengan perasaan kacau.

*Gilang*

Melati, yeah! Ia sudah sampai halaman rumah. Bunga setaman yang sengaja di tanam ibunya itu kini sedang bermekaran, tapi melati dan kenanga lah yang mendominasi baunya.

Gemericik air nan damai selalu menjadi suasana rumah yang paling ia rindukan seminggu ini, bersama nuansa jawa kental dan aroma kopi arabica menyeruak dari ruang tamu.

Simbok datang dengan nampan berisi sepiring getuk dan jiwel, "den bagus sudah pulang, alhamdulillah."

Ia duduk di kursi meja makan sementara ibu melengos meski mulutnya terus mengoceh, "pak Sabda, itu tolong bawa tas Gilang ke kamarnya!"

"Makasih mbok," jawab Gilang dengan bibir pucatnya, melewati kemoterapi setiap waktu itu sungguh menyebalkan, perutnya terus saja dilanda mual. Tangannya meraih jiwel yang hitamnya nampak menggoda, ia paksakan walau lidahnya terasa kelu dan perutnya menolak. Namun itu sudah menjadi teman bagi Gilang, baginya sejak mengetahui kegetiran hidup itu, semuanya tak ada yang nikmat untuk Gilang.

Seolah ia sudah kehilangan mentari hidupnya, nothing special di muka bumi ini karena ujung-ujungnya ia akan tiada saat semua orang tengah bahagia, sementara ia? Hufff.....

"Enak to den?"

"Selalu." angguk Gilang, "matur nuwun loh mbok." Jawabnya.

Secangkir teh manis dengan wangi teh hitam yang menyeruak mengundang selera Gilang, "nah enaknya sama teh manis hangat den...teh manis yang ndak terlalu manis..." uapnya masih mengepul bebas memanjakan penciuman Gilang.

"Mbok, rambut aku masih keliatan lebat ngga?" tanya nya.

Wanita yang sudah banyak keriputannya itu tampak hangat dengan jarik coklat dan kebaya model tuanya, "den bagus mau simbok pakein lagi minyak seledri, kemiri sama urang aring to?"

Gilang mengangguk, "kalo simbok senggang boleh deh. Takut keliatan jelek kalo rambutnya rontok..."

Matanya menyipit pertanda ia tersenyum geli, "malu sama siapa to, ada cewek gebetan den bagus di sekolah?" kelakarnya diangguki Gilang, meski sejurus kemudian senyum itu terlihat getir saat mengingat Ceren begitu murka padanya, permintaannya juga membuat ibu bapaknya berdebat hebat, dan mungkin sebentar lagi mas-nya pun akan melakukan hal yang sama dengan Ceren.

"Mas Hilman masih di sekolah to mbok?" tanya Gilang menyeruput teh hitam yang manisnya tak terlalu itu dan berdecak nikmat, ia rindu rasa ini, lidahnya seminggu ini hanya bisa mencecap rasa hambar saja.

Simbok mengangguk, "biasanya sebentar lagi mulih, den. Kalo gitu simbok tinggal dulu yo, lagi ngukus singkong sama ubi buat ndoro ibu."

Ibunya masuk kembali setelah entah apa yang tadi sedang ia urus, wajahnya cukup terlihat khawatir, "le, apa permintaanmu ndak bisa di ganti to yooo, alahhh kok ya sulit begini!" dumelnya.

"Kalo memang ibu ndak bisa yo wes ndak usah." Gilang beranjak dari duduknya dan melengos masuk ke kamar.

Ia terus saja mengipasi wajahnya dengan kipas di tangan merasa jika wajahnya justru semakin panas, "Pak Sabda!!! Antar saya ke sekolah jemput Kai."

"Apa?! Gilang udah gila!" Hilman hampir tak bisa menahan lonjakan keterkejutan beserta amarahnya ketika mendengar permintaan adiknya itu, namun sosok Kaisar yang kini sedang menatapnya terkejut menyadarkannya jika obrolannya dan ibu disaksikan oleh putra semata wayangnya.

"Yanda marah sama pa'lek Gilang? Ko bilang pa'lek gila? Emang pa'lek kenapa to?" tanya nya nyeroscos, menghentikan coretan krayon di kertas hvs kosong yang Hilman berikan bersama kursi kedudukannya. Sepulang menjemput Kai di tk, ibu justru membawa cucunya itu ke sekolah Hilman.

"Bukannya gila itu yang ketawa-tawa sendiri itu, kan?" tanya Kai lagi, ia mengingat-ingat apakah Gilang begitu di rumah, karena setaunya pa'leknya itu justru kebanyakan termenung.

Hilman segera mengatupkan mulutnya, menyesal. Usia Kaisar memang sedang masa-masa emas, menyerap dan meniru orang sekitarnya.

"Ndak...ndak Kai. Maaf yanda keceplosan. Pa,'lek Gilang alhamdulillah sehat wal'afiat." geleng Hilman.

Dan ucapannya itu dipercaya saja oleh sang putra yang kembali berkutat dengan gambar roket yang belum sepenuhnya ia warnai, "oh. Hati-hati yanda, bu guru Kai bilang ucapan itu adalah do'a...masa e yanda do'ain pa'lek gila." Mata dan fokus anak 5 tahun setengah ini sudah kembali pada gambarnya namun mulutnya masih nyeroscos pada topik tadi.

Hilman menghela nafasnya berat nan lelah, berucap lebih pelan setengah berbisik, "yang benar saja bu. Menikah di usia muda, tidak menutup kemungkinan nanti Gilang akan melakukan hal in tim, mau bagaimana? Dan siapa pula gadis bo doh yang mau dengan Gilang." ia duduk di hadapan ibu, "sembarangan, gadis bo doh. Justru gadis itu bo doh kalo ndak mau sama Gilang!" balas ibunya.

Hilman kembali meraup nafasnya berat, "wes lah bu, nanti lagi kita bicarakan. Jangan di depan Kai." ia menutup obrolan tak bersolusi dan justru membuatnya semakin dilanda sakit kepala berkelanjutan, ia lantas mengubek-ubek kotak P3K miliknya demi mencari obat sakit kepala.

"Pak. Kalo bapak lamar kerja di tempat lain emangnya ngga bisa ya?" tanya Ceren diantara kunyahannya, ia memutuskan ijin sekolah dan mengaku sakit pada bapak demi tak menemui Gilang yang kata Jojo hari ini sudah masuk sekolah, entah benar atau tidak. Ia hanya ingin menjaga semuanya tetap baik-baik saja dengan tidak masuk sekolah, karena sejak hari itu tangannya itu ingin sekali menonjok Gilang sampai bonyok.

Bapak mengguyur si hitam dengan air dingin, katanya biar seger! Brrrrr! Padahal ngeri kalo seandainya motor dapat berkata seger!

Gosokan lap yang menghasilkan busa sabun itu menutupi seluruh body si hitam.

"Ngawur! Udah tua begini PT mana yang mau terimo. Lagipula di butik bu Ambar bapak sudah enak, punya jabatan...gaji juga lebih sedikit dari yang lain, nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan, wahai hamba Allah yang kurang bersyukur?!" cerocosnya melirik pada sang putri yang katanya sakit tapi masih bisa ngomel-ngomel sambil makan nasi kuning sepiring penuh di atas tembok teras rumah mereka sementara ia sedang bersusah-susah nyuci motor di halaman dua meter di depan rumah mereka.

Alisnya terangkat sebelah, "kamu sakit apa *sakit* to?! Mana ada orang sakit mangan sampe sepiring muncung gitu." omelnya.

Ceren hanya menggidik acuh, "bapak harusnya bersyukur. Disaat orang lain sakit tuh susah makan, aku makannya bagus, jadi bapak ngga perlu bujuk-bujuk aku makan."

Bocah gendheng! "oalah, bilang saja kamu malas masuk sekolah."

"Wes sini! Ngga usah banyak drama, daripada energi kamu mubadzir, mendingan bantu bapak cuci si ireng iki!"

"Ck..ck...cuma bapak aku ni yang begini. Anak sakit disuruh cuci motor!" omelnya, "besok-besok kalo aku mati disuruh gali kuburanku sendiri kayanya..."

Bapak berdecak, "astaghfirullah, lambemu nduk..."

.

.

.

.

.

Terpopuler

Comments

Azzahra Azka Lestari

Azzahra Azka Lestari

astaga ceren.......tapi tunggu apa ceren ga tahu hilman pak kepsek itu kknya gilang????

2024-05-17

0

Azzahra Azka Lestari

Azzahra Azka Lestari

🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣

2024-05-17

0

Azzahra Azka Lestari

Azzahra Azka Lestari

hanoman buang air????

2024-05-17

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!